Corporate Culture
Lembaga Keuangan Syariah
1.
Pengertian Corporate Culture
Kreitner
dan Kinicki mendefinisikan corporate culture sebagai perekat organisasi
yang mengikat anggota emalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolis, dan
cita-cita sosial yang ingin dicapai. Sementara itu, Mondy dalam Human
Resource Management, memperjelas dengan mengartikan corporate culture sebagai
sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang
berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma prilaku. Dapat
juga diartikan bahwa corporate culture merupakan sebuah sistem informasi
untuk mempertahankan dan mentransmisikan pengetahuan, kepercayaan, mitos-mitos
dan tingkah laku.
Hal
penting yang perlu diketahui dalam memahami corporate culture menurut
Robin, adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh
orang dalam organisasi. Selain dipahami, seluruh jajaran menyakini sistem
nilai-nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi. Kemudian pakar lain
Schein E.H. lebih lanjut mengatakan bahwa corporate culture sebagai
suatu pola asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh kelompok ketika memecahkan
masalah penyesuain eksternal dan integrasi internal. Pola yang berhasil dan
dianggap sah cenderung akan diajarkan kepada anggota (karyawan) baru sebagai
cara yang tepat untuk menerima, berpikir, dan merasa berhubungan dengan masalah
tersebut.
Selain
pengertian corporate culture yang disebutkan diatas, terdapat pemahaman
lain yang berorientasi kepada pola bahwa pengertian corporate culture
adalah pola yang terdiri atas kepercayaan dan nilai-nilai yang memberi arti
bagi anggota suatu organisasi, serta aturan-aturan bagi anggota untuk
berperilaku di organisasinya. Setiap organisasi memiliki makna sendiri-sendiri
terhadap kata corporate ‘budaya’ itu sendiri, antara lain identitas,
ideologi, etos, budaya, pola, eksistensi, aturan pusat kepentingan, filosofi,
tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara.
Dalam
hubungan dengan segi sosial, corporate berfungsi sebagai perekat sosial
yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar
yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
Sehingga, pada akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan
kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Dari sudut
pandang fungsi, corporate culture mempunyai beberapa fungsi. Pertama,
budaya mempunyai suatu peran pembeda (different). Hal ini berarti bahwa corporate
culture menciptakan pembedaan yang jelas antarasatu organisasi dengan yang
lainnya. Misalnya, antara perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan
asuransi dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah. Kedua, corporate
culture membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasinya,
misalnya merasa lebih islami perilakunya. Ketiga, corporate culture
mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada suatu yang lebih luas aripada
kepentingan diri individual, misalnya dalam organisasi Islam lebih mendahulukan kepentingan jam’i
‘jamaah’ daripada kepentingan pribadi. Keempat, corporate culture itu
dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial, misalnya merasa lebih selamat dan
lebih percaya diri bekerja di lembaga syariah.
2.
Membangun Corporate Culture yang Islami
a.
Membentuk Corporate Culture
Culture yang kuat akan mampu meletakkan kepercayaan-kepercayaan, tingkah
laku, dan cara melakukan sesuatu, tanpa perlu dipertanyakan lagi. Karena
berakhir dalam tradisi, maka culture mencerminkan apa yang dilakukan,
dan bukan apa yang akan berlaku.
Dengan
demikian, kata Djokosantoso Moeljono, fungsi corporate culture adalah
sebagai perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai
tujuan organisasiberupa ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai yang harus
dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Haltersebut dapat berfungsi pula
sebagai kontrol atas perilaku para karyawan.
Corporate
culture dalam suatu
perusahaan harus dibentuk. Admosoeprapto mengatakan bahwa suatu perusahaan
tidak akan muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Beberapa unsur corporate
culture yang terbentuk banyak ditentukan oleh beberapa hal.
i.
Lingkungan usaha. Lingkungan di tempat perusahaan itu
beroperasiakan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut
untuk mencapai keberhasilan.
ii.
Nilai-nilai merupakan konsep dasardan keyakinan suatu organisasi.
Misalnya: (1) panutan atau keteladanan; yaitu orang-orang yang menjadi panutan
atau teladan karyawan lainnya keberhasilan, (2) upacara-upacara (rites and
ritual); yaitu acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam
rangka memberikan penghargaan pada karyawannya, (3) network; yaitu
jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana
penyebaran nilai-nilai corporate culture.
Dalam
uapaya pembentukan apa yang disebut corporate culture, selalu dilakukan
proses penyesuaian yang dikenal dengan sosialisasi. Yaitu, proses yang
mengadaptasi para karyawan kepada corporate culture yang dharapkan.
Sedangkan
menurut Yong, dalam proses pengembangannya, corporate culture
dipengaruhi oleh faktor-faktor kebijakan perusahaan (corporate wisdom),
gaya perusahaan (corporate style), dan jati diri perusahaan (corporate
identity).
Dalam
suatu perusahaan yang berhasil, corporate culture akan membuat pekerjaan
menjadi lebih menyenangkan, maka perlu tetap dipelihara keberadaannya. Komitmen
seluruh karyawan yang dimulai dari pemimpin puncak hingga karyawan lapis
terbawah merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya corporate
culture. Komitmen tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tetapi juga
secara mental. Dengan demikian, terjalin suatu lingkungan kerja dengan ukhuwah
yang sangat tinggi, komunikasi karyawan satu dengan yang lainnya berjalan
dengan baik, hubungan satu bagian dengan bagian lain baik, dengan sistem dan
prosedur yang standar dan terukur. Juga dengan tim kerja yang sangat solid,
kompak dan care ‘saling peduli’ satu sama lain.
Corporate
culture yang islami,
akan sampai pada suatu tingkat, dimana hubungan karyawan dengan pimpinan, dan
karyawan yang satu terhadap karyawan yang lain, tidak peduli apa jabatannya,
seperti digambarkan dalam hadits Nabi.
“Perumpamaan
orang yang beriman dalam sayang menyayangi dan kasih-mengasihi adalah ibarat
satu tubuh yang mengalami rasa sakit, maka anggota tubuh yang lain akan siap
untuk begadang dan merasakan panas.”
(HR. Muslim)
“Seorang mukmin
bagi mukmin yang lain adalah ibarat bangunan, masing-masing bagian saling
menguatkan.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Bahkan,
dalam konteks yang lebih luas, corporate culture seperti ini mirip
dengan yang digambarkan Syaikh Ahmad ash-Shalih, dalam kitabnya at-Takaful
al-Ijtima’i fii asy-Syariah al-Islamiyah. Ia mengatakan, dalam praktiknyan para
sahabat telah memberikan contoh yang indah tentang takaful ijtima’i
‘budaya sosial kemasyarakatan’. Yaitu, tatkala kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar. Maka, orang-orang Anshar saling berlomba dalam memberikan penghormatan
kepada kaum Muhajirin. Ada seseorang Anshar yang berkata kepada seorang
Muhajirin, “Pilihlah diantara harta kekayaanku yang kamu sukai, saya akan
memberikannya kepadamu. Dan, pilihlah diantara istriku yang kamu suka, saya
akan menceraikannya dan nikahilah.”
Alangkah
indahnya gambaran ini. Dan, marilah kita lihat betapa indahnya jawaban orang
Muhajirin tersebut. “Mudah-mudahan Allah memberkati harta dan istrimu.
Tunjukkan kepadaku pasar.”
Ini
adalah sebuah gambaran dari sebuah budaya masyarakat yang menjadikan kecintaan
Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin sebagai landasan prilaku mereka. Corporate
culture yang islami mestinya dapat diwujudkan dalam suatu perusahaan yang
bernuansa islami, yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah Islam, seperti
Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Asuransi Takaful, dan pada
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya.
Contoh
lain, dapat kita lihat dalam tarikh Islam, diriwayatkan bahwa orang-orang yang
terluka pada Perang Yarmuk menolak air uang disodorkan kepada mereka meski
mereka dalam keadaan haus. Masing-masing menyodorkan air tersebut kepada
temannya yang terluka meski ia sendiri sangat membutuhkan, karena ia yakin
bahwa saudaranya itu lebih membutuhkannya. Akhirnya, semuanya meninggal demi
untuk menyelamatkan nyawa temannya. Allahu Akbar; ini pristiwa lain yang dapat
kita jadikan ibrah untuk membangun corporate culture dalam perusahaan
yang islami.
Allah
berfirman:
“Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa; dan janganlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(al-Ma’idah : 2)
Kita
diingatkan kembali ungkapan Devis dalam buku Managing Corporate Culture-nya
di depan, bahwa corporate culture adalah “pola yang terdiri atas
kepercayaan, dan nilai-nilai (religius) yang memberi arti bagi anggota suatu
organisasi, serta aturan-aturan bagi anggota untuk berprilaku di organisasinya.”
Sayang
sekali dalam masa globalisasi ini, banyak perusahaan yang lebih senang
mengadopsi budaya-budaya asing karena culture itu diyakini begitu maju
dan berkembang. Budaya asing memang tidak selamanya negatif dan tidak selamanya
pula positif. Culture asing boleh diadopsi dengan catatan sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Budaya penghargaan atas waktu dan ketepatan dalam memenuhi
janji, selalu dianggap sebagai budaya barat, padahal itu adalah bagian dari
ajaran Islam, misalnya dalam al-Qur’an surah al-Ashr (Masa-Waktu) ayat 1-3, “Demi
masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihari supaya menepati kesabaran.”
Contoh
lain, ketika kita harus menepati janji sebagai ciri profesionalisme yang dapat
dicontoh dalam perusahaan-perusahaan asing. Sesungguhnya corporate culture seperti
ini adalah budaya kerja islami yang dapat kita temukan misalnya dalam surahal-Mu’minun
ayat 1 sampai 11. Dalam perusahaan kita dituntut untuk menjadikan produktivitas
sebagai budaya kerja; produktif dalam berbicara maupun dalam bekerja. Allah
menyebutnya sebagai “orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna.” Budaya menjaga amanah dan komitmen dengan
janji merupakan business ethic yang islami, “orang-orang menjaga
amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.”
Berikut ini
dikutip salah satu contoh corporate wisdom (kebijakan perusahaan) dalam
rangka membangaun corporate culture yang islami di suatu perusahaan
syariah. Yaitu, Keputusan Dewan Pengawas Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga
dan PT Asuransi Takaful Umum tentang Kepribadian Insan Asuransi Takaful Sebagai
Bagian yang Tidak Terpisahkan dari Budaya Perusahaan Takaful, sebagai berikut.
Pertama
Insan Asuransi Takaful ialah seluruh direksi dan karyawan PT
Asuransi Takaful Keluargan dan PT Asuransi Takaful Umum, baik organik maupun
non-organik.
Kedua
Menetapkan Kepribadian Insan Asuransi Takaful sebagai berikut.
Aqidah:
1)
Memilikin aqidah yang lurus, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah.
2)
Memiliki aqidah yang jauh dari syirik, takhayul, dan bid’ah, dan
khufarat.
3)
Memahami prinsip-prinsip operasional asuransi Takaful.
4)
Senantiasa bersikap amanah dan jujur dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlak:
1)
Senantiasa berusahan menghindarkan diri dari perkataan dan
perbuatan yang tidak bermanfaat.
2)
Sama sekali tidak merokok dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Memiliki keluarga yang patut dicontoh oleh lingkungan, terutama:
a)
Istri-istri dan anak-anak wanita yang telah baliq dari sel;uruh insan
Takaful, senantiasa memakai jilbab sesuai dengan aturan syariah Islamiyah.
b)
Tidak ada keluarga (suami/istri dan anak-anak) karyawan mulai
tingkat Kepala Bagian dan/atau Manajer ke atas dan direksi yang bekerja
pada/untuk lembaga keuangan konvensional.
Al-Qur’an:
1)
Mampu membaca al-Qur’an dengan tartil.
2)
Untuk tingkat Kepala Divisi dan/atau Senior Manajer harus hafal
minimal 20 (dua puluh) surah terakhir dalam al-Qur’an selain al-Ikhlas,
al-Falaq, dan an-Naas (yaitu surah al-Lail s/d al-Masaad).
3)
Untuk tingkat Kepala Bagian dan atau Manajer harus hafal minimal 15
(lima belas) surah terakhir dalam al-Qur’an selai al-Ikhlas, al-Falaq, dan
an-Naas (yaitu surah al-Qadr s/d al-Masaad).
4)
Untuk tingkat Kepala Seksi dan/atau Junior Manajer harus hafal
minimal 10 (sepuluh) surah terakhir dalam al-Qur’an selain al-Ikhlas, al-Falaq,
dan an-Naas (yaiti surah al-Takatsur s/d al-Masaad).
Shalat:
1)
Karyawan mulai tingkat Kepala Bagian dan/atau Manajer ke atas harus
mengetahui arti setiap kalimat dari seluruh bacaan shalat fardhu.
2)
Senantiasa berupaya mendirikan shalat fardhu berjamaah pada
waktunya.
3)
Gemar mendirikan shalat fardhu berjamaah di Masjid/Mushalla
lingkungan tempat tinggal yang bersangkutan.
Muamalah:
1)
Senantiasa bersikap amanah dan jujur dalam bermuamalah.
2)
Memiliki loyalitas yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan
Takaful sebagai lembaga keuangan syariah.
3)
Gemar berinfak dan sedekah, yang merupakan kaffarat dari kesalahan
dan kekhilafan yang terjadi dalam bekerja serta untuk keberkahan harta yang
dimiliki.
4)
Menutup semua account atas nama pribadi dan/atau keluarga
(suami/istri dan anak-anak) pada lembaga keuangan konvensional yang bertujuan
untuk penyimpanan (saving) dan investasi.
5)
Customer
diciptakan Allah sebagai perantara untuk beramal saleh, sehingga memberikan
pelayanan terbaik kepada mereka merupaka ibadah kepada Allah.
Ketiga
Untuk mewujudkan Kepribadian Insan Asuransi Takaful di atas, maka
perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1)
Manajemen PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum
perlu mengadakan suatu program pembianaan bagi karyawannya dengan tujuan
terwujudnya Kepribadian Insan Takaful tersebut.
2)
Manajemen PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful
Umum berkesempatan untuk
mensosialisasikan dan menerapkannya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak ditetapkannya Keputusan ini.
3)
Materi-materi yang terkandung dalam Kepribadian Insan Takaful di
atas merupakan suatu indikator dalam kriteria Penilaian Kinerja (Performance
Appraisal) secara berkala.
Setiap
perusahaan yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah harus berusaha untuk
membangun corporate culture yang islami. Karena perusahaan syariah tanpa
corporate culture yang islami, maka ia sesungguhnya bukan perusahaan
syariah. Tetapi, perusahaan bisnis biasa yang pada bagian-bagian tertentu dalam
bisnisnya menggunakan prinsip-prinsip Islam, tetapi tidak utuh, tidak kaffah.
Ia hanya perusahaan yang mencari untung dengan menggunakan prinsip syariah
semata-mata karena pertimbangan market saja.
Contoh pada
asuransi takaful diatas bukanlah corporate culture yang ideal. Ia
hanyalah salah satu bentuk ikhtiar dari manajemen untuk menciptakan corporate
culture yang islami.
b.
Corporate Culture yang Islami
Ujang
Sumarwan mengartikan culture ‘budaya’ sebagai segala nilai, pemikiran,
serta simbol yang memperngaruhi perilaku, sikap, kepercayaan, serta kebiasaan
seorang dan masyarakat. Jadi culture yang islami menurut definisi ini
adalah segala nilai, pemikiran, serta simbol yang mempengaruhi perilaku, sikap,
kepercayaan, serta kebiasaan seseorang dan masyarakat yang sesuai sengan
nilai-nilai ajaran Islam. Jika kita perkecil dalam lingkup perusahaan, corporate
culture yang islami adalah kepercayaan dengan nilai-nilai islami yang
mewarnai seluruh pola, perilaku, sikap, dan aturan-aturan dalam suatu
perusahaan.
Salah
satu contoh yang dapat kita kemukakan di sini adalah budaya tepat waktu.
Rasulullah menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga yang
tidak boleh diabaikan. Rasulullah memberi contoh sebagaimana menyikapi
ketepatan waktu, kemudian diikuti oleh sahabat beliau. Akhirnya, para sahabat
menyadari dan kemudian terbiasa untuk menghargai waktu. Dan, jadilaj ia sebagai
perilaku dan sikap para sahabat.
Rasulullah
bersabda:
”Siapkan lima
sebelum (datangnya) lima. Masa hidupmu sebelum datang waktu matimu, masa
sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa senggangmu sebelum datang masa
sibukmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, dan masa kayamu sebelum datang
masa miskinmu.” (HR. Baihaqi
dari Ibnu Abbas)
Ibnu Umar
berkata:
“jika engkau
pada waktu sore, maka janganlah engkau menunggu datangnya waktu pagi. Dan, jika
engkau pada waktu pagi, maka janganlah engkau menunggu datangnya waktu sore.
Pergunakanlah (beramallah) pada waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, dan
pergunakanlah (beramallah) pada waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu.” (HR. Bukhari)
Dalam
rangka untuk membangun dan menciptakan corporate culture yang islami di
Lembaga Keuangan Syariah (LKS),berikut ini hal-hal yang sudah selayaknya menjadi
jati diri perusahaan (corporate identity) dan melekat dalam kepribadian
setiap karyawan terutama bagi perusahaan-perusahaan yang operasionalnya dengan
prinsip-prinsip syariah Islam.
Pertama: Dalama Lingkungan Kerja (Kantor)
1)
Budaya Salam
Membudayakan
salam adalah ajaran Nabi SAW. Perusahaan wajib membudayakan ini. Rasulullah
dalam salah satu haditsnya tentang huququl muslim mengatakan, “Idza
laqitahu fassalim ‘alaihi (jika kalian berjumpa dengan saudaramu sesama
muslim, maka ucapkanlah salam kepadanya).” Bahkan, Allah menegaskan dalam
firmannya pada surah an-Nisaa ayat 86, “Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan yang serupa).”
Ketika
seorang karyawan mendapatkan salam “assalamu ‘alaikum”, maka jawablah “wa
‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh”, atau paling tidak dengan “wa
‘alaikum salam”. Telepon masuk maupun keluar, baik elektronok (otometik)
maupun menerima atau menelepon keluar mesti diawali dengan ucapan salam. Salam
menjadi corporate identity ‘jati diri perusahaan’.
2)
Murah hati/sikap ramah dan melayani
Orang
yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan, dan bersahabat saat
melakukan dealing dengan mitra bisnis. Rasulullah mengkategorikan bahwa
salah satu ciri orang beriman adalah orang yang mudah bersahabat dengan orang
lain dan orang lain mudah bersahabat dengannya. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang memerintahkan kaum muslimin untuk bermurah hati, misalnya
surah Ali Imran ayat 159, “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keraslagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” Lalu Rasulullah mengatakan
“semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati/sopan pada
saat dia menjual, membeli, atau saat menuntut haknya.”
Sikap
melayani adalah salah satu prinsip bisnis Islami. Rasulullah mengatakan, “Saidul
kaum khadimuhum (pengurus/pengusaha itu adalah pelayan bagi customer-nya).”
Karena itu, sikap murah hati, ramah, dan sikap melayani mestilah menjadi bagian
mestilah menjadi bagian dari kepribadian semua karyawan yang bekerja di bawah prinsip-prinsip
syariah.
3)
Cara berbusana
Busana
adalah karunia yang agung, yang dapat dipergunakan untuk menutup
anggota-anggota tertentu dari bagian tubuh manusia, sekaligus melindunginya
dari pencemaran udara yang membahayakan. Di samping itu juga berfungsi sebagai
perhiasan dan kecantikan. Allah berfirman, “hai anak Adam (umat manusia),
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Allah
menegaskan kepada hamba-hamba-Nya akan busana yang mudah bagi mereka berupa
busana fisik yang prinsipil yang dijadikan sebagai penutup aurat. Busana secara
fisik itulah yang merupakan hiasan dan keindahan. Merekan dapat tampil anggun
dan islami dengan busana tersebut dalam aktivitasnya sehari-hari sebagai karyawan.
Ia menampakkan dirinya sebagi orang berakhlak karena tidak mudah
mempertontonkan dirinya secara murahan.
Perusahaan
yang islami adalah perusahaan yang menata secara rapi busana karyawan dan
karyawatinya. Muslimah mengenakan busana sebagaimana disyariatkan oleh syariah,
misalnya: (1) busana harus menyelubungi seluruh badan, (2) busana tidak boleh
ketat yang dapat membentuk tubuhnya, (3) busana wanita tidak boleh menyerupai
busana laki-laki, (4) tidak boleh menyerupai busana wanita-wanita kafir. Sedangkan,
yang pria menggunakan busana yang mencirikan nuansa islami misalnya baju dengan
kerah sanghai atau mirip baju koko. Bagi eksekutif atau setingkat direksi,
mungkin lebih baik menggunakan baju kerah sanghai dengan jas dibandingkan pakai
dasi plus jas, yang lebih terkesan ber-tasyabbuh (sikap meniru orang
kafir), karena Rasulullah pernah bersabda,
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pada
pokoknya, busana karyawan yang bekerja di Lembaga Keuangan Syariah haruslah
menampakkan nuansa syariah. Sehingga, dengan melihat selintas, orang dapat
menebak kalau dia bekerja di Lembaga Syariah. Hal ini juga secara otomatis
menjadi kontrol bagi yang bersangkutan dalam pergaulan sehari-hari. Karena
menjadi tidak mungkin seorang yang berbusana muslimah atau baju koko/kemeja
kerah sanghai, apalagi pakai kopiah, kemudian masuk ke panti pijat, karaoke,
atau musik live yang mempertontonka auratnya.
4)
Lingkungan kerja yang bersih dan islami
“Annazhafatu
minal iman (kebersihan adalah bagian dari iman).” Sebagian mengatakan bahwa
hadits ini dhaif. Saya mengutipnya karena isinya baik, bahwa bersih itu adalah
anjuran agama. Karena itu, ajaran agama mengajarkan agar setiap akan
menghadap-Nya kita senantiasa berwudhu supaya dalam keadaan suci.
Lingkungan
kerja yang bersih melambangkan orang-orang yang ada di lingkungan tersebut
adalah orang-orang yang hatinya bersih. Lingkungan yang bersih juga senantiasa
menghadirkan suasana hati yang bersih, bersahaja, dan memudahkan berfikir
cemerlang dan menjauhkan suasana hati yang kalut. Karena itulah, Allah
berfirman,
“dan
(ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. Jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.
Dan Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang itikaf, yang ruku’ dan yang sujud’.”
(al-Baqarah : 125)
“Allah tidak
akan menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maidah : 6)
Suasana
ruangan yang islami juga perlu menjadi corporate identity perusahaan
syariah. Misalnya, dengan gambar-gambar kaligrafi di dinding, warna cat yang
lebih dekat dengan warna-warna yang bernuansa islami. Di setiap kantor mesti
ada mushalla yang representatif, karena sunah Nabi. Jangankan kantor, membuat
rumah pun, kata Nabi, “Sebaik-baik rumah adalah yang di dalamnya ada
mushalla.”
5)
Do’a sebelum dan sesudah kerja
Biasakanlah
di awal dan akhir bekerja selalu disertai dengan do’a. Ketika jam kantor
dimuali jam 08.00 pagi, maka keseluruhan karyawan memulainya dengan berdo’a
bersama-sama. Begitu juga ketika akan kembali, diakhiri dengan do’a
bersama-sama. Rapat-rapat pun dimulai dengan do’a, minimal dimulai dengan
membaca basmallah atau ummul kitab (al-Fatihah) dan
diakhiri dengan do’a akhir majelis dan surah al-‘Ashr. Semua ini budaya kerja
islami yang diajrkan oleh Nabi.
Allah
berfirman dalam surah al-Mu’minun ayat 60, “waqaala rabbukum ud’unii astajiblakum
(berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu).” Umat Islam diminta
berdo’a kepada-Nya dalam semua masalah dan keadaan. Namun, keputusan apakah
do’a itu akan dikabulkan atau tidak, merupakan hak prerogatif Allah. Karena
itu, seorang pengusaha muslim dan karyawan yang bekerja di lembaga syariah
jangan pernah bosan berdo’a agar Allah mengabulkan permohonan. Tentu saja
dengan syarat permohonan itu merupakan hal yang baik.
Demikian
pentingnya do’a, hingga Rasulullah pernah menyampaikan pesan dalam hadits
riwayat Bukhari Muslim, “Addu’aau mukhkhul ‘ibadah (do’a merupakan otak
dari ibadah).” Dengan pemberitahuan Allah dan Rasulullah itu, umat Islam, termasuk
didalamnya pengusaha muslim, praktisi syariah, seharusnya memanfaatkan peluang
kemudahan yang diberikan itu agar diri, keluarga, usaha dan bisnisnya, berhasil
atas tuntunan dan ridha-Nya.
Kedua: Syahsyiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) untuk
Hablumminallah
1)
Aqidah
Seluruh
insan yang ada di lembaga syariah memiliki aqidah yang lurus, yaitu sesuai
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Semua aktivitasnyasenantiasa
berpegang pada manhaj yang benar. Langkah-langkahnya sambil menjalankan bisnis
islami harus senantiasa menuju kepada tauhidullah, tauhid sebagaimana yang
dipahamkan dalam dakwahnya generasi terdahulu (generasi salaf). Yaitu, (1)
beriman kepada sifat-sifat dan asma-asma Allah yang layak baginya tanpa
mengubah dan menakwil, (2) menunggalkan Allah dengan beribadah, (3) beriman
bahwa yang membuat undang-undang (syariat) bagi manusia untuk kehidupan di
dunia hanya hak Allah semata, (4) yakin dalam manhaj yang benar mengandung tiga
rukun tauhid yang tidak terpisahkan.
Praktisi
lembaga syariah harus menjadi kelompok yang “unik”, tetapi tidak eksklusif. Dia
tetap memelihara aqidahnya secara kokoh sekalipun dalam lingkungan yang sudah
rusak. Aqidahnya jauh dari syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat. Dia termasuk
kelompok yang disebut-sebut oleh Nabi sebagai kelompok al-ghuraba’ (kelompok
yang unik), menegakkan kebenaran ditengah-tengah kemungkaran. Ketika semua
lingkungan bisnis dipenuhi manipulasi, kebohongan, korupsi, kecurangan, dan
kezaliman, dia tetap tegar dengan pinsip-prinsip bisnis islamiyang jujur,
adil,dan transparan. Tuubaa lil ghuraba’ (berbahagialah kelompok yang
aneh/unik itu), kata Nabi.
Rasulullah
bersabda,
“Senantiasa
ada sekelompok (tha’ifah) di umatku yang membela al-haq (kebenaran) hingga
terjadi hari kiamat.” (Muttafaq alaih)
Hadits
ini telah memberikan ketetapan bahwa din (agama) ini akan terus
berlangsung dengan dimotori oleh sebuah kelompok, yaitu al-Firqah tun
Najiyah ‘golongan yang selamat’. Yaitu, sekelompok orang yang dikecualikan
oleh Rasulullah karena sikapnya yang tetap konsisten dengan prinsip-prinsip
ajarannya.
Dalam
hal aqidah, jalan yang paling selamat bagi kita adalah ittiba’ kepada
Rasulullah dengan cara mengikuti manhaj salafi, mengikuti bagaimana para
sahabat, dan tabi’tabiin menjalankan ajaran
Nabi. Rasulullah mengatakan,
“Sebaik-baik
kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian
yang datang sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2)
Ibadah
Sudah
sepatutnya jika para praktisi lembaga syariah adalah juga menjadi orang-orang
yang abid (ahli ibadah) sebagai wujud konkret dan komitmen bekerja di lembaga
syariah. Secara praktek sehari-hari ia senantiasa shalat tepat waktu,
senantiasa mendirikan shalat fardhu berjamaah. Bahkan, di lingkungan ia bekerja
maupun tinggal, ia selalu mendahulukan shalat fardhu berjamaah di masjid atau
mushalla. Lebih jauh lagi memelihara shalat-shalat sunnah terutama dalam
memelihara shalat tahajjud di malam hari. Dengan demikian, terciptalah positioning
bahwa bekerja dilembag syariah identik dengan kumpulan pribadi-pribadi yang
sangat taat dalam ibadah. Mulutnya senantiasa basah dengan zikir yang tak
pernah putus kepada Allah (dikala bekerja di kantor macet di jalan, dan di
rumah). Karena ibadah yang baik dan benar, maka terpancar di wajahnya pancaran
wajah yang bersinar ari hati yang bersih dan tulus, karena banyak beribadah dan
berzikir kepada Allah.
Semoga
shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW yang telah diberi pesan denagn firman
Allah,
“Aku
turunkan kepadamu peringatan (al-Qur’an) supaya kamu menjelaskan kepada manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl : 44)
Syaikh
Muhammad Nasiruddin al-Albani mengatakan, “Beliau (maksudnya Nabi) telah
menjalankan tugas ini dengan baik, dan shalatlah yang paling banyak beliau
terangkan secara teori dan praktek. Beliau bahkan pernah melakukan shalat di atas
mimbar. Di situlah beliau berdiri dan ruku’. Kemudian bersabda kepada para
sahabat,
“Ini aku
lakukan tidak lain adalah agar kamu beriman kepadaku dan mengetahui shalatku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah
barang tentu shalat yang kita maksudkan adalah shalat yang seperti kata Nabi, “Shallu
kama raaiytumuunii ushalli (shalatlah seperti kalian melihatku shalat).” Nabi
telah menggembirakan orang yang mengerjakan shalat seperti pelaksanaan shalat
beliau dengan jaminan masuk surga dari Allah. Beliau bersabda, “Shalat yang
diwajibkan Allah ada lima. Barang siapa yang berwudhu dengan baik, mengerjakan
shalat-shalat tepat waktunya, dan menyempurnakan ruku’, sujud, dan
kekhusukannya, maka Allah memberikan jaminan untuk mengampuni orang itu. Barang
siapa yang tidak melaksanakannya, maka Allah tidak akan menjaminnya. Jika
menghendaki, Dia mengampuninya; dan jika menghendaki, Dia menyiksanya.”
Al-Albani
menambahkan, “Beliau juga telah menggembirakan keluarga dan para sahabat
beliau yang takwa dan saleh. Mereka telah menyampaikan ibadah, shalat,
sabda-sabda, dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW kepada kita dan
menjadikannyasebagai pegangan dan teladan. Begitu juga orang-orang yang sejalan
dengan mereka sampai Hari Kemudian.”
3)
Akhlak
Sebaik-baiknya
manusia adalah yang akhlaknya baik, bekerja baik, sikap dan tindak tanduknya
juga baik. Praktisi ekonomi syariah mestinya memiliki akhlak yang baik
dibandingkan dengan karyawan yang bekerja ditempat lain. Pasalnya, dia harus
bisa memberi contoh kepada saudara-saudaranya yang lain yang bekerja di lembaga
yang tidak membawa brand islami. Dia harus mampu mendakwahkan bahwa bekerja di
lembaga dan institusi-institusi syariah akhlaknya haruslah lebih baik, lebih
terpelihara, karena dia ada dalama lingkungan yang terkondisi demikian.
Selain
itu, dia pun harus dapat bekerja dengan hasil yang optimal, karena bekerja yang
baik adalah bagian dari akhlak dan etika yang islami. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
Allah mencintai seorang diantara kamu yang melakukan suatu pekerjaan yang baik.”
Etika bekerja yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntutan Islam. Hal ini
telah dipraktekkan oleh umat Islam pada masa-masanya yang gemilang, ketika
Islam mapu mendominasi dunia kerja dan mempengaruhi hati manusia sekaligus.
Sehingga, seluruh aktivitas umat Islam tidak lepas dai nilai-nilai keimanan.
Rasulullah
pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab, “Jual-beli
(dengan akhlak) yang baik dan pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya
sendiri.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah
Zat yang baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang
baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang
diperintahkan kepada para utusan-Nya.” Kemudian Rasulullah mengatakan juga,
“Empat hal sekiranya ada pada diri anda, maka sesuatu yang tidak ada pada
diri anda (dari hal keduniaan) tidak membahayakan anda, yaitu menjaga amanah,
berbicara benar, berakhlak yang baik, dan iffah dalam makanan.”
4)
Pemahaman al-Qur’an
Al-qur’an,
adalah kitab Allah yang kekal dan bermukjizat yang diturunkan kepada hamba
sekaligus Rasul-Nya yang paripurna, yakni Muhammad SAW. Ia adalah kitab yang
oleh Allah direstui untuk dihafalkan tanpa diperkenankan mengubah, mengganti,
menambahi, atau menguranginya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (al-Hijr : 9)
Al-qur’an adalah kitab yang tersebar di antara kita di bumi belahan
timur maupun di belahan barat. Adalah kitab yang diterima oleh Rasul dari
Jibril, dan Jibril menerimanya dari Tuhan Yang Maha Mulia. Adalah kitab yang
disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya yang suci dan pengemban
agama yang tulus dan mulia. Adalah kitab yang dihimpun oleh Abu Bakar
ash-Shiddiq atas usul Umar ibnul Khaththab, disusun oleh Utsman bi Affan, dan
disepakati oleh segenap umat Islam.
Kitab ini merupakan undang-undang dasar kaum muslimin, syariat, dan
yang menuntun mereka ke jalan yang lurus. Di samping itu, ia adalah tali Allah
yang tidak gampang putus, petunjuk-Nya yang lenggeng, nasihat untuk mengabdi
kepada-Nya, tanda yang abadi akan kebenaran Rasul-Nya, dan jalan kemuliaan atau
kemenangan kaum muslimin di segala zaman.
Itulah al-Qur’an. Dengan hanya membacanya saja kita sudah mengabdi
kepada Allah. Namun, yang terbaik diantara kita adalah orang yang mau
mempelajari lalu mengajarkannya kepada orang lain. Nabi sendiri telah
mengabarkan bahwa sesungguhnya orang yang mau membaca satu huruf saja dari
al-Qur’an, maka dia telah memperoleh sepuluh kebajikan. Orang yang membacanya
dengan gagap sekalipun, maka dia peroleh dua pahala. Orang yang pintar membaca
al-Qur’an sekaligus juga hafal, maka pada hari Kiamat nanti akan dikatakan
kepadanya, “Bacalah sebaik mungkin seperti yang pernah kamu lakukan di
dunia. Sesungguhnya kedudukanmu pada ayat yang terakhir yang kamu baca.”
Dan, dia pun terus menaiki tangga-tangga surga dan baru berhenti pada
hafalannya yang terakhir. Itulah kedudukan agung yang hanya diberikan kepada
orang yang hafal al-Qur’an.
Karena itu, menjadi sangat mulia jika semua praktisi lembaga
syariah menjadikan al-Qur’an sebagai bacaan sehari-hari, sebagaimana ia
menjadikan koran menjadi bacaan setiap hari, tidak pernah tidak. Jika tidak
membaca koran dalam sehari, ia seolah-olah kehilangan informasi, maka tidak
membaca al-Qur’an dalam sehari hatinya menjadi kering. Mampu membaca al-Qur’an
dengan tartil, dan menghafal berpuluh-puluh ayat pendek dalam al-Qur’an menjadi
wajib bagi praktisi syariah. Pasalnya, mana mungkin ia bisa shalat apalagi
menjadi imam jika hanya menghafal surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. Dia
bukan hanya malu kepada Allah, kepada teman sekerja, tapi juga malu kepada anak
dan darah dagingnya sendiri yang masih kecil (play group dan TK) yang
sudah menghafal lebih banyak ayat dan
do’a-do’a, selain bacaan dalam shalat. Astaghfirullahul azim.
5)
Fikrah Islamiyah
Seorang
muslim juga harus memiliki wawasan keislaman (fikrah islamiyah) yang
benar dan luas, apalagi jika ia sebagai praktisi lembaga syariah. Jika tidak,
dia akan menjadi seorang praktisi yang saleh, akhlaknya baik, jujur, amanah,
dan adil dalam bisnis, tapi pikirannya kacau, aqidahnya rusak, wawasannya
kebarat-baratan, dan pendapat-pendapatnya banyak menyimpang dan tercemari oleh
pikiran-pikiran yang tidak islami, ia termakan oleh invasi pemikiran barat. Ia
terinvasi oleh ghazwul fikri (perang pemikiran).
Musuh-musuh
dari negara barat telah bersungguh-sungguh melancarkan invasi pemikiran
terhadap kaum muslimin, dengan tujuan untuk menghancurkan umat Islam dan
memadamkan cahaya Islam. Caranya, putra-putra Islam (yang terbaik) diasuh dan
dibesarkan oleh barat, sehingga menjadi kebarat-baratan. Bahkan, mereka lebih
memusuhi Islam dan kaum muslimin dibandingkan permusuhan barat. Putra-putra
Islam yang telah dibuai itu, akan rela mengikuti barat dalam hal pemikiran dan
prinsip hidup. Bahkan, setia berjalan di atas jalan yang dilalui barat, dengan
alasan untuk memajukan bangsa dan negara. “Ikutilah barat jika ingin maju!”
demikian kata mereka.
Tidak
mungkin seorang yang berakal menolak penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang datang dari barat. Bahkan, merupakan kewajiban untuk mengambil dan
mempelajari iptek yang telah mereka capai. Tapi sungguh berbeda, antara
mengambil hasil iptek dari barat, dengan mengikuti semua kebudayaan barat.
Berdasarkan sejarah masa lampau, terbukti bahwa Islam telah mengambil berbagai
ilmu pengetahuan dari Yunani, lalu mengembangkannya melalui daya cipta kaum
muslimin. Namun, kaum muslimin tidak mengambil sedikitpun kepercayaan Yunani
kuno, bahkan membuangnya jauh-jauh.
Di
zaman modern ini, senjata invasi pemikiran memiliki bentuk yang beraneka ragam,
dan semua mengarahkan moncongnya ke satu sasaran, yaitu Islam. Sasaran invasi
Islam adalah menghancurkan masyarakat Islam, mengganti norma Islam dengan
kebudayaan barat, dan menjauhkan kaum muslimin dari aqidah islamiyah. Allah
berfirman,
“Mereka
ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, an Allah tetap menyempurnakan caha-Nya meskipun orang-orang kafir benci.”
(ash-Shaff : 8)
Ketiga: Syahsyiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) untuk
Hablumminannas
1)
Keluarga yang islami (rukun dan bahagia)
Sesungguhnya
pernikahan di dalam pandangan dienul Islam adalah suatu ibadah dan usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan menikah, seorang muslim mendapatkan
balasan kebaikan dan pahala. Hal itu jika dia melakukan pernikahan dengan niat
yang ikhlas dan tujuan yang benar. Dia sengaja melakukan pernikahan dengan
tujuan menjaga diri dan jiwa dari hal-hal yang haram, bukan karena dorongan
nafsu hewani. Itulah tujuan dasar melakukan suatu pernikahan dalam Islam,
pahala dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kita
tidak menemukan sesuatu yang lebih tinggi dalam suatu pernikahan kecuali
merupakan ibadah dan takarub, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Rasulullah kepada kita dalam sabdanya, “Di alam kemaluan (menggauli istri)
kalian terdapat sedekah.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah! Apakah jika salah seorang diantara kami melampiaskan yahwatnya,
(maka) dia akan mendapat pahala?” Nabi SAW menjawab, “Apakah kalian
melihat apabila syahwat itu diletakkan pada suatu yang haram akan mendapat
dosa?” Mereka menjawab, “Iya.” Rasulullah bersabda, “Seperti
itulah apabila syahwat tersebut pada suatu yang halal, maka dia pun akan
mendapat pahala.”
Karena
itu, keluarga bahagia adalah obsesi semua keluarga. Mereka yang mngkhususkan
diri bekerja di institusi yang “berbau” syariah haruslah dapat menjadi contoh
tauladan bagi saudara-saudaranya yang berada di luar institusi syariah. Bahkan
sebaliknya, mereka yang membawa nama-nama syariah malah mempunyai keluarga yang
amburadul, nikah cerai, ingin mengamalkan poligami tapi ujung-ujungnya semua
berantakan. Poligami adalah anjuran Islam, tetapi persyaratan seorang pria
untuk boleh berpoligami bukan hanya kemampuan “menunggang kuda” alias syahwat.
Tetapi, kemampuan untuk berbuat adil adalah persyaratan utama untuk niat yang
agung itu. Poligami memang dianjurkan dalam Islam bagi yang sanggup berbuat
adil.
2)
Praktek muamalah seharo-hari
Konsekuensi
logis bekerja di lembaga syariah, berarti meninggalkan seluruh
transaksi-transaksi ribawi, maisir, dan gharar yang diharamkan
Allah SWT. Haram baginya masih menggunakan transaksi bank, asuransi, leasing,
penggadaian, obligasi, dan koperasi yang sitemnya masih ribawi dan
konvensional. Karena dia akan melanggar ayat Allah,
“Hai
orang-orang yangberiman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaff : 2-3)
Lembaga
keuangan Syariah (LKS) adalah alternatif untuk semua transaksi ribawi tadi.
Karena itu, kredit rumah, kredit mobil, koperasi, asuransi pendidikan
anak-anak, dan lain-lain tidak sepatutnya lagi bagi pribadi dan keluarga
praktisi syariah. Harus komitmen dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melakukan jual-beli dengan cara-cara yang batil.”
Juga firmannya,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah :
278)
3)
Bermasyarakat (tidak eksklusif)
Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk bermasyarakat dan tidak eksklusif. Allah
berfirman,
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, adakanlah perdamaian diantara
saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah ada satu pun kaum yang merendahkan kaum
lain, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari
mereka (yang merendahkan).” (al-Hujuraat : 10-12)
Allah
ta’ala telah menetapkan dalam permulaan ayat inibahwa orang mukmin pada
hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama
manusia. Maka, demi kelangungan persaudaraan ini harus ada saling mengenal, dan
jangan saling mengingkari. Bahkan, harus saling berhubungan dan jangan saling
memutuskan, saling merapat dan jangan saling berjauhan, saling mnyintai dan
jangan saling membenci, harus satu an jangan berselisih.
Dalam
hadits Nabi SAW dikatakan, “Janganlah kamu menghasut, jangan saling bertolak
belakang, dan jangan saling membenci, tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.”
Dari sinilah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku kasar kepada
kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan
menjauhi kawannya kecuali dalam batas tiga hari, sampai reda kemarahan kedua
belah pihak.
Demikianlah
ajaran Nabi agar kita senantiasa menjaga hubungan bermasyarakat tanpa
membedakan dia seorang muslim atau bukan. Kita tidak dilahirkan untuk bisa
berdiri sendiri, eksklusif, dan tanpa peduli pada lingkungan dimana kita
berada. Terlebih jika itu kepada saudara kita sendirisesama muslim, Allah
justru memerintahkan untuk, “Merendahkan diri terhadap orang-orang mukmin.”
4)
Memakmurkan masjid
Sebagai
aktivitas lembaga syariah, sedapat mungkin mendapat rumah atau membangun rumah
di dekat masjid. Alangkah indahnya jika disela-sela kesibukan bekerja, ketika
kembali ke rumah, dapat aktif dan memakmurkan masjid disamping rumah, atau
kompleks kita. Suasana hati yang ternodai oleh pergaulan yang sudah demikian
jauh dari kaidah-kaidah islami, dapat tercelup kembali ketika senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan selalu berada di rumah Allah.
Sidi
Gazalba mengatakan bahwa masjid adalah tempat diamana ajaran Islam diajarkan,
ditumbuhkan, dan dikemvbangkan, serta dipertahankan. Sebelum memasuki kehidupan
sehari-hari, yang sifatnya insidential, seorang muslim biasanya terlebih dahulu
ke masjid meminta rahmat Allah. Dari masjid, seorang muslim mengarah kepada
kehidupan itu dengan permohonan ganjaran dari Allah SWT. Abu Usaid
memberitakan, “Bersabda Rasulullah, ‘Apabila salah seorang dari kita masuk
masjid, hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah! Bukakanlah bagiku rahmat-Mu.’ Dan,
apabila ia keluar, hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah!Aku mohon kepada-Mu
ganjaran-Mu.’’”
Allah
SWT mengatakan bahwa hanya orang-orang berimanlah yang senantiasa hatinya ada
di masjid, ia senantiasa memakmurkan masjid. Allah berfirman, “Hanyalah yang
memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak
takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
5)
Menjauhi tempat-tempat maksiat
Di
dunia modern seperti sekarang ini, dimana-mana kita dengan mudahmenemui tempat
maksiat. Membentengi hati sendiri dan menutup jalan menuju ke arah sana adalah
satu-satunya cara untuk menghindari maksiat. Dunia bisnis, seperti asuransi dan
broker, biasanya diwarnai oleh negosiasi dan lobi yang berbau maksiat, terutama
dalam negosiasi bisnis-bisnis berskala
besar. Misalnya untuk mendapat suatu bisnis, sang calon nasabah minta main golf
di Bali kemudian minta disediakan kamar hotel berikut “isinya”. Hal seperti ini
sudah jamak dalam dunia bisnis. Namun demikian, tentu tidak semua orang bisnis
terlibat seperti ini, sangat tergantung pada pribadi dan kebijakan prusahaan
masing-masing.
Karena
itu, bisnis syariah harus senantiasa menjauhi pergaulan dan teknik-teknik
negosiasi bisnis yang mengarah kepada riswah dan perzinaan. Semua agama
samawi mengharamkan dan memberantas perzinaan. Terakhir ialah Islam yang dengan
keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. Karena
perzinaan ini dapat menguburkan masalah keturunan, menghancurkan rumah tangga,
dan merusak akhlak. Oleh karena itu, tepatlah firman Allah,
“Janganlah
kamu dekat-dekat pada perzinaan, karena sesungguhnya dia itu perbuatan yang
kotor dan cara yang sangat tidak baik.” (al-Israa : 32)
Islam,
sebagaimana kita maklumi, apabila mengharamkan sesuatu, maka ditutupnyalah
jalan-jalan yang akan membawa kepada perbuatan haram itu. Juga mengharamkan
cara apa saja serta seluruh pendahuluannya yang mungkin dapat membawa kepada
perbuatan haram itu. Justru itu pula, maka apa saja yang dapat membangkitkan
seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki maupun wanita, serta
mendorong orang untuk berbuatyang keji atau paling tidak mendekatkan perbuatan
keji itu, atau yang memberikan peluang untuk berbuat yang keji, maka Islam
melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan menjaga dari perbuatan
yang merusak.
6)
Sederhana dan tidak bermewah-mewah
Hidup
sederhana, hemat, dan tidak bermewah-mewah sebagaimana yang dianjurkan oleh
Rasulullah adalah paling indah seandainya kita dapat memahami hikmah dibalik
itu; Akan tetapi sebaliknya, hal ini akan menjadi siksaan jika kita tidak mampu
menangkap hikamh dibaliknya, apalagi jika kebetulan diamanahi oleh Allah SWT
harta yang melimpah. Allah berfirman, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah asngat ingkar kepada Tuhannya.”
Sedangkan pada ayat lain Allah SWT mengingatkan,
“Jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri ini (untuk menaati Allah), tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu. Sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
(al-Israa : 16)
Pengusaha
muslim dalam melaksanakan kegiatan usaha juga harus senantiasa berhemat. Dia
harus mampu mengurangi pengeluaran yang tidak diperlukan. Karena pengurangan
pengeluaran itu berarti pula meningkatkan keuntungan. Akan tetapi, berhemat
disini tidak dimaksudkan sebagai kikir atau pelit. Karena kikir artinya tidak mau
mengeluarkan biaya meskipun sesuatu itu dibutuhkan. Sedangkan, berhemat berarti
mengeluarkan biaya pada sesuatu yang memang diperlukan.
Penghematan
harta benda menurut garis-garis ketentuan Islam dinyatakan dalam al-Qur’an,
“Dan mereka
itu apabila membelanjakan hartanya, tidak melampaui batas dan tidak pula kikir,
tetapi mengambil jalan tengah diantara keduanya.” (al-Furqaan : 67)
Dengan
demikian, pengambilan jalan tengah antara boros dan kikir adalah sifat yang
terpuji, akhlaqul mahmudah. Itulah yang dimaksud dengan penghematan,
karena membelanjakan harta benda sebaik-baiknya dengan cara wajar dan pantas.
Dalam konteks ini, al-Qur’an juga memerintahkan akibat yang bakal diderita oleh
orang yang boros dan kikir,
“Adapun
orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup serta mendustakan kebaikan,
maka Kami (Allah) akan mengantarkan kepada jalan yang sulit.” (al-Lail :
8-10)
Lalu Allah
mengatakan,
“Dan
janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk (bakhil) dan jangnlah
pula engkau kembangkan seluas-luasnya (boros), agar engkau jangan sampai duduk
tercela dan sengsara.” (al-Israa : 29)
7)
Tidak banyak utang
Sebuah do’a
yang mahsyur, diambil dari hadits Nabi, “Ya Allah, kami berlindungkan
kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, kami berlindung kepada-Mu dari
kelemahan dan kemalasan, kami berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan
bakhil, serta kami berlindung kepada-Mu dari tekanan utang yang melilit dan
kesewenang-wenangan orang-orang zalim.”
Ajaran
Nabi SAW menyatakan bahwa kita sebaiknya tidak mempunyai utang yang banyak.
Bahkan, salah satu dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah sekalipun dia
seorang yang mati syahid adalah utang. Karena itu, seorang muslim yang baik
harus dapat mengkalkulasi antara penghasilan dan pengeluaran dalam keluarganya.
Bahkan, Rasulullah pernah mengatakan bahwa orang yang banyak utang, cenderung
untuk sering berbohong dan mengingkari janji. Karena itu, merupakan sikap yang
ahsan jika kita menghindari utang, apalagi jika utang tersebut menggunakan
skim-skim ribawi.
Sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau
dulu berdo’a dalam shalat, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu ari fitnah
al-Masih al-Dajjal, dan berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan
kematian. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Aisyah
mengatakan bahwa lalu seorang pembicara berkata, “Alangkah banyak apa yang
kau minta berlindung dari utang wahai Rasulullah!” Maka, beliau menjawab, “Sesungguhnya,
seseorang jika ia mengutang, maka ia bicaranya bohong dan janjinya diingkari.”
8)
Gemar menolong
Allah
berfirman,
“Tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangnlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Ma’idah : 2)
Gemar
menolong adalah termasuk sifat seorang muslim yang takwa. Kita tidak dapat
hidup sendiri tan peduli terhadap lingkungan. Dan sebaliknya, kita pun tidak
akan pernah lepas dari campur tangan dan pertolongan orang lain, apapun
bentuknya. Karena itu, berjiwa menolong merupakan perintah Allah SWT dalam
banya ayat dalam al-Qur’an.
Beberapa
hadits mengatakan bahwa seorang muslim tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesalehan apabila dapat tidur nyenyak dengan perut yang kenyang sementara
tetangganya hidup dalam derita kemiskinan. Inilah realitas yang sering kita
temui dalam kehidupan sehari-hari. Seorang praktisi syariah sudah sepatutnya
jika memiliki sance of crisis
terhadap saudara-saudaranya yang masih bergelimang dengan kemiskinan.
Karena itu, sebaliknya sasaran pembiayaan dari lembaga-lembaga syariah adalah
justru diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat miskin, kaum mustd’afin,
dan kepada pengusaha kecil. Bukan justru kepada pengusaha-pengusaha besar yang
hidupnya sudah bergelimang dengan kemewahan dan (mungkin) kemaksiatan. Dengan
demikian, lembaga syariah akan mendapat berkah dan pertolongan dari Allah.
Perlu
menjadi keyakinan bagi setiap muslim bahwa pada hakikatnya pertolongan itu
sebenarnya berasal dari Allah SWT, manusia hanyalah sebagai wasilah. Perhatikan
firman Allah,
“Dan tidak
ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah. Dan sekali-kali
ia tidak akan dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah
Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pembalasan.” (al-Kahfi : 43-44)
Karena
hakikat pertolongan itu adalah datangnya dari Allah, maka selanjutnya kita
diperintahkan untuk bertasbih kepada-Nya.
“Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuju Tuhanmu
dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah penerima tobat.”
(an-Nashr : 1-3)
9)
Tidak sombong dan angkuh
Allah
berfirman,
“Perkataan
yang baik dan memberikan maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha
Penyantun.” (al-Baqarah : 263)
Firman
Allah itu merupakan petunjuk dalam hidup, agar setiap insan muslim bersikap
ramah kepada siapa pun. Karena ayat merupakan petunjuk dalam hidup. Tentu
banyak kisah-kisah menarik dalam bisnis yang dapat berakibat baik atau buruk
karena masalah keramahan. Hadits Nabi Muhammad SAW tentang masalah itu juga
menjelaskan,
“Senyummu
kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Muttafaq alaih)
Bila
kepada saudara seiman umat Islam diminta Rasul untuk tersenyum atau bersikap
ramah yang juga mendapat pahala, apalagi bagi seorang pedagang atau pengusaha
muslim. Persoalan keramahan itu bukan sekadar untuk mendapat pahala, tetapi
secara langsung berkaitan dengan kegiatan usahanya. Karena keramahan pengusaha
atau pedagang merupakan salah satu daya tarik bagi konsumen atau nasabah.
Cobalah
bandingkan sikap ramah masyarakat Bali dalam semua lapisan, dari pelayan hotel,
petugas pantai, supir taksi, petugas bandar sampai penjaga toko. Mereka memang
sudah terbiasa menerima tamu (turis lokal maupun mancanegara) dengan sikap yang
ramah dan sangat melayani. Kita rasakan hal yang berbeda ketika datang ke
Makassar atau Medan. Suasana kasar dan terkesan cuek sangat terasa, walaupun
setelah kenal lebih dekat, mereka bisa lebih ramah dan lebih kekeluargaan dari
masyarakat Bali. Prinsip sombong dan angkuh bukan sifat-sifat islami, karena itu
harus ditinggalkan.
10)
Senantiasa menjaga hati
Anda
ingat lagu yang cukup populer, yang syairnya dibuat Aa’ Agym (KH. Abdullah Gymnastiar)
yang dinyanyikan oleh group vokal Snada? “Jagalah hati jangan kau nodai,
jagalah hati cahaya ilahi ...dst.” seorang muslim yang baik, apalagi yang
bekerja di lembaga syariah, harus senantiasa memelihara hati – tidak boleh iri,
tidak dengki. Juga harus memelihara lidah dari ghibah, apalagi
menceritakan aib saudara sendir, teman sekerja, tetangga, dan atau lembaga
syariah lain dengan maksud untuk merebut prospek yang bersangkutan supaya join
dengan perusahaan kita.
Dalam
al-Qur’an dikatakan, “Laa talmizu anfusakum (jangan kau mencela
diri-diri kamu).” Ini tidak hanya berati satu sama lain saling mencela.
Tetapi, al-Qur’an menuturkan dengan jama’atul mu’minin, yang seolah-oleh
mereka itu satu tubuh. Sebab, mereka itu secara keseluruhannya saling membantu
dan tolong menolong. Jadi, barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan
mencela dirinya sendiri.
Islam
menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan
rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan
bersangka-sangka. Untuk itu, maka datanglah ayat al-Qur’an membawakan sikap
yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka, berfirmanlah
Allah, “hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena
sesungguhnya sebagian sangkaan itu dosa.” Sangkaan yang berdosa itu
sangkaan yang buruk.
Oleh
karena itu, tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya,
tanpa suatu alasan dan bukti. Sebab, manusia secara umum pada asalnya bersih.
Oleh karena itu, prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena
kebersihan ini, apalagi justru untuk menuduh. Rasulullah bersabda,
“Hati-hatilah
kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta
omongan.” (HR. Bukhari)
Manusia
karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan
tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada
hubungan yang bai. Oleh karena itu, sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak
menerima tuduhan itu dan tidak berjalan mengikuti suara nafsu tersebut. Inilah
makna hadits Nabi yang mengatakan,
“kalau kamu
akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan.” (HR. Ath-Thabrani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar