Haramnya Jual Beli Kredit Berbunga
Manusia adalah
makhuk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat
mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil
interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka
mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan.
Jual beli dalam
fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan (dari tangan ke
tangan), dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, hutang
dengan hutang. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda.
Kalau pembayaran kontan dan pembayaran tertunda, maka itu disebut jual beli as-Salm. Kalau penyerahan barangnya
langsung dan pembayarannya tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah.pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar
belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang dibayar dengan cicilan,
yakni dibayar dengan jumlah tertentu. Itu disebut dengan taqsit atau kredit. Kredit disini merupakan cara memberikan
pembayaran barang dagangan.[i] Memberikan kredit
(angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam
bentuk pengelabuan terhadap riba dan haram.
Menurut Prof.
Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurul Aen,M.A dalam bukunya yang berjudul Ushul
Fiqh: Metodologi Hukum Islam, pengertian haram ialah firman Allah yang menurut
ditinggalkannya pekerjaan, dengan tuntutan yang jelas dan pasti, sama saja,
baik yang mewajibkan kepastian tadi qath’iy
atau dhanniy atau pekerjaan yang
diancam hukuman.[ii]
Menurut Imam Abu
Hanafiah apabila larangan itu ditetapkan dengan dalil yang qath’iy disebut haram, sedangkan dengan dalil dhanniy disebut karohah
al-tahrim seperti memakai sutra untuk laki-laki dan memakai cincin emas.
Tidak jauh
berbeda, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya yang berjudul
Kaidah-Kaidah Hukum Islam, definisi haram ialah tuntutan yang tegas dari syari’
untuk tidak dikerjakan, dengan perintah secara pasti. Artinya bentuk
permintaaan larangan itu sendiri menunjukkan bahwa larangan itu pasti.[iii]
Berdasarkan
kutipan yang berasal dari muslim.or.id, Al-‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa
di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka
akan menimbulkan kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli)
yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang
melarang transaksi tersebut.[iv]
Dalam agama
Islam, hukum jual beli adalah sunnah. Walaupun demikian, bahwa hukum asalnya
jual beli adalah halal, tetapi tidak dengan jual beli yang menggunakan sistem
kredit berbunga. Jika jual beli secara kredit saja, dibolehkan dalam hukum jual
beli secara Islami. Hukum jual beli yang dibolehkan secara islami adalah kredit
yang tidak menerapkan bunga.
Jual beli yang
di dalamnya mengandung unsur riba dapat dikatan bahwa jual beli ini adalah haram. Haram yaitu yang
menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau siksa
sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Ada beberapa
kriteria kredit yang harus diperhatikan, jika tidak diperhatikan maka seseorang
dapat terjatuh ke dalam jurang riba. Kriteria
pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank).
Sebagai contoh adalah kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli dapat
boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa
adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual sepakat
kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacamnya. Dalam hal ini
ada ansuran di muka dan sisanya di belakang.
Kriteria kedua, barang
tersebut bukan menjadi milik si penjual(bank), namun menjadi milik pihak
ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si
pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang
tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada
bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan yang
lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga.
Jika salah satu
dari dua syarat di atas tidak dapat dipenuhi, maka akan terjerumus pada
pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan
secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada
pembeli. Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan
mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.
Kemudian, jika
dalam penerapan kreditnya ada mengandung unsur bunga di dalam jual beli adalah
dilarang di dalam agama Islam, karena mengandung unsur riba. Disamping
mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam,
dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih
sayang terhadap mereka serta meringankan beban bagi mereka.
Di dalam
al-Qur’an, pada surah al-Baqarah di sebutkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan
riba. Sebagaimana firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang elah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-Nya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)[v]
Berdasarkan ayat
di atas, Allah SWT telah menghalalkan jual beli, namun bukanlah yang mengandung
riba, karena jual beli tidaklah sama dengan riba.. Jual beli yang mengandung
riba disini adalah penerapan sistem jual beli kredit yang di dalamnya ada unsur
bunga adalah haram. Orang yang mengambil riba tidak akan tentram jiwanya
seperti orang yanmg kemasukan setan. Akan tetapi, riba yang sudah diambil
(dipungut) sebelum turunnya ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Pada zaman
dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangan sederhana,
sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan
tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami
kemajuan dan banyak perubahan. Dahulu, transaksi perkreditan hanya mengenal
satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dan konsumen.
Akan tetapi di zaman sekaeang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode
baru, yaitu metode yang tidak langsung, dan melibatkan pihak ketiga.
Dalam jual beli
secara kredit ini, as-Syaikh al Albani mengatakan: ketahuilah wahai saudaraku
muslimin bahwa cara jual beli yang seperti ini telah banyak tersebar di
kalangan pedagang di masa kita ini yaitu jual beli at-Taqsiith dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan
harga kontan adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan.[vi]
Oleh sebab itu,
jual beli secara kredit berbunga yang tidak disyari’atkan ini hukumnya adalah
haram. Bukan haram karena tidak disyariatkan saja, namun karena mengandung unsur
riba. Diantara bentuk perniagaan yang diizinkan syari’at adalah dengan cara
salam, yaitu dengan memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan).
Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Transaksi yang sesuai
dengan syari’at ini akansesuai jika harga barang tidak berubah dari pembelian
dengan penyerahan barang langsung.
Di dalam
transaksi jual beli, jika melakukan tambahan harga itu tidak satu jenis dengan
barang yang dijualnya, maka tambahan harga itupun adalah riba dan haram. Bahkan
jika tidak mengambil tambahan harga, tetapi ia mensyaratkan supaya pembeli
melakukan sebuah pekerjaan untuknya, maka hal ini juga riba dan haram.[vii]
Pada hakikatnya,
memberikan tambahan harga yang terlalu tinggi (meberikan bunga yang terlalu
besar) ataupun tidak memberikan tambahan harga yang tinggi (bunga yang besar)
pada barang yang diperjual belikannya, tetapi mensyaratkan seseorang untuk
bekerja padanya sebagai imbalan atas apa yang telah di belinya juga adalah
haram.
[i]
http://www.pengusahamuslim.com/hukum-jual-beli-jual-beli-yang-diperbolehkan/
[ii] Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr.
I. Nurol Aen,M.A, Ushul Fiqh: Metodologi
Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers 2000).hlm: 32
[iii] Prof. Dr. Abdul Wahhab
Khallab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers 1991).hlm: 175
[iv]
http://www.muslim.or.id/222-jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html
[v] al-Qur’an (Q.S.
al-Baqarah [2] : 275)
[vi]
http://www.beritaislamimasakini.com/jual-beli-dengan-sistem-kredit-fiqih.html
[vii]
http://www.lankarani.com/and/res/t73.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar