Laman

25 Maret, 2016

makalah Musaqah, Muzara'ah, dan Mukhabarah

Berikut ini adalah postingan tentang makalah Musaqah, Muzara'ah, dan Mukhabarah. Sebenarnya ini adalah salah satu tugas kuliah saya pada mata kuliah Fiqh for Economist 1 di Jurusan Ekonomi Islam Unsyiah. Kami diberi tugas kelompok yang terdiri dari 2 orang per kelompoknya. kami yang dapat tugas Musaqah, Muzara'ah, dan Mukhabarah adalah kelompok 5 (saya Yusran dan teman saya namanya Toha. okelah.... langsung saja..
di bawah ini adalah postingan isi makalah kami... SEMOGA BERMANFAAT...



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Akad Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Novi Indriani Sitepu selaku Dosen mata kuliah Fiqh for Economist 1 yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna  dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Akad Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Darussalam, 1 Maret 2016


Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................... ...... i
Daftar Isi......................................................................................................................... ...... ii
BAB I Pendahuluan
1.1         Latar Belakang............................................................................................. ...... 1
1.2         Rumusan Masalah........................................................................................ ...... 1
1.3         Tujuan.......................................................................................................... ...... 2
BAB II Pembahasan
2.1         Penegertian al-Musaqah............................................................................... ...... 3
2.2         Landasan syariah Musaqah.......................................................................... ...... 3
2.3         Rukun dan syarat Musaqah......................................................................... ...... 3
2.4         Ketentuan al-Musaqah................................................................................. ...... 4
2.5         Berakhirnya akad Musaqah......................................................................... ...... 4
2.6         Pengertian al-Muzara’ah.............................................................................. ...... 5
2.7         Landasan syariah Muzara’ah....................................................................... ...... 7
2.8         Rukun dan syarat Muzara’ah....................................................................... ...... 10
2.9         Pengertian Mukhabarah............................................................................... ...... 13
2.10     Landasan hukum Mukhabarah..................................................................... ...... 14
2.11     Rukun dan syarat Mukhabarah.................................................................... ...... 16
2.12     Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah.................................................... ...... 16
2.13     Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah.............................................................. ...... 17
2.14     Hikmah muzara’ah dan Mukhabarah........................................................... ...... 17
BAB III Penutup
3.1         Kesimpulan.................................................................................................. ...... 19
3.2         Saran............................................................................................................ ...... 19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 21



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah atau pemimpin untuk diri sendiri maupun orang lain. Meskipun manusia berperan sebagai khalifah, tentu tak luput dari bantuan manusia lainnya, sehingga antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan satu sama lain. Di dalam Islam hubungan antar manusia telah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi perselisihan yang mampu menimbulkan permusuhan antara individu satu dengan lainnya. Seperti halnya hubungan bisnis ataupun perniagaan antar individu. Apabila tidak dilandaskan hukum islam, maka kecurangan dan kekecewaan pasti akan dirasakan oleh salah satu pihak yang terlibat. Dari beberapa kemungkinan buruk tersebut, maka hendaklah setiap melakukan pekerjaan ataupun hubungan bisnis dengan orang lain dilandaskan hukum agama agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.
1.2         Rumusan Masalah
1.2.1   Apa sebenarnya al-Musaqah itu?
1.2.2   Apa landasan syariah al-Musaqah?
1.2.3   Apa saja rukun dan syarat-syarat al-Musaqah?
1.2.4   Bagaimana ketentuan al-Musaqah?
1.2.5   Bagaimana berakhirnya akad al-Musaqah?
1.2.6   Apa yang dimaksud dengan al-Muzara’ah?
1.2.7   Apa landasan syariah Muzara’ah?
1.2.8   Apa saja rukun dan syarat-syarat Muzara’ah?
1.2.9   Apa yang dimaksud dengan Mukhabarah?
1.2.10         Apa saja landasan hukum Mukhabarah?
1.2.11         Apa saja rukun dan syarat Mukhabarah?
1.2.12         Kapan berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah?
1.2.13         Bagaiaman dengan zakat Muzara’ah dan Mukhabarah?
1.2.14         Apa hikmah muzara’ah dan Mukhabarah?
1.3         Tujuan
1.3.1   Mengetahui penegertian al-Musaqah.
1.3.2   Mengetahui landasan syariah Musaqah.
1.3.3   Mengetahui rukun dan syarat-syarat Musaqah.
1.3.4   Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam al-Musaqah.
1.3.5   Mengetahui kapan berakhirnya Musaqah.
1.3.6   Mengetahui pengertian al-Muzara’ah.
1.3.7   Mengetahui landasan syariah Muzara’ah.
1.3.8   Mengetahui rukun dan syarat-syarat Muzara’ah.
1.3.9   Mengetahui pengertian Mukhabarah.
1.3.10         Mengetahui landasan syariah Mukhabarah.
1.3.11         Mengetahui rukun dan syarat-syarat Mukhabarah.
1.3.12         Mengetahui kapan berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah.
1.3.13         Mengetahui tentang zakat Muzara’ah dan Mukhabarah.
1.3.14         Mengetahui hikmah muzara’ah dan Mukhabarah.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Pengertian Al-musaqah
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2.2         Landasan syariah
Al hadits
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluaraga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua telah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan tetapi tidak seorang pun yang menyanggahanya. Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus) dari umat.
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.[1]
2.3         Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah adalah :
a.             Pihak pemesok tanaman
b.             Pemeliharaan tanaman
c.             Tanaman yang dipelihara
d.            Akad[2]
Sedangkan syarat musaqah adalah sebagai berikut:
a.              Ahli dalam akad.
b.             Menjelaskan bagian penggarap.
c.              Membebaskan pemilik dari pohon.
d.             Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
2.4         Ketentuan Al-Musaqah
Ketentuan Al-Musaqah adalah sebagai berikut:
a)             Pemilik lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b)             Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c)             Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan.
d)            Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti dalam akad
e)             Pemeliharaan tanaman wajib menganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.[3]
2.5         Berakhirnya akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, berakhirnya akad musaqah itu apabila:
a.              Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.             Salah satu pihak meninggal dunia.
c.              Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur, disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-musaqah tidak boleh  tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.[4]
2.6         Pengertian Al-Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah diartikan wajan مُفَاعَلَةٌ dari kata  اَلزَرْعُ yang sama artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan)Muzara’ah dinamai pula dangan mukhabarah dan muhaqalah. Orang irak memberikan istilah muzara’ah dengan istilah al-qarah.[5]
Dalam kamus istilah ekonomi muzara’ah ialah akad kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik  lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; pemilik tanah menyerahkan sekaligus memberikan modal untuk mengelola tanah kepada pihak lain. Sedangkan mukhabarah adalah pemilik tanah menyerahkan kepada pihak orang yang mengelola tanah, tetapi modalnya ditanggung oleh pengelola tanah dengan pembayaran  1/3 atau ¼ hasil panen.[6]
Ulama Malikiyah mendefenisikan :
أَشِّرْ كَةُ فِى الزُّرْعِ
perserikatan dalam pertanian[7]
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
اَنْ يَدْ فَعَ صَا حِبُ اْلاءَرْ ضِ الصَّا لِحَةِاْلُزَارعَةِاْرْضَهُ لِلعَا مِلِ الَّذِيْ يَقُوْمُ يِزَرْعِهَا وَبَدْ فَعُ لَهُ اْلحُبَّ
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk di tanami  yangbekerja di beri bibit.”
Menurut  Hanafiyah, muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبَعْضِ اْلخَارِجِ مِنَ اْلأَرْضِ
akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.” [8]
Imam Syafi’i mendefenisikan :
عَمَلُ الْأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْعَامِلِ
“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.”[9]
Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah ini merupakan kehendak dan keinginan kedua belah pihak, oleh karena itu harus terjadi dalam suatu akad atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan ijab dan qabul, maupun dengan cara lain yang menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan kerja sama secara rela sama rela.[10]
Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila bibit disediakan sipekerja, maka kerjasama ini disebut al-mukhabarah.
Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk di tanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[11]
Al muzara’ah sering kali diidentifikasi dengan mukhabarah.[12] Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
a.              Muzara’ah    : benih dari pemilik lahan
b.             Mukhabarah : benih dari penggarapnya.[13]
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
2.7         Landasan Syariah
a.             Al-hadits
Diriwayatkan dari ibnu umar bahwa rasulullah saw. Pernah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya (waktu itu itu mereka masih yahudi) untuk di garap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah tanah nya secara muzaraah denga rasio bagi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½ : ½, maka rasulullah pun bersabda, “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya.”[14]
b.             Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “tidak ada satu rumah pun di madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4 . Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzaraah yang sahih adalah sebagai berikut:
1.      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2.      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3.      Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan wakyu akad. Antara lain didasarkan pada hadis :
اَلْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ (رواه الحاكم عن أ نس و عا ءشه)
Artinya : kaum muslimin berdasarkan syarat diantara mereka (HR.Hakim dari Anas dan Siti Aisyah)
4.      Menyiram atau menjaga tanaman, disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu haris dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5.      Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6.      Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.[15]  
Oleh Syekhul Islam Ibni Taimiyyah berkata; Muzara’ah merupakan asal dari al-ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam kedu masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.[16]
Skema Al-Muzaraah dapat di gambarkan dalam skema sebagai berikut: 
2.8         Rukun dan syarat Muzara’ah
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan kabul yang menujukan keridhaan diantara keduanya. Dan Secara rinci yakni:
1.             tanah,
2.             perbuatan pekerja,
3.             modal,
4.             alat-alat untuk menanam.[17]
Ulama hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
Tentang sifat muzara’ah, menurut ulama Hanafiah merupakan sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih diatas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanamkan tumbuhan diatas tanah yang tidak ada gizinya. Menurut pendapat paling kuat perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan shighat.[18]
Adapun syaratnya:
1.             Syarat yang menyangkut orang yang berakad ialah keduanya harus sudah baligh dan berakal.
2.             Syarat menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas dan dapat menghasilkan.
3.             Syarat yang menyangkut tanah;
a)             Menurut adat dikalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanahnya tandus dan tidak memungkinkan dapat ditanami maka akad muzara’ah tidak sah.
b)             Batas-batas tanah itu jelas.
c)             Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
4.             Syarat menyangkut hasil panen ;
a)             Pembagian panen masing-masing pihak harus jelas
b)             Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada pengkhususan
c)             Pembagian hasil panen itu ditentukan, misalnya ½, 1/3, atau ¼, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1 kwintal untuk pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan hasil panen jauh dibawah itu atau melampaui itu.
5.             Syarat menyangkut jangka waktu yang disesuaikan adat setempat.[19]
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang dikeluarkan dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.
a.              Syarat aqid (orang yang melangsungkan akad)
1)             Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
2)             Imam abu hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
b.             Syarat tanaman
Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
c.              Syarat dengan garapan
1)             Memungkinkan untuk digarap, yakni pabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
2)             Jelas.
3)             Ada penyerahan tanah.
d.             Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
1)             Jelas ketika akad
2)             Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad
3)             Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti 1/3, ½ dan lain-lain.
4)             Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar pengganti biji.
e.              Tujuan akad
Akad dalam muzara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan tanah.
f.              Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau moderen dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat dan tidak dikaitkan dengan akad, muzara’ah dipandang rusak.
g.             Syarat muzara’ah
Dalam muzara’ah harus menetapkan  waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara’ah dipandang tidak sah.[20]
2.9         Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.[21]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
اَلْمُخَبَرَةُهِيَ عَمَلُ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَحْرُجُ مِنْهَا وَألْبَذْرُمِنَ الْعَامِلِ . وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَابَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْ رَفِيْهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَالِكِ.
"Mukabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah."[22]
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli ialah:[23]
1.             Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
معاملة العامل فى الأرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من الملك
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
2.             Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
عمل العامل فى ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”
Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.
2.10     Landasan Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:
عن رافع بن خديج قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكرى الارض على ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك - رواه البخارى
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع - رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.[24]
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi saw :
عَنْ طَاوُسِ أَنَّهُ كَانَ يُخَبِرُ, قَالَ عَمْرٌو فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَن لَوْ تَرَكْتَ هَذِهِ الْمُخَابَرَةَ فَاءِنَّهُمْ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلى اللّه عَليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُخَاب ةِ فَقَالَ أَيْ عَمْرٌو : أَخْبِرْنِى أَعْلَمُهُمْ بِذَالِكَ يَعْنِى ابْنَ عَبَّاسٍ أَننَّ النَّبيَّ صلى اللّه عليه وسلم لَمْ يَنْهَ عَنْهَا إِنَّمَا قَالَ يَمْنَحُ أَ حَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْ خُذُ عَلَيْهَا خَرْجًا مَعْلُوْمًا (رواه مسلم)
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR.Muslim)[25]
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
2.11     Rukun dan Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
1.             Pemilik tanah
2.             Petani/Penggarap
3.             Objek mukhabarah
4.             Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a)             Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b)             Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c)             Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
d)            Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.[26]
2.12     Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan mukhabarah:
a.              Habis masa muzara’ah dan mukhabarah
b.             Salah seorang yang akad meninggal
c.              Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang mengnyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain :
1.             Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
2.             Si penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan lain-lain.[27]
2.13     Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas orang yang  mempunyai ladang atau tanah, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, orang yang bekerja hanya mendapatkan upah atas pekerjaanya.
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas petani yang bekerja, pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Jika benih berasal dari keduannya, maka zakatnya wajib atas keduanya.[28]
2.14     Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti sapi, kebau, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya banyak diantara manusia mempunyai tanah, sawah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebutatau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan sesuatu apapun.
Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghidari adanya kepemilikan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksi karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dengan upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan dan saling bertanggungjawab.
Muzara’ah dan mukhabarah dalam Islam tidak membedakan antara bagi laki-laki maupun perempuan. Pada masyarakat yang suka merantau seperti masyarakat Pidie. Suami akan merantau, sedangkan istri tinggal di kampung bersama orang tuanya. Istri yang ditinggalkan suami akan melakukan kegiatan, seperti menanam kacang hijau, cabe, bawang atau kegiatan lainnya untuk menambah penghasilan yang dkirim oleh suaminya diperantauan. Hasil kerja istri biasanya akan dibeli perhiasan-perhiasan atau benda-benda lain yang khusus untuk perempuan. Ketika rumah tangga mereka bubar, jenis harta kekayaan ini menjadi milik bekas istri.[29]


BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas mengenai Musaqah, muzara’ah, mukhabarah ialah dimana suatu akad kerja sama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dalam pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan si penggarap.
Dalam Musaqah, penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Berbeda dengan Musaqah, dalam muzara’ah pemilik lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya dari pemilik lahan.
Dalam muzara’ah dan mukhabarah terdapat kesamaan dari pembagian kerjasama tersebut dan yang membedakannya adalah apabila modal berasal dari pemilik lahan maka disebut muzara’ah dan pabila modal berasal dari si penggarap itu sendiri maka disebut mukhabarah. Dan untuk pembagian hasil sesuai kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja sama tersebut.
Demikian pula hukum musaqah, muzara’ah dan mukhabarah ini diperbolehkan dikarenakan bentuk kerja sama ini sama-sama memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya dapat dibagi bersama sesuai kesepakatan diawal.
3.2         Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,  tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al Fauzan,Saleh. 2005. Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Indah Press
Antonio, Muhammad  Syafi’i. 2001.  Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Ghazali, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Mardani. 2012.  Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah. Jakarata: Kencana
Nawawi, Ismail. 2012.  Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido
Sarong, A. Hamid, dkk. 2009. Fiqh. Banda Aceh: Bandar Publishing
Sholahuddin, Muhammad. 2011.  Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syari’ah. Jakarta: IKAPI
Suhendi, Hendi. 2008.  Fiqh Muamalah.  Jakarta: Rajawali Pers
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor:  Kencana




[1] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah, (Jakarata: Kencana, 2012) hal. 242 dan 243  (lihat juga pasal 266 kompilasi hukum ekonomi syariah
[2] Ibid. hal 243
[3] Ibid. 243 ( lihat juga pasal 267 s/d pasal 270 kompilasi hukum ekonomi syariah)
[4] https://shonz512.wordpress.com/musaqah/
[5] Prof.Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001). hal. 205
[6] H. Muhammad sholahuddin, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syari’ah. (Jakarta: IKAPI, 2011). hal :116
[7] Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Kencana, 2010). Hal: 114
[8] Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si., Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers,  2008), hal : 153-154
[9] Abdul Rahman Ghazali dkk Hal :114
[10] Prof.Dr.Amir syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003)  hal : 242
[11] Muhammad syafi’i antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 99 (lihat juga fiqh sunnah III, hlm. 173)
[12] Ibid, hal. 99

[13] Ibid hal.99
[14] Ibid hal.99
[15] Rachmat Syafe’i  hal :210-211
[16] Saleh al fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Indah Press, 2005),  hal : 480
[17] Hendi Suhendi hal : 158
[18]  Rahmat Syafe’i hal : 207-208
[19] Abdul Rahman Ghazali dkk, Hal. 115-117
[20] Rahmat syafe’i hal:  209
[21] H. Muhammad sholahuddin, hal :108
[22] Prof.Dr. Rachmat Syafe’i. hal : 206
[23] Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si., hal. 154-155
[24] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensido, September 2012), h. 302
[25] Abdul Rahman Ghazali dkk, hal : 118
[26] H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012) hlm: 162-164.
[27] Rahmat Syafe’i, hal : 211
[29] Dr. A. Hamid Sarong, dkk., Fiqh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, Januari 2009), hal. 114

twitter