Laman

28 Desember, 2015

Muthlaq dan Muqayyad dalam Nash

al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia di dunia. Seperti yang kita tahu, di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata (lafazh) yang ada di dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata (lafazh) tersebut tidak jarang dijumpai sebuah kata yang maknanya begitu luas tanpa batasan. Yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja.
Muthlaq menurut bahasa artinya terlepas, atau tidak tebatas. Sedangkan menurut istilah terdapat beragam pendapat yang pada intinya merujuk pada suatu kesamaan. Menurut ulama ushul, Muthlaq ialah lafazh tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafazh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.[i]
Menurut Amir Syarifuddin, Muthlaq ialah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan apa-apa yang terpisah.[ii]
Menurut Nazar Bakry, Muthlaq ialah lafazh-lafazh yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan.[iii] seperti firman Allah SWT:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya…”(QS. al-Mujadilah:3)
Hal ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin dan hamba sahaya yang mukmin.
Adapun Muthlaq yang dimaksudkan dalam ilmu Ushul Fiqh adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[iv]
Sedangkan Muqayyad menurut bahasa adalah yang mengikat, atau membatasi.[v] Adapun menurut istilah sama halnya dengan Muthlaq, yaitu bermunculan beragam pendapat dari para ahli. Menurut ulama Ushul, Muqayyad ialah suatu lafazh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafazh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.[vi]
Menurut Nazar Bakry, Muqayyad ialah suatu lafazh yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.[vii] Seperti firman Allah SWT:
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaknya) ia memerdekan seorang hamba sahaya yang beriman . . . . ”(QS. an-Nisa :92)
Disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, yaitu hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Adapun Muqayyad yang dimaksudkan dalam istilah ilmu ushul fiqh adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[viii]
Dari berbagai uraian pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan jika yang dimaksud dengan Muthlaq ialah suatu lafazh yang cakupan akan maknanya tanpa batas atau dengan kata lain lafazh yang memiliki makna luas tanpa batasan. Contohnya kata الدم (darah) dalam firman Allah SWT:
“Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai dan darah” (QS. al-Maidah : 3)
Apa yang dimaksudkan dengan lafazh الدم dalam ayat ini adalah jenis darah yang bersifat menyeluruh tanpa ada batasan yang dapat menyempitkan kandungannya.
Sedangkan Muqayyad adalah kebalikan dari Muthlaq, yaitu lafazh yang menunjukkan pada sebuah hakikat sesuatu dengan menggunakan batasan yang dapat mempersempit kandungannya. Dengan kata lain cakupan maknanya terbatas. Contohnya lafazh أودمامسفوحا (darah yang mengalir) dalam firman Allah QS. al-An’am ayat 145. Batasan lafazh مسفوحا (mengalir) dalam ayat tersebut merupakan sifat tambahan dari hakikat lafazh دما (darah).
Jika terdapat lafazh Muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah mengguanakan lafazh tersebut sesuai ke-Muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa lafazh Muthlaq tersebut dibatasi kandungannya.[ix] Begitu pula dengan Muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada Muthlaq-nya.[x]
Maksudnya adalah, bila dating suatu qalam yang mana didalamnya ada lafazh Muthlaq pada suatu tempat, tetapi ada pula suatu lafazh Muqayyad pada satu qalam di tempat lain, maka dibebankan lafazh Muqayyad (artinya yang dipakai adalah yang Muqayyad).[xi]
Yang demikian hanya berlaku apabila sebab dan hokum yang terdapat pada yang Muthlaq dan Muqayyad adalah sama. Sebagai contoh adalah sabda Nabi SAW pada orang Arab Gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan puasa:[xii]
“Puasalah dua bulan berturut-turut” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:
“Puasalah dua bulan”
Keduan hadist tersebut diatas mempunyai sebab dan hokum yang sama. Dikatakan sebabnya sama karena sama-sama bersetubuh dalam bulan puasa, dan hukumnya sama-sama wajib. Dalam hal demikian, maka berlakulah kaidah yang berbunyi: ”Muthlaq dibebankan pada yang Muqayyad apabila sama sebab dan hukumnya[xiii]
Tetapi dalam hal lain, yang tidak sama hokum dan sebabnya, tidak boleh dibebankan Muthlaq pada yang Muqayyad. Sebagai contoh adalah firman Allah yang menyangkut tentang kifarat orang yang menzihar istrinya.[xiv]
“Maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya” (QS. al-Mujadalah: 2)
Dengan firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena tidak sengaja:
            “Maka hendaklah engkau memerdekakan hamba sahaya yang mukmin”(QS. an-Nisa: 92)
Dalam kedua ayat tersebut, tidak terdapat kesamaan sebab dan hukumnya. Dalam hal demikian berlakulah kaidah yang berbunyi: “Muthlaq itu dibebankan kepada Muqayyadbila tidak sama sebab dan hukumnya”.[xv]
Keterangan: Bila terdapat lafazh Muthlaq yang mempunyai dua Muqayyad, dan kemungkinan tidak dapat ditentukan Muqayyad yang lebih kuat antara keduanya, maka tidak dapat dibebankan Muthlaq pada Muqayyad. Tapi terpakai ke-Muthlaq-annya yakni keduanya terpakai.[xvi]
Sebagai contoh menyamak bejana yang dijilat anjing harus dilakukan dengan tanah. Dalam suatu riwayat lain dinyatakan bahwa tanah digunakan pada samakan terakhir. Dalam hal demikian, yakni samakan dengan tanah boleh pada samakan pertamanya dan boleh pula pada samakan yang terakhir.[xvii]
Terdapat empat kemungkinan pola hubungan Muthlaq dan Muqayyad dalam nash, yaitu:[xviii]
1.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang dikandung kedua nash itu bersesuaian.
2.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
3.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya bersesuaian, sedangkan status hokum yang dikandung keduanya berbeda.
4.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya berbeda, sedangkan status hokum keduanya bersesuaian.
Jika kita merujuk kepada pembagian pola hubungan tersebut, maka kita dapat menemukan ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama. Dalam kemungkinan pola pertama, para ulama bersepakat bahwa lafazh yang Muqayyad berfungsi menjelaskan lafazh yang Muthlaq, serta mengalihkan pengertian lafazh Muthlaq pada pengertian lafazh Muqayyad. Dengan kata lain, pemahaman nash Muthlaq harus disesuaikan menurut tuntutan pesan nash Muqayyad. Sebagian riwayat, sebagaimana menurut  asy-Syaukani, menyebutkan adanya perbedaan sengit dan substantive yang mempunyai implikasi konkret dikalangan mereka.[xix]
Dalam kemungkinan pola kedua, ulama bersepakat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah berfungsi menjelaskan keumuman lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal Muthlaq dan Muqayyad tersebut digunakan makna masing-masing seperti semula. Hal ini disebabkan antara kedua lafal tersebut tidak lagi mempunyai hubungan, baik dari segi persamaan hokum maupun sebab munculnya hokum.
Dalam kemungkinan pola ketiga, ulama berpendapat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah berfungsi membatasi lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal tersebut menggunakan kandungan maknanya masing-masing seperti sedia kala.
Dalam kemungkinan lafal keempat, ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nash Muthlaq harus disesuaikan pemahaman atasnya menurut tuntutan nas Muqayyad. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat sebaliknya bahwa nash Muthlaq harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut dan nash Muqayyad harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut.[xx]



[i] Muin dkk. Ushul Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam). Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta. Direktorat Jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
[ii] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-1, April 2012). Hal. 117
[iii] Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, Cetakan ke-1, 1993). Hal. 217
[iv] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2 (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-1, 2010). Hal. 94
[v] Ibid. Hal. 94
[vi] Muin dkk. Ushul Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam). Hal. 50
[vii] Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Hal. 217-218
[viii] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2. Hal. 95
[ix] Abu Yasid. Metodologi Penafsiran Teks: Memahami Ilmu Ushul Fiqh Sebagai Epistimologi Hukum (Jakarta: Erlangga. 2012). Hal. 139
[x] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Hal. 96
[xi] Ibid
[xii] Ibid
[xiii] Ibid
[xiv] Ibid. Hal. 97
[xv] Ibid
[xvi] Ibid
[xvii] Ibid. Hal. 98
[xviii] Mustafa Sa’id al-Khin. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al- Ushuliyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha. Hal. 248-251
[xix] asy-Syaukani. Irsyad al-Fuhuk ila Tahqiqal-Haqq mim ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Hal. 5
[xx] Muhammad al-Khudhari. Ushul al-Fiqh. Hal. 192

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Islam adalah al-din (the religion). Istilah al-din disebutkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19 dan surat al-Maidah ayat 3. Perkataan al-din dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan perkataan agama walaupun secara konsepsional perkataan al-din dan agama mengandung konotasi yang berbeda. Perkataan agama yang sudah lazim digunakan dalam bahasa Indonesi berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki konotasi yang sangat erat dengan tradisi agama Hindu dan Budha. Sedangkan perkataan al-din merupakan suatu konsep yang terdiri dari dua komponen pokok yakni pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia lainnya.
Sejak diturunkannya, Islam berdasarkan dan memusatkan perhatiannya kepada keesaan Tuhan. Sedangkan agama yang berdasarkan tauhid, Islam tidak pernah memisahkan antara hal-hal yang disebut spiritual (kerohanian), material (kebendaan), religious (keagamaan), dengan yang frofan (keduniaan) di dalam segala bidang. Oleh karena itu, dalam bahasa Islam tidak ada kata yang semakna dengan sekuler seperti yang ada di Barat. Agama Islam sendiri adalah induk atau asal dari hukum Islam. Menurut Christian Snouck Hurgronje, Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Hal ini berarti bahwa selain dari agama, Islam mengandung norma-norma hukum baik kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama secara pribadi maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara agamauntuk dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam dengan sempurna, juga bermakna bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak dapat dicerai pisahkan.[i]
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Jika berbicara tentang hukum, yang terlintas dari pemikiran adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu yang hidup dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.[ii] Bentuknya mungkin berupa hukum tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum barat. Hukum dalam konsepsi seperti hukum barat ini adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (barat) ini diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.[iii] Sedangkan dalam konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukum ditetapkan oleh Allah.
Pada dasarnya, hukum Islam tidak seperti hukum pada umumnya yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Namun, bila diklasifikasikan dalam dua bentuk hukum tersebut, hukum Islam ruang lingkupnya juga meliputi kedua hal tersebut. Hal yang menyebabkan tidak dibedakannya adalah disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi perdatanya. Berbeda dengan hukum barat, dimana sistem hukum ini dibedakan dengan jelas antara hukum privat dengan hukum publik.
Dalam hukum Islam, yang disebutkan hanyalah bagian-bagiannya saja, yakni (1) munakahat, (2) wirasah, (3) mu’amalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ‘ukubat, (5) al-ahkam al-Sultaniyah (khalifah), (6) siyar, dan (7) mukhassamat.[iv] Meskipun dalam hukum Islam di bidang mu’amalat tidak membedakan dengan tajam antara hukum publik dan hukum perdata, namun, sebenarnya ruang lingkup hukum Islam sangat luas karena mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam kadang-kadang disebut dengan dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.[v] Allah telah menentukan sendiri sumber hukum Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Adapun sumber hukum Islam itu adalah al-(1) Qur’an, (2) as-Sunnah, dan (3) akal fikiran atau penalaran (ijtihad, ijma’ qiyas, maslahat mursalah, sadduz zari’ah, istihsan, istishshab, dan urf. Akal fikiran ini dalam kepustakaan sering disebut dengan istilah al-ra’yu atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai atau norma atau kaidah pengukur tingkah laku manusia dalam bidang hidup dan kehidupan. Ketiga sumber hukum Islam itu (al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ra’yu) merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan yang sudah disebutkan dan tidak boleh dibalik. Sedangkan Muhammad Idris al-Syafi’i dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Risalah fi Ushul al Fiqh berpendapat bahwa sumber hukum Islam ada empat, yakni (1) al-Qur’an, (2) al-Sunnah, (3) al-Ijma’, dan (4) al-Qiyas.[vi] Pendapat Imam Syafi’i ini juga berdasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 59.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil ‘amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
Perkataan “taatilah Allah dan Rasul” dalam ayat tersebut merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Perkataan”dan (taatilah) ulil ‘amri di antara kamu” menunjuk kepada al-Ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Sedangkan kata-kata “jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasu” menunjuk kepada al-Qiyas sebagai sumber hukum Islam. [vii]
A.                al-Qur’an
al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum Islam yang utama dari semua ajaran dan syari’at Islam.[viii] Hal ini ditegaskan di dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 105.
Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An_Nisa’ : 105)
Definisi tentang al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama, akan tetapi dari beberapa definisi terdapat empat unsur pokok[ix], yaitu: Pertama, bahwa al-Qur’an itu berbentuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang dIslampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah al-Qur’an. Kedua, bahwa al-Qur’an itu adalah bahasa Arab, yang mengandung arti bahwa al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa asing bukanlah al-Qur’an. Ketiga, bahwa al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengandung arti bahwa wahyu Allah yang dIslampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut al-Qur’an. Keempat, bahwa al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir, mengandung arti bahwa ayat-ayat yang dinukilkan tidak secara mutawatir tidaklah disebut al-Qur’an.
B.                 as-Sunnah
as-Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Dalam terminology Islam, berarti perbuatan, perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad SAW (af’alu, aqwalu, dan taqriru). Menurut rumusan ulama ushul fiqh, as-Sunnah dalam pengertian istilah ialah segala yang dipindahkan dari Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir yang mempunyai kaitan dengan hukum. Pengertian inilah yang dimaksudkan untuk kata as-Sunnah dalam hadis Nabi: “Sungguh telah kutinggalkan untukmu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.” (al-Hadis).[x]
C.                Ijtihad
Ijtihad adalah menggerakkan seluruh kekuatan atau kemampuan daya fikir untuk memecahkan masalah yang tidak diatur di dalam al-Qur’an maupun di dalam sunnah Rasul.[xi]
D.                Ijma’
Ijma’ menurut pelajaran hukum Islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihsan atau sejumlah mujtahid umat Islam setelah masa Rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masalah yang berkaitan dengan syaria’at atau suatu hal.[xii] Menurut Maulana Muhammad Ali, Ijma’ merupakan salah satu upaya ijtihad umat Islam setelah Qiyas.[xiii]
E.                 Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, karena persamaan illat.[xiv]
F.                 Maslahat Mursalah
Maslahat Mursalah adalah memperhatikan kepentingan masyarakat dan/atau memelihara tujuan hukum Islam, mengambil kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat (Abdul Wahhab Khallaf, 1996:126). Oleh karena itu, Maslahat Mursalah adalah penetapan ketentuan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’, baik ketentuan umum maupun ketentuan khusus.[xv]
G.                Sadduz Zari’ah
Sadduz Zari’ah ialah menghambat atau menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk minuman memabukkan (padahal seteguk itu tidak memabukkan) untuk menutup jalan sampai kepada meminum yang banyak (Mohammad Hashim Kamali, 1991:310).[xvi]
H.                Istihsan
Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan social.[xvii] Secara etimologi adalah memandang sesuau baik. Menurut istilah, berarti memandang lebih baik meninggalkan ketentuan dalil yang bersifat khusus untuk mengamalkan ketentuan yang bersifat umum yang dipandang lebih kuat.[xviii]
I.                   Istishshab
Istishshab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya (menghalalkan hukum yang telah ada, karena belum ada ketentuan lain yang membatalkan).[xix]
J.                  Urf
Urf  adalah kebiasaan atau adat istiadat yang sudah turun temurun keberlakuannya di dalam masyarakat. Urf dimaksud ada yang sesuai ajaran Islam da nada yang tidak sesuai. Urf yang sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam biasa disebut hukum adat (Abdul Wahhab Khallaf, 1996:134).[xx]



[i] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 19
[ii] Dr. H. Muharam Marzuki,Ph.D. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum (Jakarta: Departemen Agama RI. 2002),  hal. 15
[iii] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 39
[iv] H.M. Rasjidi. Keutamaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1971), hal. 25
[v] Mukhtar Yahya.  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islamy, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Al husna, 1979), hal. 21
[vi] Dr. H. Muharam Marzuki,Ph.D. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum (Jakarta: Departemen Agama RI. 2002),  hal. 23
[vii] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 68
[viii] Drs. Sudarsono,S.H,M,Si. Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 1
[ix] Amir Syarifudin. Pembaharuan Pemikiran dalam Islam. hal. 24-25
[x] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A. Hukum Islam: Pengantar Ilmu HUkum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 32
[xi] Hj. Wahyuni Retnowulandari,SH,MH. Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 24
[xii] Drs. Sudarsono,S.H,M,Si. Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 18
[xiii] Abdullah Siddik,SH.Ap.Cet, hal. 225
[xiv] Hj. Wahyuni Retnowulandari,SH,MH. Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 35
[xv] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A. Hukum Islam: Pengantar Ilmu HUkum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 41
[xvi] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A. Hukum Islam: Pengantar Ilmu HUkum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 42
[xvii] Hj. Wahyuni Retnowulandari,SH,MH. Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 36
[xviii] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A. Hukum Islam: Pengantar Ilmu HUkum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 42
[xix] Hj. Wahyuni Retnowulandari,SH,MH. Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 36
[xx] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A. Hukum Islam: Pengantar Ilmu HUkum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 43

twitter