Laman

18 Desember, 2016

STATUS DAN WEWENANG ADAT (KEBIASAAN) DALAM HUKUM ISLAM




Suatu praktik yang berlaku umum ditengah-tengah masyarakat (urf) diperhitungkan sebagai salah satu sumber hukum dalam Syariah. Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi keputusan pengadilan dimana seseorang hakim mempunyai alternatif dalam menghakimi suatu perkara. Adat kebiasaan itu juga memberikan bantuan dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan hukum dari al-Qur'an dan Sunnah.
Ulama Fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarnya atasnya tidak ada lagi.
‘Urf juga memiliki peranan dalam riba al-fadl. Riba al-fadl adalah suatu kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd gandum dengan dua mudd gandum, mereka dikatakan telah melakukan riba al-fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, riba al-fadl akan terjadi hanya ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg gandum. Seperti itulah ulama fiqh menerjemahkan kriteria syariah dalam definisi di atas berkenaan dengan pengukuran kapasitas.[1]
Pada masa lalu, jual beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak berwujud dilarang oleh ulama fiqh. Namun sekarang, praktik perdagangan telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan.
Wujud apresiasi terhadap tradisi perdagangan dan kewenangannya sebagai sumber hukum Islam, para ulama telah merumuskan sejumlah kaidah yang menjelaskan status adat kebiasaan dan tradisi dalam hukum Islam. Beberapa kaidah itu adalah sebagai berikut:
Kaidah :          العادة محكمة
Artinya : “Adat kebiasaan adalah Hakim (dibenarkan hukumnya).”
Kaidah :          المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Artinya : “Suatu hal yang dibenarkan oleh kebiasaan (adat) sama halnya dengan sesuatu yang dibenarkan dalam syarat perjanjian.”
Kaidah :          الثاىت العرف كالثاىت بالنص
Artinya : “Apa yang dibuktikan oleh ‘urf seperti apa yang dibuktikan oleh Nash.”[2]
1.             Kaidah :            العادة محكمة
Artinya : “Adat kebiasaan adalah Hakim (dibenarkan hukumnya).”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama.
Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[3]
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.[4]
Suatu kebiasaan dapat diakui sebagai satu sumber hukum dan sebagai satu kewenangan dalam keputusan pengadilan ketika memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
1.             Kebiasaan itu harus merupakan kebiasaan yang paling banyak terjadi dan merupakan tradisi umum. Tradisi sekelompok orang tidak dapat dianggap memiliki kewenangan. Majjalah telah menerangkan syarat ini dlam kaidah berikut:
                    i.               Kaidah :   إنما تعبر العادة إذا طردت أو غلبت
Hukum hanya berlaku pada kebiasaan yang sering terjadi atau lazim secara umum.
                  ii.               Kaidah :   العبرة للغالب الشائع لا للنادر
 Hukum didasarkan pada kebiasaan umum, dan bukan pada sesuatu yang jarang terjadi.
2.             Kebiasaan itu harus tidak bertentangan dengan ajaran/perintah syariah. Kebiasaan itu harus tidak menyalahi prinsip-prinsi hukum islam. Misalnya, Praktikbagi hasil panen dengan dasar satu produksi yang tetaplotre, dan hadiah atas hutang tidak diperbolehkan, karena praktik itu bertentangan dengan syariah.
3.             Kebiasaan itu harus tidak bertentangan dengan syarat suatu kesepakatan. Jika terjadi pertentangan, kesepakatanlah yang akan menang dan bukan kebiasaan. Misalnya, biaya registrasi formal dalam jual-beli barang biasanya dibayar oleh pembeli.[5]
Penerapan Kaidah
'Urf sebagai satu dasar ketentuan syariah dapat dipahami melalui sejumlah fatwa dan ketentuan syariah dalam literatur fiqh. Kami telah pilihkan beberapa ketentuan dari literatur fiqh kontemporer.
1.             Kehalalan jual-beli 'arbun (jual-beli dengan uang muka).
Jual beli 'arbun adalah suatu transaksi dimana seseorang membeli suatu barang dan membayar sejumlah uang di muka kepada penjual, dengan syarat jika transaksi selesai, maka uang muka tadi akan diperhitungkan kedalam total harga.
Mayoritas ulama fiqh kecuali Imam Ahmad berpandangan bahwa jual-beli 'arbun seperti di atas tidak sah, sebab mengakibatkan pengambilan uang orang lain tanpa sebab-sebab yang adil. Mayoritas ulama menyandarkan pendapat ini pada hadits yang dilaporkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta, serta an-Nasai, Abu Daud, dan Ibn Majah, bahwa Rasulullah SAW melarang penjualan 'urbun. Meskipun demikian, hadits ini dianggap lemah.
Disisi lain, ulama mahzab Hambali menyandarkan ‘arbun pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang jual-beli 'urbun dan beliau membolehkannya. Ulama kontemporer seperti Zarqa, Qardawi, dan Zuhayi lebih memihak pada pandangan minoritas, yaitu pandangan manzab Hambali. the Islamic Fiqh Academy of Jeddah dalam suatu ketetapan fiqhnya berpandangan bahwa ‘arbun dibolehkan. Alasannya adalah untuk menjamin hak penjual disampin kestabilan transaksi memerlukannya.
2.             Syarat - syarat yang tidak sah
Menurut ulama terdahulu manzab Hanafi, suatu syarat yang memberikan keuntungan pada suatu pihak, adalah syarat yang tidak sah an tentunya menyebabkan kontrak itu rusak. Contoh syarat yang tidak sah adalah menyaratkan bahwa penjual akan tetap tinggal dirumah yang telah dijualnya sampai priode yang ditentukan sebelum diserahkan kepada pembeli.
3.             Klausul denda dalam Kontrak.
Merupakan kebiasaan umum bahwa dalam kontrak ekspor-impor, atau proyek konstruksi, kontrak tersebut mengandung suatu Klausul. Jika Kontraktor atau orang yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam dalam priode tertentu, maka dia bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang disebabkannya kepada orang yang berhutang. Menyadari tradisi bisnis ini, maka ulama kontemporer telah membolehkan memasukkan klausul denda dalam kontrak untuk menyelamatkan klien dari kerugian yang mungkin timbul akibat tidak diselesaikannya proyek dan tiak dipenuhi kewajiban (hutang)nya.
4.             Waqaf harta tak bergerak.
Aturan yang telah dibangun dalam hukum islam tentang waqaf adalah waqaf itu hanya terkait dengan harta tak bergerak saja. Alasanya, harta bergerak cenderung rusak dan hilang, maka sebagai konsekuensinya tidak dapat dialokasikan kedalam waqaf.
5.             Jual-beli hak pengusiran (Pugree)
Dia anak Benua Asia (Asia Selatan, uang ganti ini disebut Pugree dan di Dunia Arab disebut Badal Al- Khulww (ganti rugi hak pengusiran). Si penyewa melalui Pugree pada dasarnya membeli hak pengusiran dari tangan orang yang menyewakan. Pugree ini melindungi si penyewa dari kerugian yang mungkin saja timbul karena pengusiran paksa pada waktu usahanya sedang maju. Hal ini juga untuk menyelamatkannya dari kenikan sewa yang sewenang-wenang setelah periode tertentu.[6]
2.            Kaidah :            المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Artinya: “Suatu hal yang dibenarkan oleh kebiasaan (adat) sama halnya dengan sesuatu yang dibenarkan dalam syarat perjanjian.”
Kaidah ini bermakna bahwa sesuatu yang diakui oleh kebiasaan akan dianggap seolah-olah menjadi kesepakatan sebuah kontrak.
Jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggungjawab terhadap pemasangannya, maka pemasangan itu dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual-beli itu, meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan di dalam kontrak.
Jika kebiasaan umum dalam sewa menyewa rumah adalah sewa itu dibayar di awal bulan, maka itu dianggap seolah-olah suatu syarat kontrak.
3.            Kaidah :            الثاىت العرف كالثاىت بالنص
Artinya : “Apa yang dibuktikan oleh ‘urf seperti apa yang dibuktikan oleh Nash.”
Penerapan:
Berikut ini adalah penerapandari Kaidah Ini:
1.             Penggunaan yang lazim dan upah yang wajar pada umumnya.
Jika seseorang telah menyewa kendaraan atau hewan pengangkut beban, maka dia dapat menggunakannya secara normal. Namun, jika dia mau menggunakan kendaraan/hewan itu untuk tuuan tidak normal, dia tidak dapat melakukannya kecuali pihak yang menyewakan mengijinkannya secara Eksplisit.
2.             Qabd (kepemilikan) dalam praktik Bisnis modern.
Qabd berarti memiliki sesuatu. Kata Qabd pada umumnya digunakan untuk kepemilikan secara fisik dari suatu benda. Meskipun demikian, syariah tidak menggariskan suatu bentuk khusus dari penguasaan kepemilikan. Berikut ini adalah beberapa bentuk kepemilikan yang dikenal dan diakui oleh ulama Fiqh modernsebagai bentuk kepemilikan yang sah.
1)             Kepemilikan Aktual dari harta diatas tanah adalah dengan melepaskan (segala ikatan) dan membuat pemilik bebas mentraksasikannya.
2)             Kepemilikan actual dari harta bergerak adalah melalui penyerahan secara fisik.
3)             Kepemilikan manfaat terjadi dengan melepaskan segala ikatan agar pemilik yang sebenarnya mampu mengambil haknya tanpa suatu masalah walaupun tidak ada transfer dan penyerahan yang nyata.
4)             Kepemilikan manfaat dibentuk lewat registrasi keuangan.
5)             Kepemilikan dokumen-dokumen atas nama pemilik atau atas kepentingan pemilik adalah kepemilikan manfaat jika aset-asetnya dapat dipastikan dan pemilik mampu mentransaksikannya.
6)             Kepemilikan sebelumnya dari asset-aset yang berwujud dianggap menjdi kepemilikan manfaat dengan tak mengindahkan kepercayaan atau kewajiban dalam semangatnya.
Saat ini, bentuk-bentuk kepemilikan manfaat telah dikenal oleh para pakar sebagai skim yang dibolehkan dengan tujuan mentransfer risiko dan kewajiban kepada orang yang menerima transfer itu.
a)             Meletakkan sejumlah uang ke rekening nasabah dengan situasi berikut:
1)             Ketika suatu lembaga mendepositokan sejumlah uang ke rekening nasabah secara langsung atau melalui transfer bank.
2)             Ketika nasabah masuk kedalam suatu kontrak nilai tukar mata uang terhadap mata uang lain yang telah didepositokan kerekening nasabah.
3)             Ketika lembaga menarik sejumlah uang dari rekenig nasabah atas perintah nasabah dan memindahkanya ke rekening lain dalam mata uang berbeda, apakah dilembaga yang sama ataupun dilembaga lainnya, demi keuntungan nasabah atau pembayar lainnya.
b)             Bukti pembayaran berupa cek merupakan satu bentuk kepemilikan manfaat, dengan syarat sejumlah uang yang dibayarkan tersedia di rekening orang yang mengeluarkan cek dan lembaga keuangan telah memblok uang tersebut untuk pembayaran.
c)             Bukti pembayaran berupa kupon oleh pedagang, yang ditandatangani oleh pemegang kartu kredit (pembeli), adalah kepemilikan manfaat dari sejumlah uang yang masuk sebagai pembayar kupon dengan syarat, kartu tersebut membuat lembaga yang mengeluarkan kartu, membayar uang itu tanpa penundaan kepada pedagang yang menerima kartu.
3. Jual beli dengan tindakan
Ijab Kabul adalah bentuk dan sarana di mana pihak-pihak yang terlibat memperlihatkan keinginannya untuk melakukan akad. Meskipun demikian, dalam praktik dagang, tindakan pihak-pihak yang terlibat juga diterima sebagai sarana untuk menyempurnakan akad. Syarat-syarat tersebut adalah:
1)             Tindakan itu harus berasal dari kedua bela pihak. Penyerahan uang dan barang harus dari kedua pihak. Seperti seorang pembeli yang menanya harga suatu barang kepada seorang penjual dan penjual tersebut menyebutkan harganya.
2)             Tindakan harus didasarkan atas persetujuan pihak-pihak yang terlibatsampai pada level tertentu, dimana tidak ada dalilyang meniadakan keberadaan kesepakatan itu.
3)             Barang itu mesti bernilai kecil. Barang yang disebutkan dalam kontrak seharusnya berharga murah seperti roti, daging dan lain-lain.
Perbedaan antara  al-’Adah dengan al-’Urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.

Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.[7]
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1.          ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2.          adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.

Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya.

Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).[8]
Kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan ‘adah atau ‘urf sebagai salah satu patokan hukum, fuqohah’beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
a.              Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.
b.             Imam Malik : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah, syadduzdharai’ dan ‘urf.
c.              Malikiyyah, membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi tiga, yaitu:
1)             Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
2)             Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan syara’.
3)             Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada larangan.
d.             Imam Syafi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah sebagai dalil, karena beliau berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh imam syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud “qaul qadim’.[9]


[1] Muhammad Tahrir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis.Cetakan Pertama. Bogor : Ulil Albab Institute.hal. 100
[2] Muhammad Tahrir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis.Cetakan Pertama. Bogor : Ulil Albab Institute.hal. 101
[3] Tamrin Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang: UIN Maliki Press, 2010). hlm. 203
[4] Arfan Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah ,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012). hlm. 204
[5] Muhammad Tahrir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis.Cetakan Pertama. Bogor : Ulil Albab Institute.hal. 102-103
[6] Muhammad Tahrir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis.Cetakan Pertama. Bogor : Ulil Albab Institute.hal. 103-107
[7] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
[8] Ibid.
[9]  Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.246

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

twitter