Berikut ini adalah postingan tentang makalah Instrumen dan Anggaran Kebijakan Fiskal. Sebenarnya ini adalah salah satu tugas kuliah saya pada mata kuliah Kebijakan Fiskal Islam di Jurusan Ekonomi Islam Unsyiah. Kami diberi tugas kelompok yang terdiri dari 2 orang per kelompoknya. kami yang dapat tugas Instrumen dan Anggaran Kebijakan Fiskal adalah kelompok 2 (saya Yusran dan teman saya namanya Yudi). Mata Kuliah ini di ajarkan oleh Bu Novi Indriani Sitepu, S.HI., MA. okelah.... langsung saja..
di bawah ini adalah postingan isi makalah kami... SEMOGA BERMANFAAT...
Juni Yusran
1401104010032
Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Syiah Kuala
yusran23.juni@gmail.com
Yudi Saputra
1401104010029
1401104010029
Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Syiah Kuala
Abstrak
Ambillah Zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)
Kata kunci: Zakat, jizyah, kharaj, ushur, nawaib, pinjaman, waqaf,
fai, khums, amwal fadla, kaffarah, APBN
Pendahuluan
Kebijakan
fiskal merupakan salah satu topik pembahasan utama dalam kajian-kajian ekonomi,
termasuk kajian ekonomi Islam. Dalam kajian ekonomi Islam, Kebijakan fiskal
telah dikenal sejak zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin
yang kemudian dikembangkan oleh para ulama.
Pembahasan tentang
kebijakan fiskal biasanya dimasukkan dalam kategori ilmu ekonomi makro.
Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatar belakangi oleh adanya
kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemeriuntah. Pengeluaran dan penerimaan negara berpengaruh
terhadap pendapatan nasional. Untuk itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang
disebut sebagai kebijakan fiskal untuk menyesuaikan pengeluaran dengan
penerimaan negara. Penyesuaian antara pengeluaran dan penerimaan mengakibatkan ekonomi
stabil yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya
pengangguran dan kestabilan harga-harga umum
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengakui kebebasan
manusia atas nilai-nilai tauhid, hak memiliki harta atas dasar kemaslahatan,
melarang penumpukan harta, serta distribusi kekayaan justru yang sesuai dengan
sifat dasar dan kebutuhan manusia.[1] Hal
ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal Islam begitu mendominasi
pembahasan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi al-Qur’an merupakan
pilar utama dalam perekonomian Islam yang menyebutkan mekanisme fiskal zakat
menjadi syarat dalam perekonomian riil.
Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban
negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata
sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat saja, akan tetapi lebih pada penciptaan mekanisme
distribusi ekonomi yang adil.[2]
Karena pelaksaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan
satu sama lain.
A.
Instrumen Kebijakan Fiskal
Islam
Kebijakan fiskal pada masa awal Islam dapat dibagi
menjadi dua periode, yaitu periode sebelum ekspansi dan perode sesudah
ekspansi. Unsur-unsur
penting kebijakan fiskal pada periode pertama adalah kontribusi dari fai’ dan sedekah. Pada periode awal ini, sistem keuangan negara
masih berlangsung secara sederhana karena menyangkut wilayah yang tidak begitu luas.
Meskipun demikian, pada periode pertama ini umat Islam telah mempunyai
pemikiran tentang mata uang sendiri.
Pada
periode kedua yang dimulai pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khatab, negara lslam
Madinah telah mulai mapan. Pada masa Umar dibentuk lembaga yang mengelola
administrasi kekayaan negara yang dikenal dengan nama bait al-Mal yang sebelunmnya sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW
dan Abu Bakar. Secara
konseptual Bait al- mal tidak dipahami sebagai bangunan fisik, tetapi lebih sebagai tujuan , artinya bait al-mal
lebih sebagai institusi yang abstrak.
Dalam sistem ekonomi konvensional, sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah terdiri dari beberapa bagian, yaitu:[3]
No.
|
Peneriamaan Negara
|
1.
|
Penerimaan Pajak
a.
Pajak dalam negeri
(pajak penghasilan, perseroan, pertambahan nilai, penjualan, dll)
b.
Pajak perdagangan
internasional
|
2.
|
Penerimaan Negara Bukan
Pajak
a.
Penerimaan sumber daya
alam
b.
Bagian pemerintah atas laba BUMN
c.
Penerimaan negara bukan
pajak lainnya
|
3.
|
Hibah dan Bantuan Luar
Negeri
|
No.
|
Pengeluaran Negara
|
1.
|
a.
Belanja Negara
b.
Belanja Pemerintah Pusat
c.
Belanja Daerah
|
2.
|
Pembiayaan
a.
Dalam Negeri
b.
Luar Negeri
c.
Tambahan pembiayaan
utang
|
Sedangkan
dalam Islam, walaupun pola anggaran pendapatan
negara hampir sama dengan perekonomian konvensional
(klasik dan neoklasik), namun penggalian sumber-sumber
dana didasarkan pada syariah. Terhadap pengaturan
pendapatan publik, Rasulullah merupakan kepala negara
pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan
negara pada abad
ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan
negara harus dikumpulkan terlebih dahulu kemudian
dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status
harta tersebut adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan dana disebut
Baitul Mal atau bendahara
negara.[4]
No.
|
Sumber Penerimaan dan
Pengeluaran
|
Tahun dimulai
|
1.
|
Zakat
|
Diperintahkan tahun 2 H
dan diwajibkan tahun 9 H
|
2.
|
Jizyah
|
Setelah tahun 7 H
|
3.
|
Kharaj
|
Setelah tahun 7 H
|
4.
|
‘Ushur
|
Setelah tahun 7 H
|
5.
|
Nawaib
|
|
6.
|
Pinjaman
|
|
7.
|
Waqaf
|
Tahun 4 H, melalui penaklukan
Bani Nadhir
|
8.
|
Fai’
|
Tahun 7 H atau 8 H
|
9.
|
Khums
|
Tahun 2 H setelah perang
Badar
|
10.
|
Amwal Fadla
|
|
11.
|
Kaffarah
|
1.
Zakat
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah : 103)
Zakat sebagai Instrumen Fiskal dalam Islam.
Beberapa hal penting ekonomi Islam yang berimplikasi
bagi penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a)
Mengabaikan keadaan
ekonomi dalam ekonomi Islam, pemerintahan Muslim harus menjamin bahwa Zakat
dikumpulkan dari orang-orang Muslim yang memiliki harta melebihi nilai
minimum dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab Suci
Al-Quran.
b)
Tingkat
bunga tidak berperan dalam sistem ekonomi Islam. Perubahan ini secara alamiah
tidak hanya pada kebijakan moneter tetapi juga pada kebijakan fiskal. Ketika
bunga mencapai tingkat keseimbangan dalam pasar uang tidak akan dapat
dijalankan, beberapa alternatif harus ditemukan. Salah satu alat alternatifnya
adalah menetapkan jumlah dari uang idle.
c)
Ketika
semua pinjaman dalam Islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan
dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil. Oleh karena itu ukuran public
debt menjadi lebih kecil.
d)
Ekonomi Islam merupakan
diupayakan untuk membantu atau mendukung ekonomi masyarakat Muslim yang
terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran Islam.
e)
Negara Islam merupakan
negara yang sejahtera, dimana kesejahteraan memiliki makna yang luas dari pada
konsep Barat. Kesejahteraan
meliputi aspek material dan spiritual dengan lebih besar menekankan pada sisi
spiritual. Negara Islam menjamin kepemilikan harta, agama warga
negara,kehidupan keturunan.
f)
Pada saat perang , Islam
berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tetapi juga pada
harta bendanya untuk menjaga agama.
g)
Akhirnya, namun hal ini
yang sangat penting , hak perpajakan dalam negara Islam tidak tak terbatas.
Beberapa orang kebanyakan mengatakan bahwa kebijakan perpajakan diluar apa yang
disebut zakat, ini adalah tidak mungkin kecuali berada dalam situasi tertentu.[5]
Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal mempunyai beberapa peranan:
a)
Zakat
memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan.
b)
Zakat
adalah sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus.
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang
ditentukan.
c)
Zakat
sebagai sistem sosial berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan. Zakat
sebagai sistem politik , karena pada asalnya negaralah yang mengelola
pemungutan dan pembaginnya.[6]
2.
Jizyah
Jizyah berasal dari kata “jazaa” yang berarti
balasan dan secara istilah jizyah merupakan harta yang wajib
dibayarkan oleh kalangan ahlu Dzimmi yang bertempat tinggal di
sebuah Daulah Islam kepada pemerintah atau penguasa Daulah Islam
tersebut.[7] Jizyah atau jizya adalah
pajak per kapita yang diberikan pada non-Muslim pada suatu negara di bawah
peraturan Islam.[8] Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang
lanjut usia, orang gila, dan orang yang menderita sakit dibebaskan dari
kewajiban ini. Pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga
berupa barang atau jasa.
Kelompok non muslim pertama yang membuat perjanjian
membayar jizyah kepada pemerintahan Islam pada masa Rasulullah adalah kaum
Nasrani Najran, kemudian masyarakat Bahrain yang menganut paham Zorotrisme.
Adapun warga non muslim yang wajib membayar
jizyah adalah laki-laki dewasa yang meredeka (bukan budak). Sedangkan bagi
wanita, anak-anak, orang tua pendeta, pengemis dan orang gila tidak dikenakan
wajib jizyah. Malahan bagi mereka yang tidak mampu membayar justru mendapat
subsidi dari negara. Pada
masa Rasulullah besarnya jizyah yang dipungut adalah 1 dinar / tahun untuk
laki-laki dewasa yang mampu. Pada masa Umar ibn Khatab, daerah kekuasaan islam
semakin luas, dan diberbagai wilayah tersebut banyak kaum Nasrani dan kafir
zimmi yang belum masuk Islam, sementara mereka wajib membayar jizyah, maka
Khalifah Umar membuat sistem dan aturan baru tentang jizyah. Hal ini bertujuan
bertujuan untk mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Umar menetapkan
tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi dan kemampuan para
wajib jizyah tersebut.[9]
Mekanisme Pembayaran Jizyah
Di awal periode Islam, penerimaan negara selain
dari zakat dan kharaj juga
diperoleh dari sumber pungutan jizyah. Dimana jizyah merupakan pungutan yang dikenakan kepada
kelompok non-Muslim yang tinggal di Negara Islam dengan menerima jaminan
keamanan, keselamatan, hidup dan kebebasan beribadah dengan membayar kompensasi
berupa pungutan jizyah (biaya yang harus di tanggung karena
menikmati fasilitas dan kemudahan serta jaminan keamanan di negara Muslim).
Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun
dalam ajaran Islam juga mengenal toleransi, di mana hanya dikenakan atas
orang-orang yang mampu secara fisik dan mental artinya bagi non-Muslim yang
sudah tua, anak-anak atau orang yang sakit atau gila tidak dikenaikan pungutan jizyah.
Jizyah bukanlah pajak regresif. Besarnya pungutan jizyah inipun
juga bervariasi yaitu antara 12 dan 48 dirham setahun dalam rupihnya, sesuai
dengan kondisi keuangan mereka. Jika
mereka memutuskan masuk Islam, maka kewajiban atas jizyah telah gugur
atasnya. Sedangkan sumber dari pendapatan jizyah tersebut
diperuntukkan untuk pembiayaan kesejahteraan umum.[10]
Dikenakan banyaknya jizyah sebagai berikut:
a)
Orang-orang
kaya diambil sebanyak 48 dirham.
b)
Orang-orang
menengah diambil sebanyak 24 dirham.
c)
Di bawah
menengah diambil 12 dirham.
d)
Untuk
orang miskin yang berhak meneraima Shadaqah tidak dipungut jizyah, juga orang
yang tidak mampu bekerja, orang buta, pensiun, orang gila, dan sejenisnya.
Jizyah juga hanya dibebani kepada orang-laki-laki merdeka, berakal dan dewasa
dan tidak diwajibkan kepada wanita dan anak-anak.
Sedangkan pemungutan jizyah, para pemimpin Islam telah
berpesan kepada para gubernur dan petugasnya agar saat menjalankan tugas kepada
ahli kitab, mereka bersikap lembut dan bijaksana dengan tetap memelihara jiwa
dan harta bendanya dari kesewenang-wenang. Bahwasanya tidak boleh melakukan
pemukulan kepada siapapun dari kalangan ahlu dzimmah agar mereka bersedia
membayar jizyah, tidak boleh dijemur, tidak boleh melakukan tindakan yang
membuat mereka cacat dan seterusnya.[11]
Setelah Islam runtuh yakni setelah keruntuhan
Islam di Turki Usmani dan Spanyol, istilah jizyah tidak ada lagi. Hal ini
disebabkan daerah-daerah Islam telah dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga
pajak terhadap warga non muslim tidak ada lagi. Pada zaman modern, pajak jiwa
yang dipungut oleh pemerintah terhadap warga asing yang masuk dan atau menetap
dalam wilayah kekuasaan suatu pemerintahan adalah dalam bentuk visa.
3.
Kharaj
Kharaj atau biasa disebut dengan pajak bumi/tanah adalah
jenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan
senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang
dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun tidak beriman.
Kharaj
merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan
hutan milik umat. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang dimiliki
non-Muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah perang, aset tersebut
menjadi bagian kekayaan publik umat. Karena itu, siapapun yang ingin mengolah
lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk
dalam lingkup kharaj. Jika orang non muslim yang mempunyai perjanjian damai dan
tanah tetap sebagai miliknya maka membayar kharaj sebagai pajak bukan sewa.
Jika tanah tersebut jatuh menjadi milik orang muslim, maka kharajnya sebagai
ongkos sewa atas tanah tersebut.[12]
Sumber
pendapatan negara berupa kharaj belum ada pada masa Rasulullah. Ia mulai digali
pada masa Umar bin al-Khattab. Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas bumi
atau hasil bumi.
Dua istilah kharaj dan jizyah mempunyai arti umum, yaitu
pajak dan mempunyai arti khusus dimana kharaj berarti pajak bumi dan jizyah
berarti pajak kepala. Arti
khusus yang membedakan antara keduanya inilah yang ada pada masa-masa awal
Islam. Di Indonesia kharaj termasuk pada pajak bumi dan bangunan.
Umar bin al-Khattab adalah orang pertama yang membangun
lembaga kharaj dalam Islam. munculnya lembaga kharaj dalam Islam diaklibatkan
dari pandangan umar yang jauh ke depan demi mengantisipasi supaya terpenuhinya
kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat. Penentuan
tarif kharaj didasarkan pada faktor-faktor :
a)
Kapasitas tanah, subur dan tidaknya,
b)
Jenis tanaman,
c)
Metode irigasi,
d)
Letak tanah dan
e)
Kemampuan pemilk tanah. Dengan demikian besar
kecilnya kharaj diserahkan pada keputusan negara.
Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai
pajak antara lain sebagai berikut:
a)
Wilayah
lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam.
·
Wilayah
yang diperoleh melalui peperangan.
·
Wilayah
yang diperoleh melalui perjanjian damai.
·
Wilayah
yang dimiliki muslim diluar Arab (membayar Usyr).
b)
Wilayah
yang berada di bawah perjanjian damai.
·
Penduduk
yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr).
·
Penduduk
yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj).
c)
Tanah
taklukan
·
Penduduk
yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap
menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
·
Tanah
taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar
Kharaj.
·
Tanah
yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
·
Tanah
yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.[13]
4.
‘Ushur
‘Usyur yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua
pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang
yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingakt
bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini
juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai pusat
perdagangan regional terbesar.[14]
Sistem keuangan dengan model usyur ini diterapkan di
zaman Umar bin Khatab dengan dilatarbelakangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang
telah menulis surat kepada Umar bin Khattab yang memberitahukan bahwa para
pedagang kaum muslimin yang memasuki wilayah orang-orang musyrik atau ke negara
kafir (darul harb) yang tidak ada perjanjian damai, mereka harus
membayar Usyur (1/10) per kepala dari barang dagangan mereka.
Kemudian
Umar menulis surat kepada Abu Musa yang berisi: “Ambilah olehmu dari mereka seperti yang
dilakukan oleh mereka kepada para pedagang muslim. Kemudian ambil pula dari
ahlu dzimmah separuh dari sepersepuluh dirhamnya. Namun, janganlah kamu
mengambil dari mereka sedikit juga bilamana jumlah barang mereka kurang dari
dua ratus. Selanjutnya bilamana mencapai dua ratus maka ambilah dari mereka
lima dirham.”
Karenanya,
Umar memerintahkan kaum muslimin mengambil pajak 1/10 kepada pedagang non
muslim ketika mereka masuk ke negeri Islam. Dan memerintahkan mengambil
setengah dari sepersepuluh kepada ahli dzimmah dan kepada kaum muslimin hanya
seperempat dari usyur jika barang dagangan mereka hanya 200 dirham saja.
Namun
berbeda dengan jizyah yang dalam masa modern ini hampir tidak dijumpai lagi,
pajak perdagangan masih tetap diberlakukan di Negara-negara islam. Tentu saja
penerapannya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam masa sekarang,
penerapan pajak ini antara lain dengan memberlakukan bea masuk barang-barang
impor.
5.
Nawaib[15]
Nawaib merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung kesejahteraan
social atau
kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan
pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat. Hal ini
terjadi dalam masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukkan
dalam Baitul Mal. Dasar hukum atas kewajiban
ini adalah QS. Ar-Ruum (30): 38.
6.
Pinjaman[16]
Pinjaman
atau utang, baik yang berasal luar negeri maupun
dalam negeri dalam Islam sifatnya adalah hanya
sebagai penerimaan sekunder. Alasannya, ekonomi
Islam tidak mengenal bunga, demikian pula untuk
pinjaman dalam Islam haruslah bebas bunga, sehingga
pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan
pajak atau bagi hasil. Dalam pengertian ini,
Islam tidak melarang untuk melakukan utangpiutang asalkan
tidak membebani pengutang, karena sifatnya
hanya membantu dan harus segera diselesaikan dalam
waktu yang singkat. Sepanjang sejarah pemerintah Islam, negara pernah
melakukan utang hanya dua kali, yaitu pada masa kepemimpinan Rasulullah saw dan
pada masa kepemimpinan khalifah ‘Umar ibn al-Khattab. Pinjaman-pinjaman yang
pernah dilakukan saat itu meliputi pinjaman setelah penaklukan kota Makkah
untuk pembayaran diyat kaum muslimin kepada Judzaimah atau sebelum pertempuran
Hawazin sebesar 30.000 dirham kepada ‘Abdullah ibn Rabi’ah, dan meminjam
beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan ibn ‘Umayyah.
7.
Waqaf[17]
Wakaf dari pandangan hukum syara’ berarti “menahan harta
yang mungkin diambil manfaatnya”. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada
Allah swt. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan,
diberikan atau dijual kepada pihak lain. Tanah sebagai wakaf telah memainkan peran besar dalam masyarakat Islam, misalnya:[18]
a)
Lahan
yang ditanami di Daulah Turki Utsmani 75% adalah
tanah wakaf.
b)
Pada
masa penjajahan Perancis di Aljazair pertengahan abad 19,
separuh dari lahan yang ada adalah tanah wakaf.
c)
Di
Tunisia pada abad ke-19, sepertiga lahan yang ada adalah
tanah wakaf.
d)
Di Mesir
pada tahun 1949, sekitar seperdelapan dari lahan
pertanian adalah tanah wakaf.
e)
Di Iran
pada tahun 1930, sekitar 30% lahan yang ditanami
adalah tanah wakaf.
Dalam
menunaikan wakaf, bisa dilakukan dengan harta
bergerak maupun tidak bergerak. Mazhab Maliki membuka kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk yang paling
liquid. Yaitu dalam
bentuk uang tunai.[19]
8.
Khums
Khumus (الخمس) secara bahasa
bermakna satu bagian dari yang lima atau seperlima, jika dilafazkan خمَّس – يخمِّس – تخميس maknanya
adalah mengambil seperlima.[20] Defenisi istilah adalah sama dengan definisi
bahasa.
Para
ulama sepakat bahwa wajib dilaksanakan khumus pada ghanimah, dengan dalil
firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal: 41, namun mereka berbeda pendapat pada
fai.
Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau
barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu:
1)
Barang-barang
tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah
2)
Tanah
arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempat shadaqoh.
3)
Apa pun
yang keluar dari lautan.
4)
Rikaz
(barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya.
Harta-harta yang di khums merupakan:
a.
Ghanimah
Secara
etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan
‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan
dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah
orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang
diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti:
perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan
Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5
untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul
Mal untuk didistribusikan kemudian.Al-Qur'an telah mengatur hal ini secara
jelas.
"Katakanlah sesungguhnya apa saja yang kamu
peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu
sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kamu turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di Hari (Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan".(Q.S.
Al-Anfal, ayat 41).
Sementara Ibn Abbas membagi ghanimah menjadi
enam bagian :
a)
Bagian untuk Allah digunakan untuk kemaslahatam
ka’bah.
b)
Bagian untuk kerabat rasul.
c)
Bagian untuk anak-anak yatim
d)
Orang-orang miskin.
e)
Ibn
sabil
f)
Sokongan kepada ahl al-radkh dan ahl-al-zimmah.
Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi
negara Islam waktu itu, karena masa itu sering terjadi perang suci. Perintah
persoalan ghanimah turun setelah Perang Badar, pada tahun kedua setelah Hijrah
ke Madinah. Ghanimah
merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan
uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur'an.
Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan kepada para prajurit yang
bertempur (mujahidin), sementara seperlimanya adalah khums. jadi, Khums adalah
satu seperlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer
yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini dapat digunakan
negara untuk program pembangunannya.[21]
Menurut Abu Yusuf, Ghanimah adalah segala
sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui
peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan
Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam
keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini
dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.[22]
Ghanimah bukan hanya rampasan perang, tetapi
juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. “Ghanimah
adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan maupun bukan
peperangan” .
Dengan demikian, surah Al-Anfaal ayat 41 harus kita artikan, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” jadi,
di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak
keterangan dari Al-Sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk
kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Sebagian di antaranya kita
cantumkan berikut ini:
Pertama: Rombongan Bani Qays menemui Nabi
saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka
takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan
syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan
penghasilan mereka (Shahih Al-Bukhari 4:205; Shahih Muslim
1:35-36; Musnad Ahmad 3:318). Tidak mungkin mereka disuruh
mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu menghindari
peperangan.
Kedua: Ketika Nabi saw. mengutus ‘Umar bin Hazm ke
Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh
Al-Buldan 1:81; Sirah Ibnu Hisyam 4:265). Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada
kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwatha 1:157; Thabaqat
Ibnu Saad 1:270, dan lain-lain). Kepada juhaynah bin Zaid, Nabi juga
menyuruh, “Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq
Al-Siyasiyah, 142).
b.
Fai’
Fai secara bahasa bermakna naungan (الظل), kumpulan (الجمع), kembali (الرجوع), ghanimah,
kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada pemeluk agama-Nya yang
berasal dari harta-harta orang yang berbeda agama tanpa peperangan.[23]
Adapun fai secara istilah adalah harta-harta yang didapatkan dari musuh dengan
cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir peperangan seperti jizyah,
kharaj dan lain sebagainya.[24]
Harta fai dengan harta ghanimah ada kesamaan
dari dua segi dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya
adalah: Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan orang
kafir, Kedua, penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi
perbedaannya adalah: Pertama, harta fai diberikan dengan suka rela,
sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat perlima
bagian dari harta fai berbeda penggunaannya dengan empat perlima bagian dari
ghanimah.[25]
Fai disyariatkan melalui firman Allah, yaitu:
“Dan apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan
(tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada
Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS.
Al-Hasyr: 6-7)
c.
Rikaz
Rikaz adalah harta yang
terkubur sejak zaman jahiliyah (Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbilah) atau harta
yang ditanam di dalam bumi, baik diciptakan maupun diletakkan (Hanafiyah).[26]
Ulama sepakat bahwa harta rikaz wajib dikhumus, karena Nabi SAW telah bersabda,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ (رواه البخاري)
Artinya: “…… dan pada
rikaz itu ada khumus”. (HR. Bukhari).
9.
Amwal Fadla[27]
Amwal fadla merupakan harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal
dari barang-barang seorang Muslim yang meninggalkan negerinya.
10.
Kaffarah
Kaffarah
merupakan denda yang dulu dikenakan kepada suami istri yang melakukan hubungan di
siang hari pada bulan puasa (Ramadhan). Denda
tersebut dimasukkan
dalam pendapatan negara.
Ada tujuh hal
yang diterangkan tebusan-nya dalam syari’at Islam, yaitu:
a.
Tebusan
untuk pelanggaran sumpah
b.
Tebusan
untuk pelanggaran nadzar
c.
Tebusan
pembunuhan
d.
Tebusan
zhihar (suami, Engkau bagiku seperti punggung ibuku.)
e.
Tebusan
ila’ (sumpah untuk tidak menggauli isteri)
f.
Tebusan
karena ber-jima’ di siang hari bulan Ramadhan
g.
Denda
dalam haji.
Jika diklasifikasikan, jenis tebusan di atas
dapat dibagi dua:
a)
Boleh memilih: tebusan
sumpah, nadzar, ila’, melakukan larangan ketika haji karena sakit, membunuh
binatang buruan ketika haji, ada binatang yang serupa maupun tidak ada.
b)
Tidak boleh memilih:
tebusan zhihar, ber-jima’ di siang hari Ramadhan, membunuh, meninggalkan
kewajiban haji karena sakit ketika haji, terhalang haji tamattu’ dan haji
qiran, dan ber-jima’ sebelum tahallul awwal dalam haji.[28]
Syarat Wajibnya Kafarat Atas Pelanggaran Sumpah
a)
Sengaja mengucapkan
sumpah: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
disengaja, tetapi Dia menghukum disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja (Q.S.
Al-Ma’idah: 89).
c)
Diucapkan atas pilihannya
sendiri, seseorang yang dipaksa mengucapkan sumpah tidak dikenakan tebusan atau
denda; Ummatku dimaafkan karena kekeliruan dan kelupaan serta perkara yang
dipaksakan kepadanya. (HR.
Ibnu Majah: (1/659), al-Hakim, shahih (2/198).))
d)
Ingat.
Seseorang bersumpah karena lupa, atau melanggarnya karena lupa, maka tidak
dikenakan kafarat. (Asy-Syarh Al-Kabir (2/143).
e)
Diucapkan
dengan lisan; sumpah yang hanya dalam hati tidak dikenai sanksi.
Sesungguhnya Allah I membiarkan bagi ummatku sesuatu yang dibisikkan dalam hatinya selama tidak dibicarakan dan tidak pula dilaksanakan. (HR. Al-Bukhari: (2528)
Sesungguhnya Allah I membiarkan bagi ummatku sesuatu yang dibisikkan dalam hatinya selama tidak dibicarakan dan tidak pula dilaksanakan. (HR. Al-Bukhari: (2528)
f)
Terjadi
pelanggaran atas sumpah.
Jenis-jenis kafarat
a.
Kafarat sumpah
Kafarat atas
sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang bisa kita
makan atau memberi pakaian/sandang, atau membebaskan seorang budak, atau
berpuasa 3 hari.
Kafarat atas sumpah tersebut merupakan
alternatif, setiap pelanggar sumpah boleh memilih salah satu dari empat jenis
kafarat tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang
bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian ia melihat ada hal lain yang lebih
baik daripadanya, maka tebuslah sumpah itu dengan sesuatu lalu kerjakanlah hal
yang ia pandang lebih baik tadi.”
Ungkapan “dan tebuslah
lalu kerjakanlah hal yang lebih baik tadi”, sah atau cukup bila menebus
sumpahnya dengan pakaian yang bisa digunakan untuk shalat –untuk laki-laki
dengan gamis, untuk perempuan jubah panjang (Indonesia: daster panjang) dan
kerudung lebar. Tebusannya
juga sah dengan memberi makan 5 orang miskin ditambah pakaian untuk 5 orang. Namun, jika sumpah ditebus dengan membebaskan
budak ½ harga dan ditambah makanan atau pakaian untuk 5 orang, maka tidak
cukup/sah. Dan bagi budak, tidak ada tebusan sumpah kecuali dengan puasa 3
hari.
b.
Kafarat atau tebusan atas nazar
Untuk
kafarat nazar sama seperti kafarat sumpah
c.
Kafarat
pembunuhan
Fukaha sepakat bahwa kafarat membunuh sesama
muslim dengan tidak sengaja ialah memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan
wajib puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah Swt: “…dan
barang siapa membunuh muslim karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang yang diseragkan
kepada keluarganya(si terbunuh) …barang siapa yang tidak memperolehnya, maka
hendak ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut…” (QS.an-Nisa’:92).
Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi,
Maliki, dan Hanbali memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang
melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat diatas.
Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i mewajibkan
juga atas orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah
bahwa tujuan disyariatkan kafarat ialah untuk menghapus dosa; dosa membunuh
dengan sengaja lebih besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh
sebab itu, pembunuhan dengan sengaja lebih pantas untuk dikenai kafarat
daripada yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa yang
lebih besar dan berat itu. Alasan lain yang mereka kemukakan ialah Sabda Nabi
Saw yang diriwayatkan dari Wasilah al-Asqa yang artinya: “Nabi Saw telah
mendatangi kami sehubungan dengan sahabat kami yang mesti masuk neraka karena
membunuh. Nabi Saww bersabda: ‘merdekakanlah budak untuknya, niscaya Allah
membebaskan segenap anggota tubuhnya dari api neraka.” (HR. Abu Dawud,
Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
d.
Zhihar
(seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya)
Haram
bercampur dengan istrinya tersebut sampai ia mebayar kafarat atas ucapannya
itu. Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab menurut tertib
berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalu tidak diperoleh budak, puasa dua
bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup berpuasa, wajib baginya memberi
makan enam puluh orang miskin.
Kafarat tersebut dijelaskan dalan Al-Quran yang artinya:
“Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur …barang siapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) memberimakan enam puluh orang miskin …”(QS.al-Mujadila:
3-4).
e.
Kafarat
berzima’ di bulan ramadhan
Dalil oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairoh ra.
berkata, ”Disaat kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Datang seoang laki-laki kepada Nabi saw dan
berkata, ‘Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang
mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan
Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan
budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu
berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya,
’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’
Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga
didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, ‘Nah sedekahkanlah
ini.’ Orang itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka
tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari
kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata,
’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.’”.[30]
f.
Kafarat
meng-ila’ istri
Sama dengan kafarat sumpah, karena ila’ itu adalah bersumpah untuk tidak
menggauli istri
g.
Denda
dalam haji
Denda
atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan
pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran itu
misalnya melakukan larangan – larangan Ihram atau tidak dapat menyempurnakan
wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para
Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan
Dam apabila melakukan antara lain pelanggaran – pelanggaran sebagai berikut:[31]
1)
Melakukan
Haji Qiran atau Tamattu.
2)
Tidak
Ihram dari Miqat
3)
Tidak
Mabit I di Muzdalifah
4)
Tidak
Mabit II di Mina
5)
Tidak
melontar Jumrah
6)
Tidak
melakukan Tawaf Wada
DAM
TAKHYIR TA’DIL
Membayar dam untuk kesalahan melakukan salah
satu dari dua perkara yaitu ; memburu binatang darat yang boleh dimakan
dagingnya, atau menebang, memotong dan mencabut tanaman di tanah suci. Dendanya
adalah salah satu berikut ini : Memotong seekor kambing atau memberi Fidayah
kepada fakir miskin senilai satu kambingitu atau berpuasa selama 10 hari.
DAM
TAKHYIR TAKDIR.
a.
Membayar
denda karena melakukan satu dari larangan-larangan berikut ini :
b.
Memotong
,mencabut rambut atau bulu badan,
c.
Mengenakan
pakaian terlarang sewaktu ihram
d.
Memakai
minyak wangi pada rambut atau jenggot
e.
Memawak
wewangian pada badan atau pakaian
f.
Bersetubuh
sebelum Tahallul kedua.
Dam yang
dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah memotong seekor kambing atau
memberi makan fakir miskin senilai kambing itu atau berpuasa selama 10 hari.
DAM
TARTIB TA’DIL
Membayar denda karena bersetubuh dengan istri
sebelum tahallul, yaitu dengan menyembelih seekor unta atau 7 ekor kambing atau
memberi makan fakir miskin senilai satu unta atau berpuasa selama 10 hari.
DAM
TARTIB TAKDIR
a.
Membayar
denda karena melakukan salah satu perkara – perkara sebagai berikut ;
b.
Melakukan
Haji Tamattu atau Qiran.
c.
Tidak
melakukan Wukuf di Arafah
d.
Tidak
Melontar Jumrah
e.
Tidak
Mabit di Muzdalifah
f.
Tidak
Mabit di Mina
g.
Tidak
Ihram di Miqat
h.
Tidak
melakukan Tawaf Wada
i.
Tidak
memenuhi nazar yang diikrarkan.
Dam yang
dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah memotong seekor kambing atau
memberi makan fakir miskin senilai kambing itu atau berpuasa selama 10 hari.
PELANGGARAN
DAN DENDA
Larangan
|
Kondisi
|
Dam
atau denda
|
Memakai
Pakaian
|
Pria
|
Memotong
seekor kambing , berpuasa selama 10 hari.3 hari di tanah suci sisa di tanah
air
|
Menutup
kepala
|
Pria
|
Memotong
seekor kambing
|
Menutup
muka atau tangan
|
Wanita
|
Memotong
seekor kambing
|
Memotong
rambut
|
Lebih
dari 12 helai
|
Memotong
seekor kambing
|
Memotong
Kuku
|
Kurang
dari 12 helai
|
Memberi
makan Fakir Miskin
|
Memakai
wewangian
|
Pria/Wanita
|
Bersedekah
1 Mud
|
Berburu
atau membunuh binatang buruan
|
Memotong
seekor kambing atau memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa setiap fakir
miskin satu hari puasa
|
|
Bertengkar
|
Pria/Wanita
|
Memotong
seekor kambing
|
Merusak
tanaman di tanah suci
|
Memotong
seekor kambing
|
|
Melakukan
akad nikah atau menikahkan
|
Sebelum
Tahallul Awal
|
Memotong
seekor kambing
|
Bersetubuh
|
Sesudah
tahallul Awal
|
Hajinya
Batal, Wajib Memotong seekor unta atau sapi atau puasa selama 10 hari.3 hari
di tanah suci sisa di tanah air. Hajinya sah, Wajib memotong seekor unta atau
sapi.
|
B.
Kebijakan Anggaran atau Politik
Anggaran
Setiap tahun pemerintah menyusun Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) kemudian mengajukannya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi APBN. RAPBN itu berisi berbagai
perencanaan, intinya adalah kebijakan fiskal.
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang ada di Indonesia dapat didefinisikan sebagai rencana
keuangan tahunan Pemerintah Indonesia yang disetujui oleh DPR. APBN berisi daftar sistematis dan rinci yang
memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. APBN, perubahan APBN dan pertanggungjawaban
APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. APBN dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[32]
Secara garis besar, susunan APBN dapat
dikelompokkan menjadi 3 bagian:
1.
Anggaran
Pendapatan. Anggaran Pendapatan dalam APBN adalah penerimaan anggaran
negara yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah.
2.
Anggaran
Belanja. Anggaran Belanja dalam APBN adalah anggaran yang digunakan untuk
keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3.
Pembiayaan. Pembiayaan
dalam APBN adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Tujuan
Disusunnya
Anggaran
1)
Digunakan
sebagai landasan yuridis formal dalam memilih sumber dan investasi dana.
2)
Memberikan
batasan atas jumlah dana yang dicari dan digunakan
3)
Merinci
jenis sumber dana yang dicari maupun jenis investasi dana sehingga dapat
memudahkan pengawasan
4)
Merasionalkan
sumber dana dan investasi dana agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
5)
Menyempurnakan
rencana yang telah disusun karena dengan anggaran, lebih jelas dan nyata
terlihat
6)
Menampung
dan menganalisis serta memutusakan setiap usulan yang berkaitan dengan
keuangan.
Anggaran
Dalam Pandangan Islam.
“.... Sesungguhnya orang yang paling baik untuk kita
ambil sebagai pekerja adalah orang yang memiliki kemampuan dan terpercaya”(QS. al-Qashash: 26)
Nabi
Muhammad SAW bersabda:
“Janganlah kamu memperhatikan banyaknya
shalat dan puasanya, jangan pula kamu perhatikan banyaknya haji dan
kesalehannya. Tetapi perhatikanlah kejujurannya dalam menyampaikan informasi
dan menjalankan amanat.”
Ali bin
Abi Thalib berkata :
“Kejujuran
akan menyelamatkan kamu walaupun kamu takut kepadanya dan kebohongan mencelakan
kamu walaupun tenteram karenanya”
Macam-macam kebijakan
anggaran atau politik anggaran:[33]
APBN yang disusun pemerintah setiap tahun dapat
dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan anggaran (fiskal) yang disesuaikan
dengan kondisi perekonomian suatu negara. Kebijakan anggaran meliputi hal-hal
berikut.
1.
Anggaran
Defisit (Defisit Budget)/Kebijakan Fiskal Ekspansif.
Anggaran defisit adalah kebijakan Pemerintah
untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi
stimulus pada perekonomian. Kebijakan ini umumnya digunakan jika keaadaan
ekonomi sedang resesif. Peningkatan belanja Pemerintah dan atau penurunan pajak
ini dirancang untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk
meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka pengangguran.
2.
Anggaran
Surplus (Surplus Budget)/Kebijakan Fiskal Kontraktif.
Anggaran surplus adalah kebijakan Pemerintah
untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Kebijakan
anggaran surplus biasanya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi
ekspansif yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
Pengurangan belanja Pemerintah dan atau peningkatan pajak ini dirancang untuk
menurunkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk mengontrol inflasi.
3.
Anggaran
Berimbang (Balanced Budget).
Anggaran berimbang terjadi ketika Pemerintah
menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan kebijakan anggaran
berimbang ini adalah untuk mendapatkan kepastian anggaran serta
meningkatkan disiplin anggaran.
4.
Anggaran Dinamis
Anggaran dinamis adalah anggaran yang selalu meningkat
dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Selain itu, diusahakan meningkatkan
pendapatan dan penghematan dalam pengeluarannya., sehingga dapat meningkatkan
tabungan pemerintah/negara untuk kemakmuran masyarakat.
Paradigma
Penyusunan APBN Islam
APBN dalam Islam disebut dengan
istilah Baitul Mal. Mekanisme penyusunan APBN Islam memiliki paradigma
yang berbeda dengan APBN konvensional. Beberapa perbedaan paradigma tersebut
adalah:
a.
APBN
Islam tidak dibuat setiap tahun.
b.
APBN
Islam tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat.
c.
Dalam
APBN Islam, sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh
syariah.
d.
Dalam
APBN Islam, Khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN tersebut
melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya.
e.
Alokasi
dana masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran dalam APBN Islam
diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Dari kelima butir paradigma penyusunan APBN
Islam tersebut dapat dipahami, bahwa APBN yang telah disusun dan ditetapkan
oleh Khalifah dengan sendirinya akan menjadi UU yang harus dijalankan oleh
seluruh aparatur pemerintahan. Penyusunan UU APBN Islam ini tidak
membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Penentuan alokasi dana per masing-masing
sumber pendapatan dan pos pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan
ijtihad Khalifah sehingga tidak memerlukan pembahasan dengan Majelis Umat.
Meskipun demikian, boleh saja Majelis Umat memberikan masukan, tetapi
pendapatnya tetap tidak mengikat bagi Khalifah.
Dengan mekanisme tersebut, APBN Islam dapat
dikatakan bersifat tetap dari aspek sumber-sumber pendapatan dan pos-pos
pengeluarannya, tetapi alokasi anggaran per masing-masing sumber pendapatan dan
pos pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata
penerimaannya kurang, dengan mudah Khalifah akan menggenjot penerimaan
tersebut. Begitu juga dengan pemasukannya. Jika alokasi yang dianggarkan
berlebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan
kepada pemerintah pusat, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo
anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Selain itu, kebijakan keuangan dalam APBN Islam
ini menganut prinsip sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian
didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan
berdasarkan jumlah pemasukannya. Jika ada daerah yang sedang membangun dan
membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan,
maka negara dapat menyubsidi daerah tersebut.
Hal yang sama berlaku bagi daerah yang
membutuhkan dana besar karena serangan musuh atau bencana. Dengan cara ini,
tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat sasaran.
Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada
ketimpangan antar daerah.
Sumber
Penerimaan dan Pos Pengeluaran APBN Islam
Sumber-sumber penerimaan dalam APBN Islam
sangat berbeda dengan APBN konvesional. Sebab, sumber penerimaan APBN Islam
sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak dan utang, sebagaimana APBN
konvensional. Sumber penerimaan negara untuk APBN Islam ada tiga:
1)
Dari
sektor kepemilikan individu. Misal: sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus
untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
2)
Dari
sektor kepemilikan umum. Misal: pertambangan, minyak bumi, gas, kehutanan dsb.
3)
Dari
sektor kepemilikan negara. Misal: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i,
‘usyur dsb.
Dari ketiga sumber penerimaan negara tersebut
selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam seksi-seksi. Misal: dari
kepemilikan individu dibagi ke dalam seksi zakat uang dan perdagangan; seksi
zakat pertanian dan buah-buahan; seksi zakat ternak unta, sapi dan kambing.
Dari kepemilikan umum: seksi minyak dan gas; seksi listrik; seksi pertambangan;
seksi sungai; laut, perairan dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; seksi
tempat khusus. Dari kepemilikan negara: seksi ghanimah; seksi kharaj;
seksi tanah; seksi jizyah; seksi fa’i; seksi dharibah (pajak).
Untuk fakta sekarang ini, sumber penerimaan
terbesar yang dapat diandalkan negara seperti Indonesia ini adalah dari sektor
kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak dan gas, kehutanan, kelautan dsb.
Di dalam Islam, tugas negara hanyalah sebatas mengelolanya kemudian mengembalikan
hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, sesuai ketentuan yang sudah
digariskan oleh syariah. Dengan demikian Islam melarang kepemilikan umum
tersebut dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi swasta asing, sebagaimana
yang menimpa Indonesia saat ini.
Apabila sumber penerimaannya sudah mencukupi,
negara tidak perlu memungut pajak (dharibah) dari rakyatnya. Pemungutan pajak
hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi defisit. Pemungutan pajak
tersebut hanya bersifat sementara (temporal) dan hanya dibebankan atas warga
negara yang mampu saja.
Dalam hal pos pengeluaran APBN Islam, syariah
Islam juga telah memberikan ketentuan yang jelas, yang dapat dijadikan
pegangan oleh Khalifah untuk mengalokasikan pengeluarannya. Ada 6 kaidah utama
dalam pengalokasian anggaran belanja APBN Islam, yaitu:
a.
Khusus untuk harta di
dalam Kas APBN Islam yang berasal dari zakat, maka pos pengeluarannya wajib
hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam
al-Quran.
b.
Pos
pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk keperluan jihad dan
menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
c.
Pos
pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk memberikan gaji
(kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu:
pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
d.
Pos pembelanjaan untuk
pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti jika
sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaaratan bagi rakyat. Contoh: pembangunan jalan, jembatan, sekolah,
rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
e.
Pos
pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah
atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contoh: paceklik, gempa bumi, banjir,
angin topan, tanah longsor dsb.
f.
Pos
pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak
wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana
yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan
kemadaratan bagi rakyatnya.[34]
Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara
melalui suatu pengeluaran dan pendapatan. Dalam Islam, kebijakan fskal
inibertujuan untuk menciptakan masyarakat yang di dasarkan pada keseimbangan
distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual
secara seimbang. Kebijakan fiskal ini juga lebih banyak perannya dalam ekonomi
Islam dari pada ekonomi konvensional. Walaupun jika diamati sedemikian detail, pola anggaran pendapatan
Negara Islam hampir
sama dengan perekonomian konvensional
(klasik dan neoklasik), namun penggalian sumber-sumber
dana didasarkan pada syariah.
Apalagi kebijakan fiskal di dalam Sistem Ekonomi Islam bukanlah
merupakan suatu hal yang baru seperti halnya dalam Sistem Ekonomi Kapitalis
tetapi ia sudah dipraktekkan sejak negara Islam pertama kali berdiri. Jika
sumber-sumber penerimaan negara tidak mencukupi belanja negara terutama yang
sifatnya wajib, maka negara diperbolehkan menarik pajak dari kaum Muslimin
untuk menutupi kekurangan anggaran negara.
Kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran negara
dilandasi oleh suatu politik ekonomi Islam, yaitu menjamin pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs)
perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat
al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya. Atas dasar politik ekonomi
inilah negara melakukan kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran untuk
menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Daftar Pustaka
A,
Hassan. Tarjamah Bulughul Marram, (CV.
Diponegoro, Bandung, 1981
Al-Mawardi, Al-Ahkam
As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989
Ali,
Nuruddin. 2006. Zakat
sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Amalia, Euis. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Depok:
Gramata Publishing
Hammad, Nazih. 1995. Mu’jam Al-Mushthalahat
Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’. Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab
Al-Islamy.
Ibnu Rasyd. 1990. Tarjamah, Bidyatul
Mujtahid. Asy-sifa: Semarang, 1990
Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
Karim, Adhiwarman
A. 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (IIT Indonesia, Jakarta
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf tunai pada 11 Mei 2002
Majid, Muhammad
Nazori. 2003. Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam:
Relevansinya Dengan Kekinian. Yogyakarta:
Pusat Studi Ekonomi Islam.
Manzhur,Ibnu. 2005. Lisan
Al-‘Arab. Beirut:
Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Muhammad. 2000. Kebijakan
Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Embat: Jakarta.
Mughniyah, Muhammad Djawad. 2005. Fiqih Lima Mazhab. Lentera: Jakarta.
Nasution, Harun. 2008. Islam
“Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Universitas Indonesia (UI) Press: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih
Sunnah. PT
Alma’arif: Bandung.
Sofiani, Ratna
Dewi. 2003. Wakaf Tunai: Instrumen Alternatif Kemakmuran
Umat Makalah
FE-UI. Jakarta
[1] Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), h. 124. (dalam Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam)
[5] Drs.
Muhammad, M.Ag. Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, Penerbit
Salemba Empat ( PT Salemba Emban Patria) Jakarta,2000, halaman
197.
[6] Ali
Nuruddin, Zakat sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal,edisi 1 ,Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada 2006, halaman 152-153.
[10]
Muhammad Nazori Majid, Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam: Relevansinya
Dengan Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003) hlm 227-228
[11] Harun
Nasution, Islam “Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI) Press. 2008) h.51
[14] Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, hal 75.
[18] Ratna
Dewi Sofiani, Wakaf Tunai: Instrumen Alternatif Kemakmuran Umat Makalah FE-UI (Jakarta: 2003)
[20] Nazih Hammad, Mu’jam
Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar
Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III,
hlm. 156.
[22] Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, hal 72.
[23] Ibnu
Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah,
2005), Juz. I, hlm. 131-132
[24] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat
Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li
Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 270. Ada juga yang mendefenisikan fai
dengan kembalinya seorang suami untuk menggauli istrinya setelah dia bersumpah
atau berjanji untuk tidak menggaulinya.
[25]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn
Qutaibah, 1989), Cet. I, hlm. 161
[26] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat
Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li
Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 183.
[31] Muhammad Djawad Mughniyah, Muhammad Djawad, Fiqih Lima
Mazhab, (Lentera, Jakarta, 2005), hlm. 90
[34]Dwi Condro Triono.
2012. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Irtikaz. Yogyakarta. (dalam http://www.hizbut-tahrir.or.id/2013/12/01/politik-anggaran-dalam-islam/)