Laman

16 Oktober, 2015

Haramnya Jual Beli Kredit Berbunga

Haramnya Jual Beli Kredit Berbunga

Manusia adalah makhuk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan.
Jual beli dalam fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan (dari tangan ke tangan), dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, hutang dengan hutang. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau pembayaran kontan dan pembayaran tertunda, maka itu disebut jual beli as-Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah.pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang dibayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu. Itu disebut dengan taqsit atau kredit. Kredit disini merupakan cara memberikan pembayaran barang dagangan.[i] Memberikan kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba dan haram.
Menurut Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurul Aen,M.A dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, pengertian haram ialah firman Allah yang menurut ditinggalkannya pekerjaan, dengan tuntutan yang jelas dan pasti, sama saja, baik yang mewajibkan kepastian tadi qath’iy atau dhanniy atau pekerjaan yang diancam hukuman.[ii]
Menurut Imam Abu Hanafiah apabila larangan itu ditetapkan dengan dalil yang qath’iy disebut haram, sedangkan dengan dalil dhanniy disebut karohah al-tahrim seperti memakai sutra untuk laki-laki dan memakai cincin emas.
Tidak jauh berbeda, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya yang berjudul Kaidah-Kaidah Hukum Islam, definisi haram ialah tuntutan yang tegas dari syari’ untuk tidak dikerjakan, dengan perintah secara pasti. Artinya bentuk permintaaan larangan itu sendiri menunjukkan bahwa larangan itu pasti.[iii]
Berdasarkan kutipan yang berasal dari muslim.or.id, Al-‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut.[iv]
Dalam agama Islam, hukum jual beli adalah sunnah. Walaupun demikian, bahwa hukum asalnya jual beli adalah halal, tetapi tidak dengan jual beli yang menggunakan sistem kredit berbunga. Jika jual beli secara kredit saja, dibolehkan dalam hukum jual beli secara Islami. Hukum jual beli yang dibolehkan secara islami adalah kredit yang tidak menerapkan bunga.
Jual beli yang di dalamnya mengandung unsur riba dapat dikatan bahwa jual beli ini adalah haram. Haram yaitu yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala. 
Ada beberapa kriteria kredit yang harus diperhatikan, jika tidak diperhatikan maka seseorang dapat terjatuh ke dalam jurang riba. Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Sebagai contoh adalah kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli dapat boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual sepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacamnya. Dalam hal ini ada ansuran di muka dan sisanya di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual(bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan yang lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga.
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak dapat dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.
Kemudian, jika dalam penerapan kreditnya ada mengandung unsur bunga di dalam jual beli adalah dilarang di dalam agama Islam, karena mengandung unsur riba. Disamping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban bagi mereka.
Di dalam al-Qur’an, pada surah al-Baqarah di sebutkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan riba. Sebagaimana firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang elah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-Nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)[v]
Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah menghalalkan jual beli, namun bukanlah yang mengandung riba, karena jual beli tidaklah sama dengan riba.. Jual beli yang mengandung riba disini adalah penerapan sistem jual beli kredit yang di dalamnya ada unsur bunga adalah haram. Orang yang mengambil riba tidak akan tentram jiwanya seperti orang yanmg kemasukan setan. Akan tetapi, riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turunnya ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Pada zaman dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangan sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan. Dahulu, transaksi perkreditan hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dan konsumen. Akan tetapi di zaman sekaeang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode yang tidak langsung, dan melibatkan pihak ketiga.
Dalam jual beli secara kredit ini, as-Syaikh al Albani mengatakan: ketahuilah wahai saudaraku muslimin bahwa cara jual beli yang seperti ini telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini yaitu jual beli at-Taqsiith dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan.[vi]
Oleh sebab itu, jual beli secara kredit berbunga yang tidak disyari’atkan ini hukumnya adalah haram. Bukan haram karena tidak disyariatkan saja, namun karena mengandung unsur riba. Diantara bentuk perniagaan yang diizinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu dengan memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Transaksi yang sesuai dengan syari’at ini akansesuai jika harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung.
Di dalam transaksi jual beli, jika melakukan tambahan harga itu tidak satu jenis dengan barang yang dijualnya, maka tambahan harga itupun adalah riba dan haram. Bahkan jika tidak mengambil tambahan harga, tetapi ia mensyaratkan supaya pembeli melakukan sebuah pekerjaan untuknya, maka hal ini juga riba dan haram.[vii]
Pada hakikatnya, memberikan tambahan harga yang terlalu tinggi (meberikan bunga yang terlalu besar) ataupun tidak memberikan tambahan harga yang tinggi (bunga yang besar) pada barang yang diperjual belikannya, tetapi mensyaratkan seseorang untuk bekerja padanya sebagai imbalan atas apa yang telah di belinya juga adalah haram.




[i] http://www.pengusahamuslim.com/hukum-jual-beli-jual-beli-yang-diperbolehkan/
[ii] Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurol Aen,M.A, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers 2000).hlm: 32
[iii] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers 1991).hlm: 175
[iv] http://www.muslim.or.id/222-jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html
[v] al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah [2] : 275)
[vi] http://www.beritaislamimasakini.com/jual-beli-dengan-sistem-kredit-fiqih.html
[vii] http://www.lankarani.com/and/res/t73.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

twitter