Laman

03 Januari, 2017

Musyarakah Mutanaqisah dan Implementasinya di Lembaga Keuangan Islam

Musyarakah Mutanaqisah dan Implementasinya di Lembaga Keuangan Islam
Juni Yusran
1401104010032

Abstrak
Semakin berkembangnya perbankan syariah mendorong semakin berkembang pula produk-produk didalamnya. Salah satu produk perbankan syariah yang diminati oleh masyarakat adalah produk musyarakah mutanaqisah. Musyarakah mutanaqisah merupakan produk turunan dari akad musyarakah. Musyarakah mutanaqisah (diminishing partnership) sendiri adalah bentuk kerjasama antar dua pihak atau lebih  untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Musyarakah mutanaqisah dapat diaplikasikan sebagai suatu produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip syirkah ‘inan, dimana porsi modal (hishshah) salah satu syarik (mitra) yaitu bank berkurang disebabkan oleh pembelian atau pengalihan komersial secara bertahap (naqlul hishshah bil ‘iwadh mutanaqisah) kepada syarik (mitra) yang lain yaitu nasabah.
Kata Kunci: Musyarakah Mutanaqisah
Pendahuluan
Lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana, atau kedua-duanya.[1] Lembaga keuangan yang memberikan jasa paling lengkap adalah bank. Adanya lembaga perbankan sangat mempengaruhi kegiatan perekonomian suatu negara, oleh karena itu bank dikatakan sebagai jantung perekonomian. Semakin maju suatu negara maka akan semakin besar pula peran bank dalam mengendalikan negara tersebut. Dalam artian, posisi dunia perbankan sangat dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Seorang pebisnis, biasanya menggandeng atau bersekutu dengan orang lain atau badan lain untuk melancarkan kegiatan bisnisnya, dalam hal ini bisa disebut dengan istilah kerjasama. Kerjasama inilah yang dimaksud dengan Musyarakah atau syirkah.
Menurut bahasa Arab, syirkah berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar), yang berarti menjadi sekutu atau syarikat (kamus al-Munawar), menurut arti asli bahasa Arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian yang lainnya.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, musyarakah berarti serikat dagang, perseroan, dan persekutuan.[3] Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.[4] Sementara mutanaqisah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap.[5]
Musyarakah mutanaqisah merupakan produk turunan dari akad musyarakah. Musyarakah mutanaqisah (diminishing partnership) sendiri adalah bentuk kerjasama antar dua pihak atau lebih  untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak yang lain.[6]
Musyarakah mutanaqisah dapat diaplikasikan sebagai suatu produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip syirkah ‘inan, dimana porsi modal (hishshah) salah satu syarik (mitra) yaitu bank berkurang disebabkan oleh pembelian atau pengalihan komersial secara bertahap (naqlul hishshah bil ‘iwadh mutanaqisah) kepada syarik (mitra) yang lain yaitu nasabah.[7]
Komisi Fatwa Dewan Syariah Nasional telah merumuskan fatwa terkait Musyarakah Mutanaqishah ini, dengan keputusan No. 01/DSN-MUI/X/2013 yaitu tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqisah dalam produk pembiayaan yang masih ada kaitannya juga dengan fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah dan Musyarakah yaitu Fatwa No. 08/DSN-MUI/IV/2000. Lembaga Keuangan Syariah dapat mengambil fatwa tersebut untuk mengembangkan produknya. Sehingga kesenjangan akad pada pembiyaan tersebut dapat terselesaikan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada akad murabahah dapat ditutupi oleh akad Musaraqah Mutanaqisah ini. Kemudian, dampak dari variasi akad akan membuat nasabah memilih sesuai dengan keinginan, kemampuan dan kebutuhannya.[8]
Metode Penelitian
a.             Sumber Data
Sumber data terdiri dari dua sumber, yaitu:
1.             Data primer. Data ini diperoleh dengan penyebaran kuesioner online (Google Form) pada masyarakat melalui Facebook, BBM, LINE, dan Instagram.
2.             Data Sekunder. Data ini diperoleh dengan mengkaji hasil penelitian atau rangkuman dari dokumen-dokumen serta literatur lain, seperti buku, makalah, dan situs web.

b.             Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.             Studi Literatur, dengan pengkajian literatur yaitu keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan, buku-buku terkait Fiqh Muamalah, buku Standar Produk Musyarakah Mutanaqisah, dan referensi terkait.
Pembahasan
A.           Pembiayaan
Aktivitas bank syariah dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan modal (dana) kepada nasabah disebut dengan pembiayaan. Pembiayaan memiliki arti kepercayaan (trust) lembaga pembiayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan.[9] Bank syariah menyalurkan modal bukan sebagai utang piutang, tetapi sebagai investasi yang diberikan kepada nasabah dalam melaksanakan usaha.[10] Pembiayaan berperan dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan usaha nasabah, menciptakan stabilisasi ekonomi, dan, meningkatkan profitabilitas bank syariah.
B.            Musyarakah Mutanaqisah
Pengertian musyarakah atau syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilat atau penggabung atau pencampuran. Menurut ulama fiqh, syirkah secara istilah adalah penggabungan harta untuk dijadikan modal usaha dan hasilnya yang berupa keuntungan atau kerugian dibagi bersama.[11] Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[12]
Musyarakah mutanaqisah merupakan produk turunan dari akad musyarakah. Musyarakah mutanaqisah (diminishing partnership) sendiri adalah bentuk kerjasama antar dua pihak atau lebih  untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak yang lain.[13]
Musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.[14]
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah adalah produk pembiayaan berdasarkan prinsip musyarakah, yaitu syirkatul 'inan, yang porsi (hishshah) modal salah satu syarik (Bank Syariah/LKS) berkurang disebabkan pengalihan komersial secara bertahap (naqlul hishshah bil 'iwadli mutanaqishah) kepada syarik yang lain (nasabah).[15]
Dari sini kita dapat memahami bahwa Musyarakah Mutanaqishah adalah akad kerajasama antara dua pihak (Bank dengan Nasabah), dalam kepemilikan suatu asset, yang mana ketika akad ini telah berlangsung asset salah satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke tangan kongsi yang satunya, dengan perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara bertahap.
Produk Musyarakah Mutanaqishah telah diterapkan oleh beberapa Bank Syariah yang meliputi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memiliki suatu aset tertentu melalui pembiayaan berbasis kemitraan bagi hasil antara pihak Nasabah dan Bank yang pada akhir perjanjian seluruh aset yang dibiayai tersebut menjadi milik Nasabah. Pengalihan kepemilikan aset tersebut melalui cara Nasabah mengambil alih porsi modal (hishshah) dari Bank secara angsuran berdasarkan suatu metode pembayaran tertentu selama jangka waktu kontrak yang disepakati bersama. Produk Musyarakah Mutanaqishah dapat dilakukan untuk tujuan pembiayaan kepemilikan aset seperti rumah maupun kendaraan baik baru maupun lama. Struktur produk berbasis akad Musyarakah Mutanaqishah dibuat secara multiakad (hybrid) yang selain akad Musyarakah terdiri atas akad ijarah (leasing), ijarah mawsufah fi zimmah (advance/forward lease), bai al musawamah (penjualan) ataupun akad istisna (manufaktur).[16]
C.           Dasar Hukum Musyarakah Mutanaqisah
Lembaga perbankan adalah highly regulated industry, apalagi perbankan syariah selain terikat oleh rambu-rambu hukum positif sistem operasional bank syariah juga terikat erat dengan hukum Allah, yang pelanggarannya berakibat kepada kemadharatan di dunia dan akherat. Oleh karena uniknya peraturan yang memagari seluruh transaksi perbankan syariah tersebut, dalam kajian ini akan dicoba dibahas mengenai pelaksanaan akad terutama musyarakah mutanaqishah yang dapat dilaksanakan di bank syariah.[17]
Sandaran hukum Islam pada pembiayaan musyarakah mutanaqishah, pada saat ini, dapat disandarkan pada akad musyarakah (kemitraan) dan ijarah (sewa). Karena di dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur syirkah dan unsur ijarah.[18]
Dalil hukum musyarakah adalah:
1.             Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24:
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2.             Al-Qur’an Surat al-Ma’idah [5], Ayat 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3.             Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
4.             Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
5.             Kaidah fiqh:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Dalil hukum Ijarah adalah:
1.             Al-Qur’an Surat al-Zukhruf [43], ayat 32:
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar seba-gian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2.             Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2], ayat 233:
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3.             Al-Qur’an Surat al-Qashash [28], ayat 26:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
4.             Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5.             Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6.             Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
7.             Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
8.             Kaidah fiqh:
a.       Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b.      Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
D.           Ketentuan Akad Musyarakah Mutanaqisah
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah merupakan bentuk pembiayaan kemitraan berbasis bagi hasil antara pihak BUS/UUS/BPRS dan pihak Nasabah dalam rangka kepemilikan suatu aset properti tertentu yang dimiliki bersama berdasarkan prinsip syirkah 'inan dimana hishshah (porsi modal) pihak Bank berkurang dan beralih secara bertahap kepada pihak Nasabah melalui mekanisme pembelian angsuran atau pengalihan secara komersial (bai'). Bagi hasil antara pihak Bank dan pihak Nasabah didasarkan pada hasil penggunaan manfaat atas aset bersama tersebut secara komersial berupa pendapatan ujroh dari penyewaan asset dengan akad ijarah (sewa) sesuai nisbah bagi hasil dan biaya sewa yang disepakati.[19]
Di dalam musyarakah mutanaqisah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan pokok kedua unsur tersebut.[20]
Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat (ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan akad syirkah [1] masing-masing pihak harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama, [2] antar pihak harus saling memberikan rasa percaya dengan yang lain, dan [3] dalam pencampuran pokok modal merupakan pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan obyek akad tersebut.[21]
Sementara berkaitan dengan unsur sewa ketentuan pokoknya meliputi; penyewa (musta’jir) dan yang menyewakan (mu’jir), shighat (ucapan kesepakatan), ujrah(fee), dan barang/benda yang disewakan yang menjadi obyek akad sewa. Besaran sewa harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak.[22]
Dalam syirkah mutanaqishah harus jelas besaran angsuran dan besaran sewa yang harus dibayar nasabah. Dan, ketentuan batasan waktu pembayaran menjadi syarat yang harus diketahui kedua belah pihak. Harga sewa, besar kecilnya harga sewa, dapat berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang.[23]
Karena ada Syirkah dan Ijarah, maka kedua ketentuan dari akad tersebut harus terpenuhi.
Ketentuan akad Syirkah :
·                Pihak yang bekerjasama.
·                Modal dan Obyek yang akan dimiliki.
·                Kesepakatan kedua pihak untuk bekerjasama, serta saling percaya antara kedua pihak.
·                Adanya pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan Asset.
Ketentuan akad Ijarah :
·                Penyewa (Nasabah), dan Yang menyewakan (Bank).
·                Kesepakatan antara keduanya.
·                Benda yang disewakan/diangsurkan.
·                Pembayaran sewa, jumlah pembayaran dan jangka waktu pembayaran harus jelas dan disetujui keduanya.
Dalam ketentuan syariah, syarat-syarat sahnya akad musyarakah mutanaqishah merupakan gabungan dari akad musyarakah dan akad ijarah. Hal ini dikarenakan akad musyarakah mutanaqishah merupakan penerapan dari gabungan akad tersebut. Adapun syarat-syarat akad musyarakah mutanaqishah meliputi:[24]
a.              Para pelaku dalam musyarakah mutanaqishah harus cakap hukum dan baligh
b.             Modal musyarakah mutanaqishahharus diberikan secara tunai
c.              Modal yang sudah diserahkan oleh setiap mitra harus dicampur, tidak boleh dilakukan pemisahan untuk kepentingan khusus
d.             penentuan nisbah harus disepakati di awal akad untuk menghindari risiko perselisihan diantara mitra.[25]
e.              Masing-masing pihak harus rela, artinya tidak ada unsur paksaan.
f.              Objek musyarakah mutanaqishah harus jelas.[26]
g.             Kemanfaatan objek yang diperjanjikan dibolehkan oleh agama
h.             Biaya sewa objek musyarakah mutanaqishah dibagi sesuai persentase porsi kepemilikan.

Perjanjian dengan akad musyarakah mutanaqisah harus memenuhi rukun sebagai berikut:[27]
a.              Pihak yang berakad (aqid); Bank dan Nasabah keduanya merupakan penyedia dan penyerta modal (Shahibul Maal) dan pemilik properti yang akan disewakan (Mu'jir) sedangkan Nasabah selain sebagai pemilik modal juga bisa sebagai penyewa property bersama tersebut (Musta'jir).
b.             Modal (ra’sul mal); masing-masing pihak Bank dan Nasabah menyertakan modal dengan tujuan untuk membeli suatu properti tertentu yang akan disewakan kepada Nasabah (atau pihak lain).
c.              Obyek akad (masyru’); obyek akad berupa aset properti yang akan dimiliki bersama, disewakan dan menghasilkan keuntungan bagi para pihak.
d.             Ijab Qabul; pernyataan penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dinyatakan oleh para pihak terkait untuk menunjukkan kehendak masing-masing dalam mengadakan perjanjian (akad).
e.              Nisbah Bagi Hasil (nishbatu ribhin); pembagian porsi keuntungan yang akan diperoleh para pihak dalam bentuk persentase bukan jumlah uang yang tetap.

Perjanjian Pembiayaan musyarakah Mutanaqisah harus menyatakan secara jelas tujuan dilaksanakannya akad diantara para pemilik modal, baik dalam hal kepemilikan aset properti maupun penyewaannya yang bertujuan mencari keuntungan.[28]
Pembiayaan dengan akad MMQ ini diperuntukkan bagi nasabah yang ingin memiliki aset berupa properti dengan berbagai pilihan baik berupa Properti Baru (Ready Stock), Properti Lama (Second) maupun Properti Baru Indent. Jenis properti yang bisa dibiayai adalah sebagai berikut:[29]
a.              Rumah tinggal
b.             Rumah susun (rusun)
c.              Rumah toko (ruko)
d.             Rumah kantor (rukan)
e.              Apartemen
f.              Kondominium
E.            Ketentuan Pihak-Pihak Terkait
a.              Para pihak dalam kontrak musyarakah mutanaqisah adalah pihak yang diperbolehkan yang termasuk ke dalam orang-perorangan dan/atau Perusahaan/Badan Usaha.
b.             Para pihak dalam kontrak musyarakah mutanaqisah harus mempunyai kapasitas hokum untuk melaksanakan kontrak.
c.              Kontrak musyarakah mutanaqisah harus disertai dengan penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) dari kedua belah pihak.
d.             Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan melaksanakan kontrak melalui perantara yang sah, dibuktikan dengan surat pernyataan perwakilan yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
e.              Para pihak harus terikat oleh ketentuan yang telah disepakati kedua belah pihak dalam kontrak yang mana seluruh ketentuan tersebut tidak ada satu pun yang melanggar kepatuhan prinsip syariah di dalamnya.

F.            Ilustrasi Musaqah Mutanaqisah
1.             Negosiasi angsuran dan sewa,
2.             Akad/kontrak kerjasama,
3.             Beli barang (Bank & Nasabah),
4.             Mendapat berkas dan dokumen,
5.             Nasabah membayar angsuran sewa, dan
6.             Bank syariah menyerahkan hak dan kepemilikannya.
G.           Karakteristik Musyarakah Mutanaqishah[30]
Semua rukun dan ketentuan yang ada dalam akad musyarakah, sebagaimana fatwa DSN-MUI No. 8/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah berlakujuga pada Musyarakah Mutanaqishah. Sedangkan ciri-ciri khusus Musyarakah Mutanaqishah adalah sebagai berikut:
a.              Modal usaha dari para pihak (Bank Syariah/Lembaga Keuangan Syariah [LKS]) dan nasabah) harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap modal usaha tersebut dilakukan tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha dicatat sebagai hishshah (portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah.
Misalnya modal usaha syirkah dari bank sebesar 80 juta rupiah dan dari nasabah sebesar 20 juta rupiah (modal usaha syirkah adalah 100 juta rupiah). Apabila setiap unit hishshah disepakati bernilai 1 juta rupiah; maka modal usaha syirkah adalah 100 unit hishshah.
b.             Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh berkurang selama akad berlaku secara efektifSesuai dengan contoh pada huruf a, maka modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100juta rupiah (l00 unit hishshah).
c.              Adanya wa'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara komersial kepada nasabah dengan bertahap;
d.             Adanya pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank Syariah/LKS, maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syariah/LKS secara komersial (naqlul hishshah bil 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih _dari nilai unit hishshah tersebut, dinyatakan sebagai bagi hasil yang menjadi hak Bank Syariah/LKS.
H.           Tujuan Produk[31]
Menyediakan fasilitas pembiayaan kepada nasabah baik perorangan maupun perusahaan dalam rangka memperoleh dan/atau menambah modal usaha dan/atau aset (barang) berdasarkan sistem bagi hasil. Modal usaha yang dimaksud adalah modal usaha secara umum yang sesuai syariah. Aset (barang) yang dimaksud antara lain, namun tidak terbatas pada:
a)             Properti (baru/bekas),
b)             Kendaraan bermotor (baru/bekas),
c)             Barang lainnya yang sesuai syariah (baru/bekas).
I.              Obyek Pembiayaan[32]
Obyek pembiayaan adalah kegiatan usaha komersial yang dijalankan dalam berbagai bentuk usaha yang sesuai dengan syariah, antara lain: prinsip jual beli, bagi hasil, dan sewa menyewa.
J.              Berakhirnya Akad Musyarakah Mutanaqisah
Musyarakah Mutanaqisah berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:[33]
1.             Salah satu pihak mengalami kemampuan untuk mengelola harta, baik karena gila maupun alasan lainnya.
2.             Salah satu pihak membatalkan akad walaupun tanpa persetujuan pihak lainnya.
3.             Salah satu pihak meninggal dunia.
4.             Salah satu pihak jatuh bangrut sehingga tidak memiliki kuasa lagi atas modal yang menjadi objek musyarakah
5.             Salah satu pihak murtad
K.           Risiko yang timbul dalam Musyarakah Mutanaqishah[34]
1.             Risiko kepemilikan
Dalam pembiayaan musyarakah mutanaqishah, status kepemilikan barang masih menjadi milik bersama antara pihak bank syariah dan nasabah. Hal ini merupakan konsekuensi dari pembiayaan musyarakah mutanaqishah, dimana kedua belah pihak ikut menyertakan dananya untuk membeli barang. Pada saat transfer kepemilikan barang, pihak nasabah dapat menguasai kepemilikan barang sepenuhnya setelah dilakukan pembayaran bagian bank syariah oleh nasabah beserta besaran uang sewa yang disepakati bersama.
2.             Risiko Regulasi
Praktek musyarakah mutanaqishah untuk pembiayaan barang terikat dengan peraturan atau regulasi yang berlaku. Salah satu regulasi yang diberlakukan untuk pola musyarakah mutanaqishah adalah masalah pembebanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kepemilikan barang. Pengenaan PPN didasarkan atas Undang-undang No. 18 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983. Dimana penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak merupakan obyek pajak di dalam UU PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-undang ini menyatakan bahwa segala jenis barang, berwujud baik bergerak ataupun tidak bergerak, maupun barang tidak berwujud merupakan obyek PPN.
3.             Risiko Pasar
Ketentuan pasar akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga suatu barang. Perbedaan wilayah atas kerjasama muasyarakah tersebut akan menyebabkan perbedaan harga. Jadi bank syariah tidak bisa menyama-ratakan harga. Disamping itu, dalam pembiayaan kepemilikan barang dengan skim musyarakah mutanaqishah merupakan bentuk pembelian barang secara bersama-sama antara pihak bank syariah dengan nasabah. Dimana kepemilikan bank akan berkurang sesuai dengan besaran angsuran yang dilakukan nasabah atas pokok modal bank bersangkutan. Disamping besaran angsuran yang harus di bayar nasabah, dalam skim musyarakah mutanaqishah terdapat harga sewa yang harus di bayar nasabah tiap bulannya sebagai kompensasi keuntungan bank.
Dalam sewa dapat berfluktuasi sesuai dengan situasi dan kondisi saat berlangsungnya akad kerjasama tersebut. Sewa yang ditentukan atas obyek barang akan dipengaruhi oleh; [1] waktu terjadinya kesepakatan, [2] tempat/wilayah, [3] supply dan demand atas barang tersebut.
4.             Risiko Kredit (pembiayaan)
Proses pelaksanaan pembiayaan musyarakah mutanaqishah yang dilakukan dengan cara mengangangsur setiap bulan akan terkena risiko kredit. Dimana dimungkinkan tejadinya wan prestasi dari pihak nasabah yang tidak mampu menunaikan kewajibannya setiap bulan. Ketidakmampuan nasabah melaksanakan kewajibannya untuk membayar angsuran setiap bulan berakibat pada kegagalan kontrak yang dapat menjadi penyebab munculnya kerugian pihak bank syariah.
L.            Keunggulan dan Kelemahan Musyarakah Mutanaqishah[35]
Penerapan akad musyarakah mutanaqishah memiliki beberapa keunggulan sebagai pembiayaan syariah, diantaranya adalah:
a.              Bank Syariah dan nasabah sama-sama memiliki atas suatu aset yang menjadi obyek perjanjian. Karena merupakan aset bersama maka antara bank syariah dan nasabah akan saling menjaga atas aset tersebut.
b.             Adanya bagi hasil yang diterima antara kedua belah pihak atas margin sewa yang telah ditetapkan atas aset tersebut.
c.              Kedua belah pihak dapat menyepakati adanya perubahan harga sewa sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan mengikuti harga pasar.
d.             Dapat meminimalisir risiko financial cost jika terjadi inflasi dan kenaikan suku bunga pasar pada perbankan konvensional.
e.              Tidak terpengaruh oleh terjadinya fluktuasi bunga pasar pada bank konvensional, dan/atau fluktuasi harga saat terjadinya inflasi.
Adapun kelemahan yang muncul dalam akad musyarakah mutanaqishah ketika diterapkan sebagai bentuk pembiayaan syariah adalah:
a.              Risiko terjadinya pelimpahan atas beban biaya transaksi dan pembayaran pajak, baik pajak atas hak tanggungan atau pajak atas bangunan, serta biaya-biaya lain yang mungkin dapat menjadi beban atas aset tersebut.
b.             Berkurangnya pendapatan bank syariah atas margin sewa yang dibebankan pada aset yang menjadi obyek akad.Cicilan atas beban angsuran di tahun-tahun pertama akan terasa memberatkan bagi nasabah, dan menjadi ringan tahun-tahun berikutnya.
M.          Permasalahan dalam Praktek Musyarakah Mutanaqishah saat ini[36]
Setelah dilakukan pengamatan atas pelaksanaan musyarakah mutanaqishah saat ini di Bank Syariah dan meninjau kembali ketentuan umum pada akad ini, maka dapat kita lihat terdapat kesenjangan (gap) praktek dan teori diantaranya adalah:
1.             Setelah dilakukan akad, maka selanjutnya dilakukan proses balik nama pada rumah (asset) tersebut kepada salah satu pihak yakni Nasabah saja. Sedangkan Bank ikut memiliki asset tersebut bahkan porsi awal yang Bank sertakan jauh lebih besar dari penyertaan nasabah. Tidak adanya bukti kepemilikan Bank atas asset musyarakah tersebut secara otentik pada Sertifikat Asset.
2.             Biaya yang timbul pada pengikatan/akad seperti Pajak Pembeli, BPHTB, Balik Nama, dan lainnya, sepenuhnya dibebankan kepada nasabah. Sedangkan, pada prinsipnya yang membeli asset adalah 2 (dua) pihak, yakni Bank dan Nasabah.
3.             Jika terjadinya pembiayaan berstatus macet, dan dilakukan penjualan atas asset musyarakah (rumah), maka hasil penjualan dilakukan penyelesaian sebagai berikut:
a.              Jika harga jual rumah lebih besar dari sisa outstanding pokok (sisa porsi yang dimiliki Bank) maka hasil penjualan digunakan untuk menutup sisa outstanding terlebih dahulu, kemudian sisanya diberikan kepada nasabah. Hal ini bertentangan dengan prinsip bagi hasil dan bagi rugi dalam musyarakah. Dengan dasar prinsip musyarakah dimana para mitra memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad dan menanggung kerugian sesuai proporsi modal, maka dengan kondisi penjualan asset ini, dilakukan sebagai berikut:
§    Hasil penjualan tetap didahulukan untuk menutupi outstanding pokok (porsi bank)
§    Setelah itu sisanya yang merupakan profit penjualan asset, tidak seluruhnya diberikan kepada nasabah, tetapi harus dibagi hasilakn sesuai dengan proporsi nisah bagi hasil yang disepakait pada saat akad.
b.             Jika harga jual rumah lebih kecil dari sisa outstanding pokok (sisa porsi yang dimiliki Bank) maka hasil penjualan seluruhnya digunakan untuk menutup sisa outstanding, jika outstanding masih tersisa maka nasabah harus membayar kekurangan itu atau jika tidak mampu maka menjadi beban Bank. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip bagi hasil dan bagi rugi dalam musyarakah. Dengan dasar prinsip musyarakah dimana para mitra memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad dan menanggung kerugian sesuai proporsi modal,19 maka dengan kondisi penjualan asset ini, dilakukan sebagai berikut:
§    Hasil penjualan tetap didahulukan untuk menutupi outstanding pokok (porsi bank)
§    Sisa outstanding yang tidak tertutupi dari hasil penjual harus dibagirugikan terhadap
§    kedua pihak yaitu Bank dan Nasabah sesuai dengan porsi kepemilikan sebelum dilakukan penjualan agunan (porsi terakhir).
Kesimpulan
Bank Syariah di Indonesia saat ini telah dapat bergerak lebih baik dikarenakan banyaknya akad-akad yang dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan nasabahnya, tanpa harus melanggar prinsip Ekonomi Islam yang ada. Skema akad Musyarakah Mutanaqishah hadir sebagai variasi khasanah pembiayaan syariah di Indonesia ini bahkan di Dunia. Akad ini dapat menjadi pilihan lain dalam kebutuhan akad kepemilikan atas asset selain dari akad Murabahah. Sehingga, keterbatasan yang ada pada akas murabahah, dapat diambil alih oleh akad Musyarakah Mutanaqishah ini.
Musyarakah Mutanaqishah ini merupakan akad berbasis PLS (profit and loss sharing) yang dimana resiko yang dialami Bank tidak terlalu besar (reduce of risk) dikarenakan sebab berikut:
1.             Bagi hasil bulanan yang diterima Bank berasal dari pembayaran sewa yang bersifat tetap. Sehingga gap antara Proyeksi Bagi Hasil dan Realisasi Bagi Hasil mendekati ‘0’ (nol).
2.             Asset Musyarakah Mutanaqishah berbentuk Asset Berwujud bukan Asset berbentuk kas, sehingga meminimalisir adanya penyelewengan dan fraud atas dana. Asset Musyarakah Mutanaqishah yang dijadikan jaminan juga melindungi Bank dan kerugian.
Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan. Bogor: Tazkia Institute.
Awaliyah, Wilda. 2015. Akad Musyarakah Mutanaqisah dalam Kegiatan Perbankan. Depok.
Buku Standar Produk Perbankan Syariah -  Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah.
Harsanto, Molbi F. Penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah pada Bank Syariah, Jurnal
Hayati, Sri Nur dan Wasilah. Akuntansi Syariah.
Hosen, Nadratuzzaman. Musyarakah Mutanaqisah. Jurnal.
Ismail. 2013. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.
Kasmir. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan.
Kitab Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, buku II
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi. Hukum Perjanjian Dalam Islam.
Rivai, Veithzal dan Andria Permata Vaithzal. 2008. Islamic Financial Managment: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rohmi, Putri Kamilatur. Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqisah pada Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Jurnal
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syabiq, Sayid. 2000.  Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fath al-A’lami al-Arabi. Beirut. Vol III.
http://kbbi.web.id/musyarakah
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah



[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012), 3
[2] http://www.id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah
[3] http://kbbi.web.id/musyarakah
[4] Kitab kompilasi hukum ekonomi syariah, buku II
[5] Nadratuzzaman Hosen, Musyarakah Mutanaqisah, hlm. 47
[6] Nadratuzzaman Hosen, Musyarakah Mutanaqisah, hlm. 47-48
[7] Buku Standar Produk Perbankan Syariah -  Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 114
[8] Molbi F. Harsanto, Penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah pada Bank Syariah, Jurnal
[9] Veithzal Rivai dan Andria Permata Vaithzal, Islamic Financial Managment: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 3
[10] Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 106
[11] Sayid Syabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fath al-A’lami al-Arabi, (Beirut, 2000), Vol III h. 202
[12] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Bogor: Tazkia Institute, 1999), h. 187
[13] Nadratuzzaman Hosen, h. 47-48
[14] Putri Kamilatur Rohmi, Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqisah pada Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Jurnal, hlm. 25
[15] Keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan
[16] Buku Standar Produk Perbankan SyariahMusyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 114-115
[17] Nadratuzzaman Hosen, h. 49
[18] Nadratuzzaman Hosen, h. 49
[19] Buku Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 123
[20] Wilda Awaliyah, Akad Musyarakah Mutanaqisah dalam Kegiatan Perbankan, (Depok, 2015)
[21] Nadratuzzaman Hosen, h. 49
[22] Nadratuzzaman Hosen, h. 49
[23] Nadratuzzaman Hosen, h. 49
[24] Putri Kamilatur Rohmi, Implementasi Akad Musyarakah Mutanaqisah pada Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang, Jurnal, hlm. 28
[25] Sri Nur Hayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah, 147-148
[26] Chairuman pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 53-54
[27] Buku Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm.124
[28] Buku Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 124
[29] Buku Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 124-125
[30] keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan
[31] keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan
[32] keputusan DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/X/2013 tentang Pedoman  Implementasi Musyaraqah Mutanaqisah dalam Produk Pembiayaan
[33] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 133
[34] Nadratuzzaman Hosen, h. 57-59
[35] Nadratuzzaman Hosen, h. 59
[36] Molbi F. Harsanto, h. 8-9

twitter