Laman

28 Desember, 2015

Muthlaq dan Muqayyad dalam Nash

al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia di dunia. Seperti yang kita tahu, di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata (lafazh) yang ada di dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata (lafazh) tersebut tidak jarang dijumpai sebuah kata yang maknanya begitu luas tanpa batasan. Yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja.
Muthlaq menurut bahasa artinya terlepas, atau tidak tebatas. Sedangkan menurut istilah terdapat beragam pendapat yang pada intinya merujuk pada suatu kesamaan. Menurut ulama ushul, Muthlaq ialah lafazh tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafazh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.[i]
Menurut Amir Syarifuddin, Muthlaq ialah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan apa-apa yang terpisah.[ii]
Menurut Nazar Bakry, Muthlaq ialah lafazh-lafazh yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan.[iii] seperti firman Allah SWT:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya…”(QS. al-Mujadilah:3)
Hal ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin dan hamba sahaya yang mukmin.
Adapun Muthlaq yang dimaksudkan dalam ilmu Ushul Fiqh adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[iv]
Sedangkan Muqayyad menurut bahasa adalah yang mengikat, atau membatasi.[v] Adapun menurut istilah sama halnya dengan Muthlaq, yaitu bermunculan beragam pendapat dari para ahli. Menurut ulama Ushul, Muqayyad ialah suatu lafazh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafazh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.[vi]
Menurut Nazar Bakry, Muqayyad ialah suatu lafazh yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan.[vii] Seperti firman Allah SWT:
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaknya) ia memerdekan seorang hamba sahaya yang beriman . . . . ”(QS. an-Nisa :92)
Disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, yaitu hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Adapun Muqayyad yang dimaksudkan dalam istilah ilmu ushul fiqh adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa) ikatan.[viii]
Dari berbagai uraian pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan jika yang dimaksud dengan Muthlaq ialah suatu lafazh yang cakupan akan maknanya tanpa batas atau dengan kata lain lafazh yang memiliki makna luas tanpa batasan. Contohnya kata الدم (darah) dalam firman Allah SWT:
“Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai dan darah” (QS. al-Maidah : 3)
Apa yang dimaksudkan dengan lafazh الدم dalam ayat ini adalah jenis darah yang bersifat menyeluruh tanpa ada batasan yang dapat menyempitkan kandungannya.
Sedangkan Muqayyad adalah kebalikan dari Muthlaq, yaitu lafazh yang menunjukkan pada sebuah hakikat sesuatu dengan menggunakan batasan yang dapat mempersempit kandungannya. Dengan kata lain cakupan maknanya terbatas. Contohnya lafazh أودمامسفوحا (darah yang mengalir) dalam firman Allah QS. al-An’am ayat 145. Batasan lafazh مسفوحا (mengalir) dalam ayat tersebut merupakan sifat tambahan dari hakikat lafazh دما (darah).
Jika terdapat lafazh Muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah mengguanakan lafazh tersebut sesuai ke-Muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa lafazh Muthlaq tersebut dibatasi kandungannya.[ix] Begitu pula dengan Muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada Muthlaq-nya.[x]
Maksudnya adalah, bila dating suatu qalam yang mana didalamnya ada lafazh Muthlaq pada suatu tempat, tetapi ada pula suatu lafazh Muqayyad pada satu qalam di tempat lain, maka dibebankan lafazh Muqayyad (artinya yang dipakai adalah yang Muqayyad).[xi]
Yang demikian hanya berlaku apabila sebab dan hokum yang terdapat pada yang Muthlaq dan Muqayyad adalah sama. Sebagai contoh adalah sabda Nabi SAW pada orang Arab Gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan puasa:[xii]
“Puasalah dua bulan berturut-turut” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:
“Puasalah dua bulan”
Keduan hadist tersebut diatas mempunyai sebab dan hokum yang sama. Dikatakan sebabnya sama karena sama-sama bersetubuh dalam bulan puasa, dan hukumnya sama-sama wajib. Dalam hal demikian, maka berlakulah kaidah yang berbunyi: ”Muthlaq dibebankan pada yang Muqayyad apabila sama sebab dan hukumnya[xiii]
Tetapi dalam hal lain, yang tidak sama hokum dan sebabnya, tidak boleh dibebankan Muthlaq pada yang Muqayyad. Sebagai contoh adalah firman Allah yang menyangkut tentang kifarat orang yang menzihar istrinya.[xiv]
“Maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya” (QS. al-Mujadalah: 2)
Dengan firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena tidak sengaja:
            “Maka hendaklah engkau memerdekakan hamba sahaya yang mukmin”(QS. an-Nisa: 92)
Dalam kedua ayat tersebut, tidak terdapat kesamaan sebab dan hukumnya. Dalam hal demikian berlakulah kaidah yang berbunyi: “Muthlaq itu dibebankan kepada Muqayyadbila tidak sama sebab dan hukumnya”.[xv]
Keterangan: Bila terdapat lafazh Muthlaq yang mempunyai dua Muqayyad, dan kemungkinan tidak dapat ditentukan Muqayyad yang lebih kuat antara keduanya, maka tidak dapat dibebankan Muthlaq pada Muqayyad. Tapi terpakai ke-Muthlaq-annya yakni keduanya terpakai.[xvi]
Sebagai contoh menyamak bejana yang dijilat anjing harus dilakukan dengan tanah. Dalam suatu riwayat lain dinyatakan bahwa tanah digunakan pada samakan terakhir. Dalam hal demikian, yakni samakan dengan tanah boleh pada samakan pertamanya dan boleh pula pada samakan yang terakhir.[xvii]
Terdapat empat kemungkinan pola hubungan Muthlaq dan Muqayyad dalam nash, yaitu:[xviii]
1.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang dikandung kedua nash itu bersesuaian.
2.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dan status hokum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
3.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya bersesuaian, sedangkan status hokum yang dikandung keduanya berbeda.
4.                  Dalam suatu nash, lafal muncul secara Muthlaq, dan dalam nash lain lafal muncul secara Muqayyad. Titik penyebab timbulnya hokum (sabab al-hukm) dari keduanya berbeda, sedangkan status hokum keduanya bersesuaian.
Jika kita merujuk kepada pembagian pola hubungan tersebut, maka kita dapat menemukan ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama. Dalam kemungkinan pola pertama, para ulama bersepakat bahwa lafazh yang Muqayyad berfungsi menjelaskan lafazh yang Muthlaq, serta mengalihkan pengertian lafazh Muthlaq pada pengertian lafazh Muqayyad. Dengan kata lain, pemahaman nash Muthlaq harus disesuaikan menurut tuntutan pesan nash Muqayyad. Sebagian riwayat, sebagaimana menurut  asy-Syaukani, menyebutkan adanya perbedaan sengit dan substantive yang mempunyai implikasi konkret dikalangan mereka.[xix]
Dalam kemungkinan pola kedua, ulama bersepakat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah berfungsi menjelaskan keumuman lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal Muthlaq dan Muqayyad tersebut digunakan makna masing-masing seperti semula. Hal ini disebabkan antara kedua lafal tersebut tidak lagi mempunyai hubungan, baik dari segi persamaan hokum maupun sebab munculnya hokum.
Dalam kemungkinan pola ketiga, ulama berpendapat bahwa lafal yang Muqayyad tidaklah berfungsi membatasi lafal yang Muthlaq. Sebaliknya, kedua lafal tersebut menggunakan kandungan maknanya masing-masing seperti sedia kala.
Dalam kemungkinan lafal keempat, ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nash Muthlaq harus disesuaikan pemahaman atasnya menurut tuntutan nas Muqayyad. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat sebaliknya bahwa nash Muthlaq harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut dan nash Muqayyad harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut.[xx]



[i] Muin dkk. Ushul Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam). Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta. Direktorat Jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
[ii] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-1, April 2012). Hal. 117
[iii] Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, Cetakan ke-1, 1993). Hal. 217
[iv] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2 (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-1, 2010). Hal. 94
[v] Ibid. Hal. 94
[vi] Muin dkk. Ushul Fiqh II Qaaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukum Islam). Hal. 50
[vii] Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Hal. 217-218
[viii] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2. Hal. 95
[ix] Abu Yasid. Metodologi Penafsiran Teks: Memahami Ilmu Ushul Fiqh Sebagai Epistimologi Hukum (Jakarta: Erlangga. 2012). Hal. 139
[x] Bhasiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Hal. 96
[xi] Ibid
[xii] Ibid
[xiii] Ibid
[xiv] Ibid. Hal. 97
[xv] Ibid
[xvi] Ibid
[xvii] Ibid. Hal. 98
[xviii] Mustafa Sa’id al-Khin. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al- Ushuliyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha. Hal. 248-251
[xix] asy-Syaukani. Irsyad al-Fuhuk ila Tahqiqal-Haqq mim ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Hal. 5
[xx] Muhammad al-Khudhari. Ushul al-Fiqh. Hal. 192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

twitter