Laman

13 Maret, 2015

Konsumsi dalam Konteks Ekonomi Islam

Aktivitas ekonomi umat manusia bisa dipastikan sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri yakni sejak manusia pertama (Nabi Adam a.s.). Tetapi masalah aktivitas ekonomi pada masa itu tidak sekompleks masalah ekonomi manusia pada zaman sekarang ini. Pada zaman sekarang ini, salah satu istilah permasalahan ekonomi yang populer adalah konsumsi. Istilah konsumsi sendiri berasal dati bahasa Belanda, yaitu consumptie ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Pada hakikatnya, konsumsi ialah mengeluarkan sesuatu dalam rangkamemenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua jenis pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim, yaitu (1) pengeluaran yang dilakukan konsumen muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga, dan (2) pengeluaran yang dilakukan semata-mata bermotif mencari akhirat.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk melakukan aktivitas konsumsi maka terlebih dahulu seseorang harus mempunyai pemasukan (income), kecuali orang yang berada dalam tanggungan orang lain. Semakin bertambah pendapatan, maka kecendrungan konsumsi pun akan bertambah pula.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang mempengaruhi kepribadian manusia. Konsumsinya juga tidak hanya untuk materi saja tetapi juga termasuk konsumsi sosial yang berbentuk dalam zakat dan sedekah. Dalam al-Qur’an dan Hadis juga disebutkan bahwa pengeluaran zakat dan sedekah mendapat kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat memperkuat sendi-sendi sosial masyarakat.
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sering dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang diciptakan Allah SWT untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya sebagaimana diuraikan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat: 168.
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang yang beriman akan senantiasa mengkonsumsi apa saja yang dipandang oleh syariat sebagai perkara yang halal dan baik. Baik itu mengkonsumsi untuk dirinya sendiri, dinafkahkan kepada keluarga, atau diperjual-belikan kepada kaum muslimin. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut maksudnya adalah Allah SWT telah membolehkan (menghalalkan) seluruh manusia agar memakan apa saja yang ada dimuka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya sendiri yang tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya.
Dalam prinsip keadilan, konsumsi mengandung arti ganda yang penting mengenai upaya mencari rezeki secara halal dan juga tidak dilarang hukum. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat: 173.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan daging (hewan) yang ketika disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya,) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Penjelasan tentang ayat tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah?
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Miqdam r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. selalu memakan dari hasil usahanya sendir.” (HR. Bukhari dan Nasai)
Konsumsi yang melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam. Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya.
Dengan menaati syariat Islam, tidak ada bahayanya dan dosa untuk memakan dan meminum apa yang telah dihalalkan dan diberikan oleh Allah. Sebagaiman firman Allah dalam surah al-Maidah ayat: 96.
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagaimana makanan yang lezat bagimu dan orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menagkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.
Sejumlah ilmuan muslim, diantaranya yaitu Monzer Kahaf, Muhammad Abdul Mannan dan beberapa ahli lain telah mempormulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidak cukup untuk mengurangi tingkat konsumsi barang mewah yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Dan diperlukan cara untuk mengubah sikap selera memberikan motivasi yang tepat serta menciptakan lingkungan sosial yang menganggap buruk perilaku buruk konsumsi seperti itu.
Norma konsumsi Islam mungkin dapat memberikan otoritas preferensi individual yang menentang barang-barang mewah, sehingga manusia dapat memaksimalkan tingkat konsumsi dan hidup dengan kebutuhan yang merata.

07 Maret, 2015

Puisi Pengemis Jalanan

Pengemis Jalanan
 karya: Yusran J.


Di atas teriknya matahari
Aku berdiri terdiam
Sambil melihat disekelilingku
Menatap duri kebahagiaan

Dalam hati ku bertanya
Kenapakah aku seperti ini
Menjadi pengemis jalanan
Yang tak punya jabatan
Selain meminta-minta pada raja jalanan
Dan juga pada tuan-tuan perkotaan

Aku menyesal
Kenapa dulu tak sungguh-sungguh belajar
Jika akhirnya kan begini

Lama ku berangan-angan
Akhirnya ku menyadari
Aku punya jabatan
Aku punya pekerjaan
Inilah aku
Sang pengemis jalanan

twitter