ILMU
FILSAFAT MENURUT AL-QUR’AN
Katakanlah: “Kalau sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula).[i]
Ayat ini menggambarkan betapa
luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik
yang terdapat dalam ayat-ayat
Qur’aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh
karena itu, tidak heran jika para ulama
dan para filosof muslim sejak zaman dahulu
menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Para filosof muslim telah mengajukan
berbagai argumen bahwa al-Qur’an
bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru sesuai
dengan konsep-konsep pemikiran filsafat,
bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu pengetahuan.[ii]Dalam
paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalamtiga dimensi, yaitu: pertama,
dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimanacara memperoleh
ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan,
yaitumetodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan
pengetahuan yang benar.[iii]kedua,
dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objekkajian ilmu
pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu.[iv] Dan
ketiga, dimensiaksiologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang
tujuan dan nilai guna serta nilaimanfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini
lebih dikenal dengan teori nilai.[v]Bertitik
tolak dari kerangka teori di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam
tulisan ini adalah bagaimana epistemologi ilmu menurut al-Qur’an, apa ontologi
ilmumenurut al-Qur’an, dan untuk apa aksiologi ilmu dalam perspektif al-Qur’an.
Epistemologi
Ilmu menurut al-Qur’an
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani episteme yang berarti knowledge ataupengetahuan. Sedangkan
logy berarti theory, sehingga epistemologi diartikan sebagai
teoripengetahuan atau filsafat ilmu. Ketika mengkaji bidang ini, maka ada tiga
persoalan pokok
yang perlu disentuh, yaitu makna pengetahuan, sumber
pengetahuan, genealogi pengetahuan,
bagaimana cara mengetahuinya, dan apakah pengetahuan
kita itu benar (valid).[vi]
Objek telaah
epistemologi adalah mempertanyakan dari mana ilmu
itu diperoleh, bagaimana caramengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan
yang lain, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai
sesuatu hal.[vii]
Konsep epistemologi di atas dapat digunakan sebagai
kerangka untuk menggali
epistemologi ilmu menurut al-Qur’an, sehingga
kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan
tentang apa pengertian ilmu menurut al-Qur’an?
1. Makna ilmu
menurut al-Qur’an
Dalam al-Qur’an kata ilmu
ternyata banyak disebut, yaitu sebanyak 105 kali, tetapi
jika digabung dengan kata derivasinya ia disebut
tidak kurang dari 744 kali. Untuk
menyebutkan secara terinci, kata-kata turunan itu
disebut dalam bentuk dan frekuensi
sebagai berikut; ‘alima (35), ya‘lam (215),
i‘lam (31), yu‘lam (1), ‘ilm (105), ‘alim (18),
ma‘lum (13), ‘alamin (73), ‘alam
(3), ‘alam (49), ‘alim‘ulama‘ (163) ‘allam (4)‘allama
(12),
yu‘alim (16),‘ulima (3), mu‘allam
(1), ta‘allama (2). Dari kata turunan itu timbul berbagai
pengertian, seperti: mengetahui, pengetahuan, orang
yang berpengetahuan, yang tahu,
terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui
segala sesuatu, lebih tahu, sangat
mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang
menerima pelajaran/diajari, mempelajari;
juga pengertian-pengertian seperti tanda (‘alam),
alamat, tanda batas, tanda peringatan,
segala kejadian alam, segala yang ada dan segala
yang dapat diketahui.[viii]
Untuk mengetahui dan menemukan pengertian tentang
ilmu dalam al-Qur’an tidak
cukup hanya jika dicari pengertiannya dari kata-kata
yang berasal dari akar kata ‘alima
(tahu), sebab kata itu ‘tahu’ tidak hanya diwakili
oleh kata tersebut. Ada beberapa kata
yang mengandung pengertian ‘tahu’ seperti ‘arafa,
zahara, khabara, sha‘ara, ya’isa, ankara,
basirah dan hakim. Kata-kata
turunan dalam al-Qur’an yang berasal dari kata ‘arafa sendiri
umpamanya disebut sebanyak 34 kali. Karena itu,
menurut Rosenthal, kata ilmu adalah
sinonim dengan kata ma‘rifat.[ix]
Salah satu kata derivasinya juga telah menjadi bahasa
Indonesia yang kita kenal yaitu ‘arif, kata
ini memang diartikan sebagai orang yang memiliki
pengetahuan yang
tertinggi,[x]
jika orang telah sampai kepada tahap ma‘rifat, walaupun
hal ini lebih dikenal di dunia tasawuf.
Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata
hikmah yang sudah menjadi
kata Indonesia. Kata hikmah biasanya dipakai
langsung tanpa terjemahan, dan
pengertiannya adalah ‘pelajaran’. Orang yang bisa
memetik hikmah adalah orang yang
dapat ‘mengambil pelajaran’ dari pengalaman. Tetapi
hikmah dapat pula diterjemahkan
dengan
‘kebijaksanaan’, atau pengetahuan tertinggi. Dalam al-Qur’an kata hikmah
memang
berkaitan dengan hasil pemikiran seseorang dan sebagai hasil pemikiran, hikmah
merupakan
sesuatu yang sangat berharga seperti tercermin dalam surah al-Baqarah ayat
269.[xi]
Dari
paparan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’an menggunakan kata ilmu
dalam
berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali, antara lain, sebagai proses
pencapaian
ilmu pengetahuan dan objek ilmu pengetahuan[xii]
tentang sumber-sumber ilmu
pengetahuan,
di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Sehingga sebagian ilmuwan
muslim
berpendapat bahwa ilmu menurut al-Qur’an mencakup segala macam pengetahuan
yang
berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan,
baik
tentang ilmu-ilmu fisika (empirik) maupun metafisika (non empirik).[xiii]
Dalil-dalil
al-Qur’an yang menunjukkan isyarat tentang ketiga sumber ilmu
pengetahuan
itu adalah a) empiris, yakni alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, antara
lain,
dapat ditangkap dari beberapa isyarat ayat al-Qur’an seperti Allah mengajarkan
namanama
benda
kepada Adam as., perintah Allah untuk memperhatikan dan mempelajari
fenomena
yang terjadi pada benda-benda langit, dan fenomena-fenomena yang terjadi di
bumi,
meneliti dan mempelajari awan, gunung-gunug, lautan dan mahluk hidup yang ada
di
bumi, dan lain sebagainya,[xiv]b)
rasio, yakni akal sebagai sumber ilmu pengetahuan
dengan
menafsirkan dan mengabstraksikan fenomena alam itu menjadi rumusan-rumusan
teori
ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia,[xv]dan
c) intuisi dan wahyu sebagai
sumber
ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang diturunkan Tuhan melalui para nabi
dan
rasul-Nya, termasuk dalam kategori ini adalah pengetahuan tasawuf dan filsafat
yang diperoleh
melalui intuisi dan hasil kontemplasi pemikiran.[xvi]
Ontologi
Ilmu menurut al-Qur’an
Ontologi
adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan.Dalam
kaitan ini, perbincangan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan struktur ilmu
pengetahuan
merupakan keniscayaan.[xvii]
Sementara menurut Noeng Muhadjir, ontologi
membahas
segala yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang terkandung
dalam
setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan
demikian,
ontologi membahas pertanyaan “apa objek pengetahuan”, “bagaimana wujud hakiki dari
objek pengetahuan tersebut”, dan “dalam konteks apa objek pengetahuan tersebut
diperlukan
manusia?”[xviii]
Objek
kajian ilmu adalah segala yang ada (realitas empirik), sementara objek kajian
filsafat
adalah segala yang ada dan mungkin ada (al-wujud wa yumkin al-wujud).
Adapun yang dimaksud segala yang ada adalah realitas fisik, sedangkan yang
mungkin ada adalah realitas metafisik (non empirik).28 Sebagai contoh, ketika
manusia mati, ilmu menyatakan bahwa kematian terjadi karena disfungsi organ
vital seperti jantung, hati, paru-paru atau otak.
Tidak
ada penjelasan lain setelah peristiwa kematian selain wujud fisik manusia itu
secara
perlahan
akan mengalami pembusukan, kemudian dalam jangka yang panjang akan berubah
kembali
menjadi tanah. Filsafat meyakini ada realitas lain di balik kematian manusia,
yaitu berpindahnya ruh dari jasad fisik ke alam meta fisik. Kematian bukan
akhir dari kehidupan manusia melainkan satu tahapan peristiwa yang akan
dilewati oleh setiap orang untuk memasuki kehidupan yang kekal. Inilah hakikat
yang mungkin ada, dikatakan mungkin karena akal manusia hanyadapat memprediksi
dan tidak dapat membuktikannya secara empirik.
Aksiologi
Ilmu menurut al-Qur’an
Aksiologi
atau nilai guna dan kemanfaatan ilmu pengetahuan disebut juga dengan
teori
nilai. Pada tataran aksiologi, filsafat hendaknya mampu menjawab pertanyaan
tentang
“untuk
tujuan apa ilmu pengetahuan digunakan?”, “bagaimana hubungan penggunaan ilmu
pengetahuan
dengan nilai-nilai etika dan moral?”, “bagaimana tanggung jawab sosial
ilmuan?”,
dan “apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai (meaningless) atau sarat
nilai
(meaningfull)?”[xix]Bertolak
dari uraian di atas, maka kajian aksiologi ilmu menurut al-Qur’an akan menjelaskan
tentang apa nilai guna dan kemanfaatan ilmu menurut al-Qur’an, untuk tujuan apa
ilmu dipelajari dan dikembangkan, bagaimana tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan muslim, apakah ilmu itu bebas nilai atau sarat nilai menurut al-Qur’an?
Ilmu bukan sesuatu yang berada di ruang hampa yang tidak memiliki nilai guna dan
manfaat tetapi sesuatu yang beneficial, memiliki nilai guna dan manfaat,
serta bukan sebaliknya yang dapat merusak, baik merusak kehidupan manusia
maupun merusak kehidupan alam dan lingkungan. Ilmu harus digunakan semata-mata
untuk kebaikan dan menciptakan kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi manusia,
kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, maupun kemaslahatan bagi mahlukmahluk hidup
lain serta lingkungan alam secara keseluruhan.[xx]Nilai
guna ilmu pengetahuan selalu dihubungkan dengan kedudukan dan tugaskeberadaan manusia di muka bumi. Keberadaan manusia di muka
bumi memiliki kedudukan ganda, di satu pihak manusia adalah sebagai khalifah
dan di pihak lain manusia berkedudukan sebagai hamba Tuhan (‘abid).
Dalam konteks ini, tujuan ilmu pengetahuan adalah:
Pertama,
sebagai
bekal untuk melaksanakan tugas kekhalifahan. Kata khalifah diambil
dari
kata kerja khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan.[xxi]
Menurut al-Tabari dan al-Qurtubi, kata khalifah secara filosofis
ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu: 1) menggantikan yang lain, yakni
menggantikan Allah, 2) segolongan manusia menggantikan segolongan manusia lain,
dan 3) menggantikan selain manusia seperti jin. Namun telah dikatakan bahwa kedua
tafsiran yang pertama sangat kecil kemungkinannya untuk menyebutkan tugas khalifah.[xxii]
Dengan penekanan kata khalifah tersebut, yakni khalifah Allah, maka
gambaranketiga terlihat menunjukkan makna yang lebih dalam.[xxiii]Dalam
kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki
pengetahuantentang kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, kealaman, dan
pengetahuanpengetahuan
praktis
yang bersifat profesional, di mana masing-masing individu satu sama lain saling
membutuhkan dan tidak mungkin dimiliki atau dilakukan semuanya oleh seorang individu.
Di samping itu, manusia juga dituntut untuk memiliki ilmu-ilmu tentang akhlak, etika
dan moralitas yang terpuji serta aturan-aturan hukum (syari‘ah). Semua ilmu pengetahuan
tersebut dibutuhkan manusia untuk dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran,
keadilan, ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga
keseimbangan dan kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.[xxiv]Kedua,
sebagai bekal untuk menjalankan tugas penghambaan kepada Tuhan. Kata
‘abd (‘abada-ya‘budu-‘abdan), menurut Quraish Shihab, paling
tidak memiliki tiga arti, yaitu:
1)
sesuatu yang dimiliki, 2) sejenis tumbuhan yang beraroma harum, dan 3) anak
panah.
Jadi,
berdasarkan arti yang pertama, maka abdi Allah, abdi bangsa atau abdi apapun
berarti
sesuatu
yang dimiliki dan sekaligus menjadi alat, atau menjadi seseorang yang memiliki
aroma
harum bagi lingkungannya. Dalam kamus Arabic-English Dictionary,
suntingan JM
Cowan
(1976), kata kerja abada bisa berarti melayani (to serve),
menyembah (to worship)
kepada
Tuhan. Sebagai kata benda, kata ‘abdun berarti budak (slave, serv)
yang bentuk jamaknya adalah ‘abid yang berarti orang-orang yang menjadi
pelayan. Bentuk jama yang lain adalah `ibad yang berarti hamba-hamba
Tuhan. Bentuk masdarnya jika ditafsirkan menjadi ibadah artinya adalah
penyembahan (worship) dan pengabdian kepada Ilahi, juga bisa berarti kegiatan
ibadah yang bersifat ritual, seperti menjalankan shalat dan berdoa.[xxv]
Dalam
kedudukannya sebagai hamba Tuhan (‘abid), manusia dituntut selain untuk
memiliki
pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat
Tuhan,
makna
dan eksistensi kehidupannya di alam dunia maupun alam akhirat, mahluk-mahluk
Tuhan
yang tidak tampak kasat mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan,
tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll.
juga untukmemiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi
manusia, tentang tataDari uraian di atas tampak jelas bahwa menurut al-Qur’an
pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan
bagi umat manusia dan alam semesta. Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk
tujuan yang dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia
secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan. Dengan demikian,
pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan
kemaslahatan (meaningfull). Al-Qur’an tidak dapat menerima pandangan
sebagian filosof dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu dapat bebasdinilai
(meaningless). Pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai
dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai
agama, etika dan moral. Seperti jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk
ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni
tidak perlu memperhatikan nilai-nilaimoral, etika dan agama. Pandangan yang
demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam al-Qur’an.
[i]al-Qur’an,
al-Kahf: 109.
[ii]Mahdi
Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990), 137;
Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, t.th.), 15.
[iii]Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007),
106.
[viii]Dawam
Raharjdo, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996), 531. Lihat
juga Abdurrahman Saleh Abdullah,Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 90-91.
[xiv]al-Qur’an,
2 (al-Baqarah): 31; al-Qur’an, 10 (Yunus): 101; al-Qur’an, 88 (al-Ghasiyah):
20; dan al-Qur’an, 27 (al-Nahl): 88.
[xv]al-Qur’an,
57 (al-Hadid): 17; al-Qur’an, 40 (a-Mu’minun): 67; al-Qur’an, 51 (al-Dhariyat):
21; dan al-Qur’an, 37(al-Saffar ): 137.
[xix]Lihat
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, 11; Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, 88-89; Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 229.
[xxi]Abdurrahman
Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan, 46.
[xxii]Ibid.,
48.