Aktivitas
ekonomi umat manusia bisa dipastikan sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri
yakni sejak manusia pertama (Nabi Adam a.s.). Tetapi masalah aktivitas ekonomi
pada masa itu tidak sekompleks masalah ekonomi manusia pada zaman sekarang ini.
Pada zaman sekarang ini, salah satu istilah permasalahan ekonomi yang populer
adalah konsumsi. Istilah konsumsi sendiri berasal dati bahasa Belanda, yaitu consumptie ialah suatu kegiatan yang
bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa
barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Pada
hakikatnya, konsumsi ialah mengeluarkan sesuatu dalam rangkamemenuhi kebutuhan.
Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua jenis pengeluaran yang dilakukan oleh
konsumen muslim, yaitu (1) pengeluaran yang dilakukan konsumen muslim untuk
memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga, dan (2) pengeluaran yang dilakukan
semata-mata bermotif mencari akhirat.
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa untuk melakukan aktivitas konsumsi maka terlebih
dahulu seseorang harus mempunyai pemasukan (income),
kecuali orang yang berada dalam tanggungan orang lain. Semakin bertambah
pendapatan, maka kecendrungan konsumsi pun akan bertambah pula.
Dalam
Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
mempengaruhi kepribadian manusia. Konsumsinya juga tidak hanya untuk materi
saja tetapi juga termasuk konsumsi sosial yang berbentuk dalam zakat dan
sedekah. Dalam al-Qur’an dan Hadis juga disebutkan bahwa pengeluaran zakat dan
sedekah mendapat kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat memperkuat
sendi-sendi sosial masyarakat.
Selain
itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sering dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang diciptakan
Allah SWT untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya sebagaimana diuraikan dalam
al-Qur’an surah al-Baqarah ayat: 168.
“Wahai manusia!
Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang
nyata bagimu”.
Dalam
ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang yang beriman akan senantiasa
mengkonsumsi apa saja yang dipandang oleh syariat sebagai perkara yang halal
dan baik. Baik itu mengkonsumsi untuk dirinya sendiri, dinafkahkan kepada
keluarga, atau diperjual-belikan kepada kaum muslimin. Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa ayat tersebut maksudnya adalah Allah SWT telah membolehkan (menghalalkan)
seluruh manusia agar memakan apa saja yang ada dimuka bumi, yaitu makanan yang
halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya sendiri yang tidak membahayakan bagi
tubuh dan akal pikirannya.
Dalam
prinsip keadilan, konsumsi mengandung arti ganda yang penting mengenai upaya
mencari rezeki secara halal dan juga tidak dilarang hukum. Allah berfirman
dalam surah al-Baqarah ayat: 173.
“Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan daging (hewan) yang
ketika disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya,) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguh, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Penjelasan
tentang ayat tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat jahiliyah,
baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan
memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih
atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut
sendiri nyawanya oleh Allah?
Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
Dari Miqdam r.a. dari
Nabi SAW. Beliau bersabda: “tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih
baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. selalu
memakan dari hasil usahanya sendir.” (HR. Bukhari dan
Nasai)
Konsumsi
yang melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa tidak hanya mengubah
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan
menghindari penyalahgunaannya.
Dengan
menaati syariat Islam, tidak ada bahayanya dan dosa untuk memakan dan meminum
apa yang telah dihalalkan dan diberikan oleh Allah. Sebagaiman firman Allah
dalam surah al-Maidah ayat: 96.
“Dihalalkan bagimu
binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagaimana makanan
yang lezat bagimu dan orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu
(menagkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah
kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.
Sejumlah
ilmuan muslim, diantaranya yaitu Monzer Kahaf, Muhammad Abdul Mannan dan
beberapa ahli lain telah mempormulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor
tambahan ini meski tidak seluruhnya mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja
tidak cukup untuk mengurangi tingkat konsumsi barang mewah yang dilakukan oleh
orang-orang kaya. Dan diperlukan cara untuk mengubah sikap selera memberikan
motivasi yang tepat serta menciptakan lingkungan sosial yang menganggap buruk
perilaku buruk konsumsi seperti itu.
Norma
konsumsi Islam mungkin dapat memberikan otoritas preferensi individual yang
menentang barang-barang mewah, sehingga manusia dapat memaksimalkan tingkat
konsumsi dan hidup dengan kebutuhan yang merata.