al-Qur’an
merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia di dunia. Seperti
yang kita tahu, di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu
sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata (lafazh) yang ada di
dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata
(lafazh) tersebut tidak jarang dijumpai sebuah kata yang maknanya begitu luas
tanpa batasan. Yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para
ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna
asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan
terpaku pada satu makna saja.
Muthlaq
menurut bahasa artinya terlepas, atau tidak tebatas. Sedangkan menurut istilah terdapat
beragam pendapat yang pada intinya merujuk pada suatu kesamaan. Menurut ulama
ushul, Muthlaq ialah lafazh tertentu yang belum ada ikatan atau batasan
dengan lafazh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.[i]
Menurut
Amir Syarifuddin, Muthlaq ialah lafazh yang memberi petunjuk terhadap
satu atau beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan
apa-apa yang terpisah.[ii]
Menurut
Nazar Bakry, Muthlaq ialah lafazh-lafazh yang menunjukkan kepada
pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan.[iii]
seperti firman Allah SWT:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba
sahaya…”(QS. al-Mujadilah:3)
Hal
ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin dan hamba sahaya
yang mukmin.
Adapun
Muthlaq yang dimaksudkan dalam ilmu Ushul Fiqh adalah lafazh yang
menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[iv]
Sedangkan
Muqayyad menurut bahasa adalah yang mengikat, atau membatasi.[v]
Adapun menurut istilah sama halnya dengan Muthlaq, yaitu bermunculan beragam
pendapat dari para ahli. Menurut ulama Ushul, Muqayyad ialah suatu lafazh
tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafazh lain yang mengurangi
keseluruhan jangkauannya.[vi]
Menurut
Nazar Bakry, Muqayyad ialah suatu lafazh yang menunjukkan atas
pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.[vii]
Seperti firman Allah SWT:
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena bersalah
(hendaknya) ia memerdekan seorang hamba sahaya yang beriman . . . . ”(QS.
an-Nisa :92)
Disini
tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, yaitu
hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Adapun
Muqayyad yang dimaksudkan dalam istilah ilmu ushul fiqh adalah lafazh
yang menunjukkan suatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[viii]
Dari
berbagai uraian pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan jika yang dimaksud dengan Muthlaq ialah suatu lafazh
yang cakupan akan maknanya tanpa batas atau dengan kata lain lafazh yang
memiliki makna luas tanpa batasan. Contohnya kata الدم (darah)
dalam firman Allah SWT:
“Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai dan darah”
(QS. al-Maidah : 3)
Apa
yang dimaksudkan dengan lafazh الدم dalam ayat ini adalah jenis darah yang bersifat menyeluruh tanpa
ada batasan yang dapat menyempitkan kandungannya.
Sedangkan
Muqayyad adalah kebalikan dari Muthlaq, yaitu lafazh yang menunjukkan pada
sebuah hakikat sesuatu dengan menggunakan batasan yang dapat mempersempit
kandungannya. Dengan kata lain cakupan maknanya terbatas. Contohnya lafazh أودمامسفوحا (darah yang mengalir) dalam firman Allah QS.
al-An’am ayat 145. Batasan lafazh مسفوحا (mengalir) dalam ayat tersebut merupakan sifat tambahan dari
hakikat lafazh دما (darah).
Jika
terdapat lafazh Muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah
mengguanakan lafazh tersebut sesuai ke-Muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil
lain yang menunjukkan bahwa lafazh Muthlaq tersebut dibatasi kandungannya.[ix]
Begitu pula dengan Muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya
walaupun ada Muthlaq-nya.[x]
Maksudnya
adalah, bila dating suatu qalam yang mana didalamnya ada lafazh Muthlaq pada
suatu tempat, tetapi ada pula suatu lafazh Muqayyad pada satu qalam di tempat
lain, maka dibebankan lafazh Muqayyad (artinya yang dipakai adalah yang
Muqayyad).[xi]
Yang
demikian hanya berlaku apabila sebab dan hokum yang terdapat pada yang Muthlaq
dan Muqayyad adalah sama. Sebagai contoh adalah sabda Nabi SAW pada orang Arab
Gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan puasa:[xii]
“Puasalah dua bulan berturut-turut”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:
“Puasalah dua bulan”
Keduan
hadist tersebut diatas mempunyai sebab dan hokum yang sama. Dikatakan sebabnya
sama karena sama-sama bersetubuh dalam bulan puasa, dan hukumnya sama-sama
wajib. Dalam hal demikian, maka berlakulah kaidah yang berbunyi: ”Muthlaq
dibebankan pada yang Muqayyad apabila sama sebab dan hukumnya”[xiii]
Tetapi
dalam hal lain, yang tidak sama hokum dan sebabnya, tidak boleh dibebankan
Muthlaq pada yang Muqayyad. Sebagai contoh adalah firman Allah yang menyangkut
tentang kifarat orang yang menzihar istrinya.[xiv]
“Maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya”
(QS. al-Mujadalah: 2)
Dengan
firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena tidak sengaja:
“Maka hendaklah engkau
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin”(QS. an-Nisa: 92)
Dalam
kedua ayat tersebut, tidak terdapat kesamaan sebab dan hukumnya. Dalam hal
demikian berlakulah kaidah yang berbunyi: “Muthlaq itu dibebankan kepada
Muqayyadbila tidak sama sebab dan hukumnya”.[xv]
Keterangan:
Bila terdapat lafazh Muthlaq yang mempunyai dua Muqayyad, dan kemungkinan tidak
dapat ditentukan Muqayyad yang lebih kuat antara keduanya, maka tidak dapat
dibebankan Muthlaq pada Muqayyad. Tapi terpakai ke-Muthlaq-annya yakni keduanya
terpakai.[xvi]
Sebagai
contoh menyamak bejana yang dijilat anjing harus dilakukan dengan tanah. Dalam
suatu riwayat lain dinyatakan bahwa tanah digunakan pada samakan terakhir.
Dalam hal demikian, yakni samakan dengan tanah boleh pada samakan pertamanya
dan boleh pula pada samakan yang terakhir.[xvii]
Terdapat
empat kemungkinan pola hubungan Muthlaq dan Muqayyad dalam nash, yaitu:[xviii]
1.
Dalam suatu
nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara
muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang
dikandung kedua nash itu bersesuaian.
2.
Dalam suatu
nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara
Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang
dikandung kedua nash itu berbeda.
3.
Dalam suatu
nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara
Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya
bersesuaian, sedangkan status hokum yang dikandung keduanya berbeda.
4.
Dalam suatu
nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal muncul secara
Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya berbeda,
sedangkan status hokum keduanya bersesuaian.
Jika
kita merujuk kepada pembagian pola hubungan tersebut, maka kita dapat menemukan
ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama. Dalam kemungkinan pola
pertama, para ulama bersepakat bahwa lafazh yang Muqayyad berfungsi menjelaskan
lafazh yang Muthlaq, serta mengalihkan pengertian lafazh Muthlaq pada
pengertian lafazh Muqayyad. Dengan kata lain, pemahaman nash Muthlaq harus
disesuaikan menurut tuntutan pesan nash Muqayyad. Sebagian riwayat, sebagaimana
menurut asy-Syaukani, menyebutkan adanya
perbedaan sengit dan substantive yang mempunyai implikasi konkret dikalangan
mereka.[xix]
Dalam
kemungkinan pola kedua, ulama bersepakat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah
berfungsi menjelaskan keumuman lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal
Muthlaq dan Muqayyad tersebut digunakan makna masing-masing seperti semula. Hal
ini disebabkan antara kedua lafal tersebut tidak lagi mempunyai hubungan, baik
dari segi persamaan hokum maupun sebab munculnya hokum.
Dalam
kemungkinan pola ketiga, ulama berpendapat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah
berfungsi membatasi lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal tersebut
menggunakan kandungan maknanya masing-masing seperti sedia kala.
Dalam
kemungkinan lafal keempat, ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa nash Muthlaq harus disesuaikan pemahaman atasnya menurut tuntutan nas
Muqayyad. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat sebaliknya bahwa nash
Muthlaq harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut dan nash Muqayyad
harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut.[xx]
[i] Muin dkk. Ushul
Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam). Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta.
Direktorat Jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
[ii] Amir
Syarifuddin. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Cetakan ke-1, April 2012). Hal. 117
[iii] Nazar Bakry. Fiqh
dan Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, Cetakan ke-1, 1993). Hal. 217
[iv] Bhasiq Djalil.
Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2 (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-1, 2010). Hal. 94
[v] Ibid. Hal.
94
[vi] Muin dkk. Ushul
Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam).
Hal. 50
[vii] Nazar Bakry. Fiqh
dan Ushul Fiqh. Hal. 217-218
[viii] Bhasiq Djalil.
Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2. Hal. 95
[ix] Abu Yasid. Metodologi
Penafsiran Teks: Memahami Ilmu Ushul Fiqh Sebagai Epistimologi Hukum
(Jakarta: Erlangga. 2012). Hal. 139
[x] Bhasiq Djalil.
Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Hal. 96
[xi] Ibid
[xii] Ibid
[xiii] Ibid
[xiv] Ibid.
Hal. 97
[xv] Ibid
[xvi] Ibid
[xvii] Ibid.
Hal. 98
[xviii] Mustafa Sa’id
al-Khin. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al- Ushuliyah ‘ala Ikhtilaf
al-Fuqaha. Hal. 248-251
[xix] asy-Syaukani. Irsyad
al-Fuhuk ila Tahqiqal-Haqq mim ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Hal. 5
[xx] Muhammad
al-Khudhari. Ushul al-Fiqh. Hal. 192