Laman

16 Oktober, 2015

ILMU FILSAFAT MENURUT AL-QUR’AN

ILMU FILSAFAT MENURUT AL-QUR’AN
  

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).[i] Ayat ini menggambarkan betapa
luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-ayat
Qur’aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama
dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Para filosof muslim telah mengajukan berbagai argumen bahwa al-Qur’an
bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru sesuai dengan konsep-konsep pemikiran filsafat,
bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu pengetahuan.[ii]Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalamtiga dimensi, yaitu: pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimanacara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitumetodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar.[iii]kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objekkajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu.[iv] Dan ketiga, dimensiaksiologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilaimanfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai.[v]Bertitik tolak dari kerangka teori di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana epistemologi ilmu menurut al-Qur’an, apa ontologi ilmumenurut al-Qur’an, dan untuk apa aksiologi ilmu dalam perspektif al-Qur’an.

Epistemologi Ilmu menurut al-Qur’an

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge ataupengetahuan. Sedangkan logy berarti theory, sehingga epistemologi diartikan sebagai teoripengetahuan atau filsafat ilmu. Ketika mengkaji bidang ini, maka ada tiga persoalan pokok
yang perlu disentuh, yaitu makna pengetahuan, sumber pengetahuan, genealogi pengetahuan,
bagaimana cara mengetahuinya, dan apakah pengetahuan kita itu benar (valid).[vi] Objek telaah
epistemologi adalah mempertanyakan dari mana ilmu itu diperoleh, bagaimana caramengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan yang lain, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.[vii]
Konsep epistemologi di atas dapat digunakan sebagai kerangka untuk menggali
epistemologi ilmu menurut al-Qur’an, sehingga kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan
tentang apa pengertian ilmu menurut al-Qur’an?
1. Makna ilmu menurut al-Qur’an
Dalam al-Qur’an kata ilmu ternyata banyak disebut, yaitu sebanyak 105 kali, tetapi
jika digabung dengan kata derivasinya ia disebut tidak kurang dari 744 kali. Untuk
menyebutkan secara terinci, kata-kata turunan itu disebut dalam bentuk dan frekuensi
sebagai berikut; ‘alima (35), ya‘lam (215), i‘lam (31), yu‘lam (1), ‘ilm (105), ‘alim (18),
ma‘lum (13), ‘alamin (73), ‘alam (3), ‘alam (49), ‘alim‘ulama‘ (163) ‘allam (4)‘allama (12),
yu‘alim (16),‘ulima (3), mu‘allam (1), ta‘allama (2). Dari kata turunan itu timbul berbagai
pengertian, seperti: mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu,
terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat
mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran/diajari, mempelajari;
juga pengertian-pengertian seperti tanda (‘alam), alamat, tanda batas, tanda peringatan,
segala kejadian alam, segala yang ada dan segala yang dapat diketahui.[viii]
Untuk mengetahui dan menemukan pengertian tentang ilmu dalam al-Qur’an tidak
cukup hanya jika dicari pengertiannya dari kata-kata yang berasal dari akar kata ‘alima
(tahu), sebab kata itu ‘tahu’ tidak hanya diwakili oleh kata tersebut. Ada beberapa kata
yang mengandung pengertian ‘tahu’ seperti ‘arafa, zahara, khabara, sha‘ara, ya’isa, ankara,
basirah dan hakim. Kata-kata turunan dalam al-Qur’an yang berasal dari kata ‘arafa sendiri
umpamanya disebut sebanyak 34 kali. Karena itu, menurut Rosenthal, kata ilmu adalah
sinonim dengan kata ma‘rifat.[ix] Salah satu kata derivasinya juga telah menjadi bahasa
Indonesia yang kita kenal yaitu ‘arif, kata ini memang diartikan sebagai orang yang memiliki
pengetahuan yang tertinggi,[x] jika orang telah sampai kepada tahap ma‘rifat, walaupun
hal ini lebih dikenal di dunia tasawuf.
Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah yang sudah menjadi
kata Indonesia. Kata hikmah biasanya dipakai langsung tanpa terjemahan, dan
pengertiannya adalah ‘pelajaran’. Orang yang bisa memetik hikmah adalah orang yang
dapat ‘mengambil pelajaran’ dari pengalaman. Tetapi hikmah dapat pula diterjemahkan
dengan ‘kebijaksanaan’, atau pengetahuan tertinggi. Dalam al-Qur’an kata hikmah
memang berkaitan dengan hasil pemikiran seseorang dan sebagai hasil pemikiran, hikmah
merupakan sesuatu yang sangat berharga seperti tercermin dalam surah al-Baqarah ayat
269.[xi]
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’an menggunakan kata ilmu
dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali, antara lain, sebagai proses
pencapaian ilmu pengetahuan dan objek ilmu pengetahuan[xii] tentang sumber-sumber ilmu
pengetahuan, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Sehingga sebagian ilmuwan
muslim berpendapat bahwa ilmu menurut al-Qur’an mencakup segala macam pengetahuan
yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan,
baik tentang ilmu-ilmu fisika (empirik) maupun metafisika (non empirik).[xiii]
Dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan isyarat tentang ketiga sumber ilmu
pengetahuan itu adalah a) empiris, yakni alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, antara
lain, dapat ditangkap dari beberapa isyarat ayat al-Qur’an seperti Allah mengajarkan namanama
benda kepada Adam as., perintah Allah untuk memperhatikan dan mempelajari
fenomena yang terjadi pada benda-benda langit, dan fenomena-fenomena yang terjadi di
bumi, meneliti dan mempelajari awan, gunung-gunug, lautan dan mahluk hidup yang ada
di bumi, dan lain sebagainya,[xiv]b) rasio, yakni akal sebagai sumber ilmu pengetahuan
dengan menafsirkan dan mengabstraksikan fenomena alam itu menjadi rumusan-rumusan
teori ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia,[xv]dan c) intuisi dan wahyu sebagai
sumber ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang diturunkan Tuhan melalui para nabi
dan rasul-Nya, termasuk dalam kategori ini adalah pengetahuan tasawuf dan filsafat
yang diperoleh melalui intuisi dan hasil kontemplasi pemikiran.[xvi]

Ontologi Ilmu menurut al-Qur’an

Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan.Dalam kaitan ini, perbincangan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan struktur ilmu
pengetahuan merupakan keniscayaan.[xvii] Sementara menurut Noeng Muhadjir, ontologi
membahas segala yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang terkandung
dalam setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan
demikian, ontologi membahas pertanyaan “apa objek pengetahuan”, “bagaimana wujud hakiki dari objek pengetahuan tersebut”, dan “dalam konteks apa objek pengetahuan tersebut
diperlukan manusia?”[xviii]
Objek kajian ilmu adalah segala yang ada (realitas empirik), sementara objek kajian
filsafat adalah segala yang ada dan mungkin ada (al-wujud wa yumkin al-wujud). Adapun yang dimaksud segala yang ada adalah realitas fisik, sedangkan yang mungkin ada adalah realitas metafisik (non empirik).28 Sebagai contoh, ketika manusia mati, ilmu menyatakan bahwa kematian terjadi karena disfungsi organ vital seperti jantung, hati, paru-paru atau otak.
Tidak ada penjelasan lain setelah peristiwa kematian selain wujud fisik manusia itu secara
perlahan akan mengalami pembusukan, kemudian dalam jangka yang panjang akan berubah
kembali menjadi tanah. Filsafat meyakini ada realitas lain di balik kematian manusia, yaitu berpindahnya ruh dari jasad fisik ke alam meta fisik. Kematian bukan akhir dari kehidupan manusia melainkan satu tahapan peristiwa yang akan dilewati oleh setiap orang untuk memasuki kehidupan yang kekal. Inilah hakikat yang mungkin ada, dikatakan mungkin karena akal manusia hanyadapat memprediksi dan tidak dapat membuktikannya secara empirik.

Aksiologi Ilmu menurut al-Qur’an

Aksiologi atau nilai guna dan kemanfaatan ilmu pengetahuan disebut juga dengan
teori nilai. Pada tataran aksiologi, filsafat hendaknya mampu menjawab pertanyaan tentang
“untuk tujuan apa ilmu pengetahuan digunakan?”, “bagaimana hubungan penggunaan ilmu
pengetahuan dengan nilai-nilai etika dan moral?”, “bagaimana tanggung jawab sosial
ilmuan?”, dan “apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai (meaningless) atau sarat nilai
(meaningfull)?”[xix]Bertolak dari uraian di atas, maka kajian aksiologi ilmu menurut al-Qur’an akan menjelaskan tentang apa nilai guna dan kemanfaatan ilmu menurut al-Qur’an, untuk tujuan apa ilmu dipelajari dan dikembangkan, bagaimana tanggung jawab sosial seorang ilmuwan muslim, apakah ilmu itu bebas nilai atau sarat nilai menurut al-Qur’an? Ilmu bukan sesuatu yang berada di ruang hampa yang tidak memiliki nilai guna dan manfaat tetapi sesuatu yang beneficial, memiliki nilai guna dan manfaat, serta bukan sebaliknya yang dapat merusak, baik merusak kehidupan manusia maupun merusak kehidupan alam dan lingkungan. Ilmu harus digunakan semata-mata untuk kebaikan dan menciptakan kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, maupun kemaslahatan bagi mahlukmahluk hidup lain serta lingkungan alam secara keseluruhan.[xx]Nilai guna ilmu pengetahuan selalu dihubungkan dengan kedudukan dan tugaskeberadaan manusia di muka bumi. Keberadaan manusia di muka bumi memiliki kedudukan ganda, di satu pihak manusia adalah sebagai khalifah dan di pihak lain manusia berkedudukan sebagai hamba Tuhan (‘abid). Dalam konteks ini, tujuan ilmu pengetahuan adalah:
Pertama, sebagai bekal untuk melaksanakan tugas kekhalifahan. Kata khalifah diambil
dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan.[xxi] Menurut al-Tabari dan al-Qurtubi, kata khalifah secara filosofis ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu: 1) menggantikan yang lain, yakni menggantikan Allah, 2) segolongan manusia menggantikan segolongan manusia lain, dan 3) menggantikan selain manusia seperti jin. Namun telah dikatakan bahwa kedua tafsiran yang pertama sangat kecil kemungkinannya untuk menyebutkan tugas khalifah.[xxii] Dengan penekanan kata khalifah tersebut, yakni khalifah Allah, maka gambaranketiga terlihat menunjukkan makna yang lebih dalam.[xxiii]Dalam kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki pengetahuantentang kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, kealaman, dan pengetahuanpengetahuan
praktis yang bersifat profesional, di mana masing-masing individu satu sama lain saling membutuhkan dan tidak mungkin dimiliki atau dilakukan semuanya oleh seorang individu. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk memiliki ilmu-ilmu tentang akhlak, etika dan moralitas yang terpuji serta aturan-aturan hukum (syari‘ah). Semua ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan manusia untuk dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga keseimbangan dan kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.[xxiv]Kedua, sebagai bekal untuk menjalankan tugas penghambaan kepada Tuhan. Kata ‘abd (‘abada-ya‘budu-‘abdan), menurut Quraish Shihab, paling tidak memiliki tiga arti, yaitu:
1) sesuatu yang dimiliki, 2) sejenis tumbuhan yang beraroma harum, dan 3) anak panah.
Jadi, berdasarkan arti yang pertama, maka abdi Allah, abdi bangsa atau abdi apapun berarti
sesuatu yang dimiliki dan sekaligus menjadi alat, atau menjadi seseorang yang memiliki
aroma harum bagi lingkungannya. Dalam kamus Arabic-English Dictionary, suntingan JM
Cowan (1976), kata kerja abada bisa berarti melayani (to serve), menyembah (to worship)
kepada Tuhan. Sebagai kata benda, kata ‘abdun berarti budak (slave, serv) yang bentuk jamaknya adalah ‘abid yang berarti orang-orang yang menjadi pelayan. Bentuk jama yang lain adalah `ibad yang berarti hamba-hamba Tuhan. Bentuk masdarnya jika ditafsirkan menjadi ibadah artinya adalah penyembahan (worship) dan pengabdian kepada Ilahi, juga bisa berarti kegiatan ibadah yang bersifat ritual, seperti menjalankan shalat dan berdoa.[xxv]
Dalam kedudukannya sebagai hamba Tuhan (‘abid), manusia dituntut selain untuk
memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
makna dan eksistensi kehidupannya di alam dunia maupun alam akhirat, mahluk-mahluk
Tuhan yang tidak tampak kasat mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll. juga untukmemiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, tentang tataDari uraian di atas tampak jelas bahwa menurut al-Qur’an pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan. Dengan demikian, pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan (meaningfull). Al-Qur’an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu dapat bebasdinilai (meaningless). Pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. Seperti jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan nilai-nilaimoral, etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam al-Qur’an.
           



[i]al-Qur’an, al-Kahf: 109.
[ii]Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990), 137; Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), 15.
[iii]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), 106.
[iv]Ibid., 63.
[v]Ibid., 229.
[vi]Juhaya S. Pradja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1987), 16.
[vii]Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2007), 10.
[viii]Dawam Raharjdo, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996), 531. Lihat juga Abdurrahman Saleh Abdullah,Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 90-91.
[ix]Ibid., 532.
[x]al-Qur’an, 5 (al-Maidah): 83.
[xi]al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 269.
[xii][xii]al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 31-32.
[xiii]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 62.
[xiv]al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 31; al-Qur’an, 10 (Yunus): 101; al-Qur’an, 88 (al-Ghasiyah): 20; dan al-Qur’an, 27 (al-Nahl): 88.
[xv]al-Qur’an, 57 (al-Hadid): 17; al-Qur’an, 40 (a-Mu’minun): 67; al-Qur’an, 51 (al-Dhariyat): 21; dan al-Qur’an, 37(al-Saffar ): 137.
[xvi]al-Qur’an, 42 (al-Syura): 13, 52 dan 63.
[xvii]Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, 9.
[xviii]Bandingkan dengan Juhaya S. Pradja, Aliran-Aliran, 12.
[xix]Lihat Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, 11; Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, 88-89; Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 229.
[xx]al-Qur’an, (al-Imran): 57; al-Qur’an, (al-Nisa’): 124; dan al-Qur’an, (al-A‘raf): 56, dan 75.
[xxi]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan, 46.
[xxii]Ibid., 48.
[xxiii]al-Qur’an, (al-Baqarah): 34.
[xxiv]al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 30; dan al-Qur’an, (al-Shat): 26.
[xxv]Dawam Raharjdo, Ensiklopedi al-Qur’an, 173-174.

1 komentar:

  1. apa sih yang di maksud dengan diskursus filsafat AL-qur'an dan injil

    BalasHapus

twitter