Laman

10 Desember, 2016

Corporate Culture Lembaga Keuangan Syariah

Corporate Culture Lembaga Keuangan Syariah

1.             Pengertian Corporate Culture
Kreitner dan Kinicki mendefinisikan corporate culture sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota emalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolis, dan cita-cita sosial yang ingin dicapai. Sementara itu, Mondy dalam Human Resource Management, memperjelas dengan mengartikan corporate culture sebagai sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma prilaku. Dapat juga diartikan bahwa corporate culture merupakan sebuah sistem informasi untuk mempertahankan dan mentransmisikan pengetahuan, kepercayaan, mitos-mitos dan tingkah laku.
Hal penting yang perlu diketahui dalam memahami corporate culture menurut Robin, adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh orang dalam organisasi. Selain dipahami, seluruh jajaran menyakini sistem nilai-nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi. Kemudian pakar lain Schein E.H. lebih lanjut mengatakan bahwa corporate culture sebagai suatu pola asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh kelompok ketika memecahkan masalah penyesuain eksternal dan integrasi internal. Pola yang berhasil dan dianggap sah cenderung akan diajarkan kepada anggota (karyawan) baru sebagai cara yang tepat untuk menerima, berpikir, dan merasa berhubungan dengan masalah tersebut.
Selain pengertian corporate culture yang disebutkan diatas, terdapat pemahaman lain yang berorientasi kepada pola bahwa pengertian corporate culture adalah pola yang terdiri atas kepercayaan dan nilai-nilai yang memberi arti bagi anggota suatu organisasi, serta aturan-aturan bagi anggota untuk berperilaku di organisasinya. Setiap organisasi memiliki makna sendiri-sendiri terhadap kata corporate ‘budaya’ itu sendiri, antara lain identitas, ideologi, etos, budaya, pola, eksistensi, aturan pusat kepentingan, filosofi, tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara.
Dalam hubungan dengan segi sosial, corporate berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Sehingga, pada akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Dari sudut pandang fungsi, corporate culture mempunyai beberapa fungsi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda (different). Hal ini berarti bahwa corporate culture menciptakan pembedaan yang jelas antarasatu organisasi dengan yang lainnya. Misalnya, antara perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan asuransi dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah. Kedua, corporate culture membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasinya, misalnya merasa lebih islami perilakunya. Ketiga, corporate culture mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada suatu yang lebih luas aripada kepentingan diri individual, misalnya dalam organisasi Islam  lebih mendahulukan kepentingan jam’i ‘jamaah’ daripada kepentingan pribadi. Keempat, corporate culture itu dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial, misalnya merasa lebih selamat dan lebih percaya diri bekerja di lembaga syariah.

2.             Membangun Corporate Culture yang Islami
a.             Membentuk Corporate Culture
Culture yang kuat akan mampu meletakkan kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, dan cara melakukan sesuatu, tanpa perlu dipertanyakan lagi. Karena berakhir dalam tradisi, maka culture mencerminkan apa yang dilakukan, dan bukan apa yang akan berlaku.
Dengan demikian, kata Djokosantoso Moeljono, fungsi corporate culture adalah sebagai perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai tujuan organisasiberupa ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Haltersebut dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku para karyawan.
Corporate culture dalam suatu perusahaan harus dibentuk. Admosoeprapto mengatakan bahwa suatu perusahaan tidak akan muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Beberapa unsur corporate culture yang terbentuk banyak ditentukan oleh beberapa hal.
i.                   Lingkungan usaha. Lingkungan di tempat perusahaan itu beroperasiakan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan.
ii.                   Nilai-nilai merupakan konsep dasardan keyakinan suatu organisasi. Misalnya: (1) panutan atau keteladanan; yaitu orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya keberhasilan, (2) upacara-upacara (rites and ritual); yaitu acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya, (3) network; yaitu jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai corporate culture.
Dalam uapaya pembentukan apa yang disebut corporate culture, selalu dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan sosialisasi. Yaitu, proses yang mengadaptasi para karyawan kepada corporate culture yang dharapkan.
Sedangkan menurut Yong, dalam proses pengembangannya, corporate culture dipengaruhi oleh faktor-faktor kebijakan perusahaan (corporate wisdom), gaya perusahaan (corporate style), dan jati diri perusahaan (corporate identity).
Dalam suatu perusahaan yang berhasil, corporate culture akan membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, maka perlu tetap dipelihara keberadaannya. Komitmen seluruh karyawan yang dimulai dari pemimpin puncak hingga karyawan lapis terbawah merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya corporate culture. Komitmen tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tetapi juga secara mental. Dengan demikian, terjalin suatu lingkungan kerja dengan ukhuwah yang sangat tinggi, komunikasi karyawan satu dengan yang lainnya berjalan dengan baik, hubungan satu bagian dengan bagian lain baik, dengan sistem dan prosedur yang standar dan terukur. Juga dengan tim kerja yang sangat solid, kompak dan care ‘saling peduli’ satu sama lain.
Corporate culture yang islami, akan sampai pada suatu tingkat, dimana hubungan karyawan dengan pimpinan, dan karyawan yang satu terhadap karyawan yang lain, tidak peduli apa jabatannya, seperti digambarkan dalam hadits Nabi.
“Perumpamaan orang yang beriman dalam sayang menyayangi dan kasih-mengasihi adalah ibarat satu tubuh yang mengalami rasa sakit, maka anggota tubuh yang lain akan siap untuk begadang dan merasakan panas.” (HR. Muslim)
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah ibarat bangunan, masing-masing bagian saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, corporate culture seperti ini mirip dengan yang digambarkan Syaikh Ahmad ash-Shalih, dalam kitabnya at-Takaful al-Ijtima’i fii asy-Syariah al-Islamiyah. Ia mengatakan, dalam praktiknyan para sahabat telah memberikan contoh yang indah tentang takaful ijtima’i ‘budaya sosial kemasyarakatan’. Yaitu, tatkala kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Maka, orang-orang Anshar saling berlomba dalam memberikan penghormatan kepada kaum Muhajirin. Ada seseorang Anshar yang berkata kepada seorang Muhajirin, “Pilihlah diantara harta kekayaanku yang kamu sukai, saya akan memberikannya kepadamu. Dan, pilihlah diantara istriku yang kamu suka, saya akan menceraikannya dan nikahilah.
Alangkah indahnya gambaran ini. Dan, marilah kita lihat betapa indahnya jawaban orang Muhajirin tersebut. “Mudah-mudahan Allah memberkati harta dan istrimu. Tunjukkan kepadaku pasar.”
Ini adalah sebuah gambaran dari sebuah budaya masyarakat yang menjadikan kecintaan Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin sebagai landasan prilaku mereka. Corporate culture yang islami mestinya dapat diwujudkan dalam suatu perusahaan yang bernuansa islami, yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Asuransi Takaful, dan pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya.
Contoh lain, dapat kita lihat dalam tarikh Islam, diriwayatkan bahwa orang-orang yang terluka pada Perang Yarmuk menolak air uang disodorkan kepada mereka meski mereka dalam keadaan haus. Masing-masing menyodorkan air tersebut kepada temannya yang terluka meski ia sendiri sangat membutuhkan, karena ia yakin bahwa saudaranya itu lebih membutuhkannya. Akhirnya, semuanya meninggal demi untuk menyelamatkan nyawa temannya. Allahu Akbar; ini pristiwa lain yang dapat kita jadikan ibrah untuk membangun corporate culture dalam perusahaan yang islami.
Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa; dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Ma’idah : 2)
Kita diingatkan kembali ungkapan Devis dalam buku Managing Corporate Culture-nya di depan, bahwa corporate culture adalah “pola yang terdiri atas kepercayaan, dan nilai-nilai (religius) yang memberi arti bagi anggota suatu organisasi, serta aturan-aturan bagi anggota untuk berprilaku di organisasinya.”
Sayang sekali dalam masa globalisasi ini, banyak perusahaan yang lebih senang mengadopsi budaya-budaya asing karena culture itu diyakini begitu maju dan berkembang. Budaya asing memang tidak selamanya negatif dan tidak selamanya pula positif. Culture asing boleh diadopsi dengan catatan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Budaya penghargaan atas waktu dan ketepatan dalam memenuhi janji, selalu dianggap sebagai budaya barat, padahal itu adalah bagian dari ajaran Islam, misalnya dalam al-Qur’an surah al-Ashr (Masa-Waktu) ayat 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihari supaya menepati kesabaran.”
Contoh lain, ketika kita harus menepati janji sebagai ciri profesionalisme yang dapat dicontoh dalam perusahaan-perusahaan asing. Sesungguhnya corporate culture seperti ini adalah budaya kerja islami yang dapat kita temukan misalnya dalam surahal-Mu’minun ayat 1 sampai 11. Dalam perusahaan kita dituntut untuk menjadikan produktivitas sebagai budaya kerja; produktif dalam berbicara maupun dalam bekerja. Allah menyebutnya sebagai “orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” Budaya menjaga amanah dan komitmen dengan janji merupakan business ethic yang islami, “orang-orang menjaga amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.”
Berikut ini dikutip salah satu contoh corporate wisdom (kebijakan perusahaan) dalam rangka membangaun corporate culture yang islami di suatu perusahaan syariah. Yaitu, Keputusan Dewan Pengawas Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum tentang Kepribadian Insan Asuransi Takaful Sebagai Bagian yang Tidak Terpisahkan dari Budaya Perusahaan Takaful, sebagai berikut.
Pertama
Insan Asuransi Takaful ialah seluruh direksi dan karyawan PT Asuransi Takaful Keluargan dan PT Asuransi Takaful Umum, baik organik maupun non-organik.
Kedua
Menetapkan Kepribadian Insan Asuransi Takaful sebagai berikut.
Aqidah:
1)             Memilikin aqidah yang lurus, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
2)             Memiliki aqidah yang jauh dari syirik, takhayul, dan bid’ah, dan khufarat.
3)             Memahami prinsip-prinsip operasional asuransi Takaful.
4)             Senantiasa bersikap amanah dan jujur dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlak:
1)             Senantiasa berusahan menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
2)             Sama sekali tidak merokok dalam kehidupan sehari-hari.
3)             Memiliki keluarga yang patut dicontoh oleh lingkungan, terutama:
a)             Istri-istri dan anak-anak wanita yang telah baliq dari sel;uruh insan Takaful, senantiasa memakai jilbab sesuai dengan aturan syariah Islamiyah.
b)             Tidak ada keluarga (suami/istri dan anak-anak) karyawan mulai tingkat Kepala Bagian dan/atau Manajer ke atas dan direksi yang bekerja pada/untuk lembaga keuangan konvensional.
Al-Qur’an:
1)             Mampu membaca al-Qur’an dengan tartil.
2)             Untuk tingkat Kepala Divisi dan/atau Senior Manajer harus hafal minimal 20 (dua puluh) surah terakhir dalam al-Qur’an selain al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas (yaitu surah al-Lail s/d al-Masaad).
3)             Untuk tingkat Kepala Bagian dan atau Manajer harus hafal minimal 15 (lima belas) surah terakhir dalam al-Qur’an selai al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas (yaitu surah al-Qadr s/d al-Masaad).
4)             Untuk tingkat Kepala Seksi dan/atau Junior Manajer harus hafal minimal 10 (sepuluh) surah terakhir dalam al-Qur’an selain al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas (yaiti surah al-Takatsur s/d al-Masaad).
Shalat:
1)             Karyawan mulai tingkat Kepala Bagian dan/atau Manajer ke atas harus mengetahui arti setiap kalimat dari seluruh bacaan shalat fardhu.
2)             Senantiasa berupaya mendirikan shalat fardhu berjamaah pada waktunya.
3)             Gemar mendirikan shalat fardhu berjamaah di Masjid/Mushalla lingkungan tempat tinggal yang bersangkutan.
Muamalah:
1)             Senantiasa bersikap amanah dan jujur dalam bermuamalah.
2)             Memiliki loyalitas yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Takaful sebagai lembaga keuangan syariah.
3)             Gemar berinfak dan sedekah, yang merupakan kaffarat dari kesalahan dan kekhilafan yang terjadi dalam bekerja serta untuk keberkahan harta yang dimiliki.
4)             Menutup semua account atas nama pribadi dan/atau keluarga (suami/istri dan anak-anak) pada lembaga keuangan konvensional yang bertujuan untuk penyimpanan (saving) dan investasi.
5)             Customer diciptakan Allah sebagai perantara untuk beramal saleh, sehingga memberikan pelayanan terbaik kepada mereka merupaka ibadah kepada Allah.
Ketiga
Untuk mewujudkan Kepribadian Insan Asuransi Takaful di atas, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1)             Manajemen PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum perlu mengadakan suatu program pembianaan bagi karyawannya dengan tujuan terwujudnya Kepribadian Insan Takaful tersebut.
2)             Manajemen PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum  berkesempatan untuk mensosialisasikan dan menerapkannya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya Keputusan ini.
3)             Materi-materi yang terkandung dalam Kepribadian Insan Takaful di atas merupakan  suatu indikator  dalam kriteria Penilaian Kinerja (Performance Appraisal) secara berkala.
Setiap perusahaan yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah harus berusaha untuk membangun corporate culture yang islami. Karena perusahaan syariah tanpa corporate culture yang islami, maka ia sesungguhnya bukan perusahaan syariah. Tetapi, perusahaan bisnis biasa yang pada bagian-bagian tertentu dalam bisnisnya menggunakan prinsip-prinsip Islam, tetapi tidak utuh, tidak kaffah. Ia hanya perusahaan yang mencari untung dengan menggunakan prinsip syariah semata-mata karena pertimbangan market saja.
Contoh pada asuransi takaful diatas bukanlah corporate culture yang ideal. Ia hanyalah salah satu bentuk ikhtiar dari manajemen untuk menciptakan corporate culture yang islami.

b.             Corporate Culture yang Islami
Ujang Sumarwan mengartikan culture ‘budaya’ sebagai segala nilai, pemikiran, serta simbol yang memperngaruhi perilaku, sikap, kepercayaan, serta kebiasaan seorang dan masyarakat. Jadi culture yang islami menurut definisi ini adalah segala nilai, pemikiran, serta simbol yang mempengaruhi perilaku, sikap, kepercayaan, serta kebiasaan seseorang dan masyarakat yang sesuai sengan nilai-nilai ajaran Islam. Jika kita perkecil dalam lingkup perusahaan, corporate culture yang islami adalah kepercayaan dengan nilai-nilai islami yang mewarnai seluruh pola, perilaku, sikap, dan aturan-aturan dalam suatu perusahaan.
Salah satu contoh yang dapat kita kemukakan di sini adalah budaya tepat waktu. Rasulullah menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah memberi contoh sebagaimana menyikapi ketepatan waktu, kemudian diikuti oleh sahabat beliau. Akhirnya, para sahabat menyadari dan kemudian terbiasa untuk menghargai waktu. Dan, jadilaj ia sebagai perilaku dan sikap para sahabat.
Rasulullah bersabda:
”Siapkan lima sebelum (datangnya) lima. Masa hidupmu sebelum datang waktu matimu, masa sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR. Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Ibnu Umar berkata:
“jika engkau pada waktu sore, maka janganlah engkau menunggu datangnya waktu pagi. Dan, jika engkau pada waktu pagi, maka janganlah engkau menunggu datangnya waktu sore. Pergunakanlah (beramallah) pada waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, dan pergunakanlah (beramallah) pada waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu.” (HR. Bukhari)
Dalam rangka untuk membangun dan menciptakan corporate culture yang islami di Lembaga Keuangan Syariah (LKS),berikut ini hal-hal yang sudah selayaknya menjadi jati diri perusahaan (corporate identity) dan melekat dalam kepribadian setiap karyawan terutama bagi perusahaan-perusahaan yang operasionalnya dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Pertama: Dalama Lingkungan Kerja (Kantor)
1)             Budaya Salam
Membudayakan salam adalah ajaran Nabi SAW. Perusahaan wajib membudayakan ini. Rasulullah dalam salah satu haditsnya tentang huququl muslim mengatakan, “Idza laqitahu fassalim ‘alaihi (jika kalian berjumpa dengan saudaramu sesama muslim, maka ucapkanlah salam kepadanya).” Bahkan, Allah menegaskan dalam firmannya pada surah an-Nisaa ayat 86, “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).
Ketika seorang karyawan mendapatkan salam “assalamu ‘alaikum”, maka jawablah “wa ‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh”, atau paling tidak dengan “wa ‘alaikum salam”. Telepon masuk maupun keluar, baik elektronok (otometik) maupun menerima atau menelepon keluar mesti diawali dengan ucapan salam. Salam menjadi corporate identity ‘jati diri perusahaan’.

2)             Murah hati/sikap ramah dan melayani
Orang yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan, dan bersahabat saat melakukan dealing dengan mitra bisnis. Rasulullah mengkategorikan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah orang yang mudah bersahabat dengan orang lain dan orang lain mudah bersahabat dengannya. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memerintahkan kaum muslimin untuk bermurah hati, misalnya surah Ali Imran ayat 159, “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keraslagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” Lalu Rasulullah mengatakan “semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati/sopan pada saat dia menjual, membeli, atau saat menuntut haknya.”
Sikap melayani adalah salah satu prinsip bisnis Islami. Rasulullah mengatakan, “Saidul kaum khadimuhum (pengurus/pengusaha itu adalah pelayan bagi customer-nya).” Karena itu, sikap murah hati, ramah, dan sikap melayani mestilah menjadi bagian mestilah menjadi bagian dari kepribadian semua karyawan yang bekerja di bawah prinsip-prinsip syariah.

3)             Cara berbusana
Busana adalah karunia yang agung, yang dapat dipergunakan untuk menutup anggota-anggota tertentu dari bagian tubuh manusia, sekaligus melindunginya dari pencemaran udara yang membahayakan. Di samping itu juga berfungsi sebagai perhiasan dan kecantikan. Allah berfirman, “hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Allah menegaskan kepada hamba-hamba-Nya akan busana yang mudah bagi mereka berupa busana fisik yang prinsipil yang dijadikan sebagai penutup aurat. Busana secara fisik itulah yang merupakan hiasan dan keindahan. Merekan dapat tampil anggun dan islami dengan busana tersebut dalam aktivitasnya sehari-hari sebagai karyawan. Ia menampakkan dirinya sebagi orang berakhlak karena tidak mudah mempertontonkan dirinya secara murahan.
Perusahaan yang islami adalah perusahaan yang menata secara rapi busana karyawan dan karyawatinya. Muslimah mengenakan busana sebagaimana disyariatkan oleh syariah, misalnya: (1) busana harus menyelubungi seluruh badan, (2) busana tidak boleh ketat yang dapat membentuk tubuhnya, (3) busana wanita tidak boleh menyerupai busana laki-laki, (4) tidak boleh menyerupai busana wanita-wanita kafir. Sedangkan, yang pria menggunakan busana yang mencirikan nuansa islami misalnya baju dengan kerah sanghai atau mirip baju koko. Bagi eksekutif atau setingkat direksi, mungkin lebih baik menggunakan baju kerah sanghai dengan jas dibandingkan pakai dasi plus jas, yang lebih terkesan ber-tasyabbuh (sikap meniru orang kafir), karena Rasulullah pernah bersabda,
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada pokoknya, busana karyawan yang bekerja di Lembaga Keuangan Syariah haruslah menampakkan nuansa syariah. Sehingga, dengan melihat selintas, orang dapat menebak kalau dia bekerja di Lembaga Syariah. Hal ini juga secara otomatis menjadi kontrol bagi yang bersangkutan dalam pergaulan sehari-hari. Karena menjadi tidak mungkin seorang yang berbusana muslimah atau baju koko/kemeja kerah sanghai, apalagi pakai kopiah, kemudian masuk ke panti pijat, karaoke, atau musik live yang mempertontonka auratnya.

4)             Lingkungan kerja yang bersih dan islami
Annazhafatu minal iman (kebersihan adalah bagian dari iman).” Sebagian mengatakan bahwa hadits ini dhaif. Saya mengutipnya karena isinya baik, bahwa bersih itu adalah anjuran agama. Karena itu, ajaran agama mengajarkan agar setiap akan menghadap-Nya kita senantiasa berwudhu supaya dalam keadaan suci.
Lingkungan kerja yang bersih melambangkan orang-orang yang ada di lingkungan tersebut adalah orang-orang yang hatinya bersih. Lingkungan yang bersih juga senantiasa menghadirkan suasana hati yang bersih, bersahaja, dan memudahkan berfikir cemerlang dan menjauhkan suasana hati yang kalut. Karena itulah, Allah berfirman,
dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang itikaf, yang ruku’ dan yang sujud’.” (al-Baqarah : 125)
Allah tidak akan menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maidah : 6)
Suasana ruangan yang islami juga perlu menjadi corporate identity perusahaan syariah. Misalnya, dengan gambar-gambar kaligrafi di dinding, warna cat yang lebih dekat dengan warna-warna yang bernuansa islami. Di setiap kantor mesti ada mushalla yang representatif, karena sunah Nabi. Jangankan kantor, membuat rumah pun, kata Nabi, “Sebaik-baik rumah adalah yang di dalamnya ada mushalla.”

5)             Do’a sebelum dan sesudah kerja
Biasakanlah di awal dan akhir bekerja selalu disertai dengan do’a. Ketika jam kantor dimuali jam 08.00 pagi, maka keseluruhan karyawan memulainya dengan berdo’a bersama-sama. Begitu juga ketika akan kembali, diakhiri dengan do’a bersama-sama. Rapat-rapat pun dimulai dengan do’a, minimal dimulai dengan membaca basmallah atau ummul kitab (al-Fatihah) dan diakhiri dengan do’a akhir majelis dan surah al-‘Ashr. Semua ini budaya kerja islami yang diajrkan oleh Nabi.
Allah berfirman dalam surah al-Mu’minun ayat 60, “waqaala rabbukum ud’unii astajiblakum (berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu).” Umat Islam diminta berdo’a kepada-Nya dalam semua masalah dan keadaan. Namun, keputusan apakah do’a itu akan dikabulkan atau tidak, merupakan hak prerogatif Allah. Karena itu, seorang pengusaha muslim dan karyawan yang bekerja di lembaga syariah jangan pernah bosan berdo’a agar Allah mengabulkan permohonan. Tentu saja dengan syarat permohonan itu merupakan hal yang baik.
Demikian pentingnya do’a, hingga Rasulullah pernah menyampaikan pesan dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, “Addu’aau mukhkhul ‘ibadah (do’a merupakan otak dari ibadah).” Dengan pemberitahuan Allah dan Rasulullah itu, umat Islam, termasuk didalamnya pengusaha muslim, praktisi syariah, seharusnya memanfaatkan peluang kemudahan yang diberikan itu agar diri, keluarga, usaha dan bisnisnya, berhasil atas tuntunan dan ridha-Nya.
Kedua: Syahsyiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) untuk Hablumminallah
1)             Aqidah
Seluruh insan yang ada di lembaga syariah memiliki aqidah yang lurus, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Semua aktivitasnyasenantiasa berpegang pada manhaj yang benar. Langkah-langkahnya sambil menjalankan bisnis islami harus senantiasa menuju kepada tauhidullah, tauhid sebagaimana yang dipahamkan dalam dakwahnya generasi terdahulu (generasi salaf). Yaitu, (1) beriman kepada sifat-sifat dan asma-asma Allah yang layak baginya tanpa mengubah dan menakwil, (2) menunggalkan Allah dengan beribadah, (3) beriman bahwa yang membuat undang-undang (syariat) bagi manusia untuk kehidupan di dunia hanya hak Allah semata, (4) yakin dalam manhaj yang benar mengandung tiga rukun tauhid yang tidak terpisahkan.
Praktisi lembaga syariah harus menjadi kelompok yang “unik”, tetapi tidak eksklusif. Dia tetap memelihara aqidahnya secara kokoh sekalipun dalam lingkungan yang sudah rusak. Aqidahnya jauh dari syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat. Dia termasuk kelompok yang disebut-sebut oleh Nabi sebagai kelompok al-ghuraba’ (kelompok yang unik), menegakkan kebenaran ditengah-tengah kemungkaran. Ketika semua lingkungan bisnis dipenuhi manipulasi, kebohongan, korupsi, kecurangan, dan kezaliman, dia tetap tegar dengan pinsip-prinsip bisnis islamiyang jujur, adil,dan transparan. Tuubaa lil ghuraba’ (berbahagialah kelompok yang aneh/unik itu), kata Nabi.
Rasulullah bersabda,
Senantiasa ada sekelompok (tha’ifah) di umatku yang membela al-haq (kebenaran) hingga terjadi hari kiamat.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini telah memberikan ketetapan bahwa din (agama) ini akan terus berlangsung dengan dimotori oleh sebuah kelompok, yaitu al-Firqah tun Najiyah ‘golongan yang selamat’. Yaitu, sekelompok orang yang dikecualikan oleh Rasulullah karena sikapnya yang tetap konsisten dengan prinsip-prinsip ajarannya.
Dalam hal aqidah, jalan yang paling selamat bagi kita adalah ittiba’ kepada Rasulullah dengan cara mengikuti manhaj salafi, mengikuti bagaimana para sahabat, dan tabi’tabiin menjalankan ajaran  Nabi. Rasulullah mengatakan,
Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2)             Ibadah
Sudah sepatutnya jika para praktisi lembaga syariah adalah juga menjadi orang-orang yang abid (ahli ibadah) sebagai wujud konkret dan komitmen bekerja di lembaga syariah. Secara praktek sehari-hari ia senantiasa shalat tepat waktu, senantiasa mendirikan shalat fardhu berjamaah. Bahkan, di lingkungan ia bekerja maupun tinggal, ia selalu mendahulukan shalat fardhu berjamaah di masjid atau mushalla. Lebih jauh lagi memelihara shalat-shalat sunnah terutama dalam memelihara shalat tahajjud di malam hari. Dengan demikian, terciptalah positioning bahwa bekerja dilembag syariah identik dengan kumpulan pribadi-pribadi yang sangat taat dalam ibadah. Mulutnya senantiasa basah dengan zikir yang tak pernah putus kepada Allah (dikala bekerja di kantor macet di jalan, dan di rumah). Karena ibadah yang baik dan benar, maka terpancar di wajahnya pancaran wajah yang bersinar ari hati yang bersih dan tulus, karena banyak beribadah dan berzikir kepada Allah.
Semoga shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW yang telah diberi pesan denagn firman Allah,
Aku turunkan kepadamu peringatan (al-Qur’an) supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl : 44)
Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani mengatakan, “Beliau (maksudnya Nabi) telah menjalankan tugas ini dengan baik, dan shalatlah yang paling banyak beliau terangkan secara teori dan praktek. Beliau bahkan pernah melakukan shalat di atas mimbar. Di situlah beliau berdiri dan ruku’. Kemudian bersabda kepada para sahabat,
Ini aku lakukan tidak lain adalah agar kamu beriman kepadaku dan mengetahui shalatku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah barang tentu shalat yang kita maksudkan adalah shalat yang seperti kata Nabi, “Shallu kama raaiytumuunii ushalli (shalatlah seperti kalian melihatku shalat).” Nabi telah menggembirakan orang yang mengerjakan shalat seperti pelaksanaan shalat beliau dengan jaminan masuk surga dari Allah. Beliau bersabda, “Shalat yang diwajibkan Allah ada lima. Barang siapa yang berwudhu dengan baik, mengerjakan shalat-shalat tepat waktunya, dan menyempurnakan ruku’, sujud, dan kekhusukannya, maka Allah memberikan jaminan untuk mengampuni orang itu. Barang siapa yang tidak melaksanakannya, maka Allah tidak akan menjaminnya. Jika menghendaki, Dia mengampuninya; dan jika menghendaki, Dia menyiksanya.”
Al-Albani menambahkan, “Beliau juga telah menggembirakan keluarga dan para sahabat beliau yang takwa dan saleh. Mereka telah menyampaikan ibadah, shalat, sabda-sabda, dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW kepada kita dan menjadikannyasebagai pegangan dan teladan. Begitu juga orang-orang yang sejalan dengan mereka sampai Hari Kemudian.”

3)             Akhlak
Sebaik-baiknya manusia adalah yang akhlaknya baik, bekerja baik, sikap dan tindak tanduknya juga baik. Praktisi ekonomi syariah mestinya memiliki akhlak yang baik dibandingkan dengan karyawan yang bekerja ditempat lain. Pasalnya, dia harus bisa memberi contoh kepada saudara-saudaranya yang lain yang bekerja di lembaga yang tidak membawa brand islami. Dia harus mampu mendakwahkan bahwa bekerja di lembaga dan institusi-institusi syariah akhlaknya haruslah lebih baik, lebih terpelihara, karena dia ada dalama lingkungan yang terkondisi demikian.
Selain itu, dia pun harus dapat bekerja dengan hasil yang optimal, karena bekerja yang baik adalah bagian dari akhlak dan etika yang islami. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara kamu yang melakukan suatu pekerjaan yang baik.” Etika bekerja yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntutan Islam. Hal ini telah dipraktekkan oleh umat Islam pada masa-masanya yang gemilang, ketika Islam mapu mendominasi dunia kerja dan mempengaruhi hati manusia sekaligus. Sehingga, seluruh aktivitas umat Islam tidak lepas dai nilai-nilai keimanan.
Rasulullah pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab, “Jual-beli (dengan akhlak) yang baik dan pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Zat yang baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.” Kemudian Rasulullah mengatakan juga, “Empat hal sekiranya ada pada diri anda, maka sesuatu yang tidak ada pada diri anda (dari hal keduniaan) tidak membahayakan anda, yaitu menjaga amanah, berbicara benar, berakhlak yang baik, dan iffah dalam makanan.”

4)             Pemahaman al-Qur’an
Al-qur’an, adalah kitab Allah yang kekal dan bermukjizat yang diturunkan kepada hamba sekaligus Rasul-Nya yang paripurna, yakni Muhammad SAW. Ia adalah kitab yang oleh Allah direstui untuk dihafalkan tanpa diperkenankan mengubah, mengganti, menambahi, atau menguranginya. Allah berfirman,
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr : 9)
Al-qur’an adalah kitab yang tersebar di antara kita di bumi belahan timur maupun di belahan barat. Adalah kitab yang diterima oleh Rasul dari Jibril, dan Jibril menerimanya dari Tuhan Yang Maha Mulia. Adalah kitab yang disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya yang suci dan pengemban agama yang tulus dan mulia. Adalah kitab yang dihimpun oleh Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Umar ibnul Khaththab, disusun oleh Utsman bi Affan, dan disepakati oleh segenap umat Islam.
Kitab ini merupakan undang-undang dasar kaum muslimin, syariat, dan yang menuntun mereka ke jalan yang lurus. Di samping itu, ia adalah tali Allah yang tidak gampang putus, petunjuk-Nya yang lenggeng, nasihat untuk mengabdi kepada-Nya, tanda yang abadi akan kebenaran Rasul-Nya, dan jalan kemuliaan atau kemenangan kaum muslimin di segala zaman.
Itulah al-Qur’an. Dengan hanya membacanya saja kita sudah mengabdi kepada Allah. Namun, yang terbaik diantara kita adalah orang yang mau mempelajari lalu mengajarkannya kepada orang lain. Nabi sendiri telah mengabarkan bahwa sesungguhnya orang yang mau membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, maka dia telah memperoleh sepuluh kebajikan. Orang yang membacanya dengan gagap sekalipun, maka dia peroleh dua pahala. Orang yang pintar membaca al-Qur’an sekaligus juga hafal, maka pada hari Kiamat nanti akan dikatakan kepadanya, “Bacalah sebaik mungkin seperti yang pernah kamu lakukan di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu pada ayat yang terakhir yang kamu baca.” Dan, dia pun terus menaiki tangga-tangga surga dan baru berhenti pada hafalannya yang terakhir. Itulah kedudukan agung yang hanya diberikan kepada orang yang hafal al-Qur’an.
Karena itu, menjadi sangat mulia jika semua praktisi lembaga syariah menjadikan al-Qur’an sebagai bacaan sehari-hari, sebagaimana ia menjadikan koran menjadi bacaan setiap hari, tidak pernah tidak. Jika tidak membaca koran dalam sehari, ia seolah-olah kehilangan informasi, maka tidak membaca al-Qur’an dalam sehari hatinya menjadi kering. Mampu membaca al-Qur’an dengan tartil, dan menghafal berpuluh-puluh ayat pendek dalam al-Qur’an menjadi wajib bagi praktisi syariah. Pasalnya, mana mungkin ia bisa shalat apalagi menjadi imam jika hanya menghafal surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. Dia bukan hanya malu kepada Allah, kepada teman sekerja, tapi juga malu kepada anak dan darah dagingnya sendiri yang masih kecil (play group dan TK) yang sudah menghafal lebih banyak  ayat dan do’a-do’a, selain bacaan dalam shalat. Astaghfirullahul azim.

5)             Fikrah Islamiyah
Seorang muslim juga harus memiliki wawasan keislaman (fikrah islamiyah) yang benar dan luas, apalagi jika ia sebagai praktisi lembaga syariah. Jika tidak, dia akan menjadi seorang praktisi yang saleh, akhlaknya baik, jujur, amanah, dan adil dalam bisnis, tapi pikirannya kacau, aqidahnya rusak, wawasannya kebarat-baratan, dan pendapat-pendapatnya banyak menyimpang dan tercemari oleh pikiran-pikiran yang tidak islami, ia termakan oleh invasi pemikiran barat. Ia terinvasi oleh ghazwul fikri (perang pemikiran).
Musuh-musuh dari negara barat telah bersungguh-sungguh melancarkan invasi pemikiran terhadap kaum muslimin, dengan tujuan untuk menghancurkan umat Islam dan memadamkan cahaya Islam. Caranya, putra-putra Islam (yang terbaik) diasuh dan dibesarkan oleh barat, sehingga menjadi kebarat-baratan. Bahkan, mereka lebih memusuhi Islam dan kaum muslimin dibandingkan permusuhan barat. Putra-putra Islam yang telah dibuai itu, akan rela mengikuti barat dalam hal pemikiran dan prinsip hidup. Bahkan, setia berjalan di atas jalan yang dilalui barat, dengan alasan untuk memajukan bangsa dan negara. “Ikutilah barat jika ingin maju!” demikian kata mereka.
Tidak mungkin seorang yang berakal menolak penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang datang dari barat. Bahkan, merupakan kewajiban untuk mengambil dan mempelajari iptek yang telah mereka capai. Tapi sungguh berbeda, antara mengambil hasil iptek dari barat, dengan mengikuti semua kebudayaan barat. Berdasarkan sejarah masa lampau, terbukti bahwa Islam telah mengambil berbagai ilmu pengetahuan dari Yunani, lalu mengembangkannya melalui daya cipta kaum muslimin. Namun, kaum muslimin tidak mengambil sedikitpun kepercayaan Yunani kuno, bahkan membuangnya jauh-jauh.
Di zaman modern ini, senjata invasi pemikiran memiliki bentuk yang beraneka ragam, dan semua mengarahkan moncongnya ke satu sasaran, yaitu Islam. Sasaran invasi Islam adalah menghancurkan masyarakat Islam, mengganti norma Islam dengan kebudayaan barat, dan menjauhkan kaum muslimin dari aqidah islamiyah. Allah berfirman,
Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, an Allah tetap menyempurnakan caha-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaff : 8)
Ketiga: Syahsyiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) untuk Hablumminannas
1)             Keluarga yang islami (rukun dan bahagia)
Sesungguhnya pernikahan di dalam pandangan dienul Islam adalah suatu ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan menikah, seorang muslim mendapatkan balasan kebaikan dan pahala. Hal itu jika dia melakukan pernikahan dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang benar. Dia sengaja melakukan pernikahan dengan tujuan menjaga diri dan jiwa dari hal-hal yang haram, bukan karena dorongan nafsu hewani. Itulah tujuan dasar melakukan suatu pernikahan dalam Islam, pahala dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kita tidak menemukan sesuatu yang lebih tinggi dalam suatu pernikahan kecuali merupakan ibadah dan takarub, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah kepada kita dalam sabdanya, “Di alam kemaluan (menggauli istri) kalian terdapat sedekah.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah jika salah seorang diantara kami melampiaskan yahwatnya, (maka) dia akan mendapat pahala?” Nabi SAW menjawab, “Apakah kalian melihat apabila syahwat itu diletakkan pada suatu yang haram akan mendapat dosa?” Mereka menjawab, “Iya.” Rasulullah bersabda, “Seperti itulah apabila syahwat tersebut pada suatu yang halal, maka dia pun akan mendapat pahala.”
Karena itu, keluarga bahagia adalah obsesi semua keluarga. Mereka yang mngkhususkan diri bekerja di institusi yang “berbau” syariah haruslah dapat menjadi contoh tauladan bagi saudara-saudaranya yang berada di luar institusi syariah. Bahkan sebaliknya, mereka yang membawa nama-nama syariah malah mempunyai keluarga yang amburadul, nikah cerai, ingin mengamalkan poligami tapi ujung-ujungnya semua berantakan. Poligami adalah anjuran Islam, tetapi persyaratan seorang pria untuk boleh berpoligami bukan hanya kemampuan “menunggang kuda” alias syahwat. Tetapi, kemampuan untuk berbuat adil adalah persyaratan utama untuk niat yang agung itu. Poligami memang dianjurkan dalam Islam bagi yang sanggup berbuat adil.

2)             Praktek muamalah seharo-hari
Konsekuensi logis bekerja di lembaga syariah, berarti meninggalkan seluruh transaksi-transaksi ribawi, maisir, dan gharar yang diharamkan Allah SWT. Haram baginya masih menggunakan transaksi bank, asuransi, leasing, penggadaian, obligasi, dan koperasi yang sitemnya masih ribawi dan konvensional. Karena dia akan melanggar ayat Allah,
“Hai orang-orang yangberiman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaff : 2-3)
Lembaga keuangan Syariah (LKS) adalah alternatif untuk semua transaksi ribawi tadi. Karena itu, kredit rumah, kredit mobil, koperasi, asuransi pendidikan anak-anak, dan lain-lain tidak sepatutnya lagi bagi pribadi dan keluarga praktisi syariah. Harus komitmen dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melakukan jual-beli dengan cara-cara yang batil.” Juga firmannya,
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah : 278)

3)             Bermasyarakat (tidak eksklusif)
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bermasyarakat dan tidak eksklusif. Allah berfirman,
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, adakanlah perdamaian diantara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ada satu pun kaum yang merendahkan kaum lain, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang merendahkan).” (al-Hujuraat : 10-12)
Allah ta’ala telah menetapkan dalam permulaan ayat inibahwa orang mukmin pada hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama manusia. Maka, demi kelangungan persaudaraan ini harus ada saling mengenal, dan jangan saling mengingkari. Bahkan, harus saling berhubungan dan jangan saling memutuskan, saling merapat dan jangan saling berjauhan, saling mnyintai dan jangan saling membenci, harus satu an jangan berselisih.
Dalam hadits Nabi SAW dikatakan, “Janganlah kamu menghasut, jangan saling bertolak belakang, dan jangan saling membenci, tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.” Dari sinilah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku kasar kepada kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan menjauhi kawannya kecuali dalam batas tiga hari, sampai reda kemarahan kedua belah pihak.
Demikianlah ajaran Nabi agar kita senantiasa menjaga hubungan bermasyarakat tanpa membedakan dia seorang muslim atau bukan. Kita tidak dilahirkan untuk bisa berdiri sendiri, eksklusif, dan tanpa peduli pada lingkungan dimana kita berada. Terlebih jika itu kepada saudara kita sendirisesama muslim, Allah justru memerintahkan untuk, “Merendahkan diri terhadap orang-orang mukmin.

4)             Memakmurkan masjid
Sebagai aktivitas lembaga syariah, sedapat mungkin mendapat rumah atau membangun rumah di dekat masjid. Alangkah indahnya jika disela-sela kesibukan bekerja, ketika kembali ke rumah, dapat aktif dan memakmurkan masjid disamping rumah, atau kompleks kita. Suasana hati yang ternodai oleh pergaulan yang sudah demikian jauh dari kaidah-kaidah islami, dapat tercelup kembali ketika senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan selalu berada di rumah Allah.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa masjid adalah tempat diamana ajaran Islam diajarkan, ditumbuhkan, dan dikemvbangkan, serta dipertahankan. Sebelum memasuki kehidupan sehari-hari, yang sifatnya insidential, seorang muslim biasanya terlebih dahulu ke masjid meminta rahmat Allah. Dari masjid, seorang muslim mengarah kepada kehidupan itu dengan permohonan ganjaran dari Allah SWT. Abu Usaid memberitakan, “Bersabda Rasulullah, ‘Apabila salah seorang dari kita masuk masjid, hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah! Bukakanlah bagiku rahmat-Mu.’ Dan, apabila ia keluar, hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah!Aku mohon kepada-Mu ganjaran-Mu.’’”
Allah SWT mengatakan bahwa hanya orang-orang berimanlah yang senantiasa hatinya ada di masjid, ia senantiasa memakmurkan masjid. Allah berfirman, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

5)             Menjauhi tempat-tempat maksiat
Di dunia modern seperti sekarang ini, dimana-mana kita dengan mudahmenemui tempat maksiat. Membentengi hati sendiri dan menutup jalan menuju ke arah sana adalah satu-satunya cara untuk menghindari maksiat. Dunia bisnis, seperti asuransi dan broker, biasanya diwarnai oleh negosiasi dan lobi yang berbau maksiat, terutama dalam negosiasi  bisnis-bisnis berskala besar. Misalnya untuk mendapat suatu bisnis, sang calon nasabah minta main golf di Bali kemudian minta disediakan kamar hotel berikut “isinya”. Hal seperti ini sudah jamak dalam dunia bisnis. Namun demikian, tentu tidak semua orang bisnis terlibat seperti ini, sangat tergantung pada pribadi dan kebijakan prusahaan masing-masing.
Karena itu, bisnis syariah harus senantiasa menjauhi pergaulan dan teknik-teknik negosiasi bisnis yang mengarah kepada riswah dan perzinaan. Semua agama samawi mengharamkan dan memberantas perzinaan. Terakhir ialah Islam yang dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. Karena perzinaan ini dapat menguburkan masalah keturunan, menghancurkan rumah tangga, dan merusak akhlak. Oleh karena itu, tepatlah firman Allah,
Janganlah kamu dekat-dekat pada perzinaan, karena sesungguhnya dia itu perbuatan yang kotor dan cara yang sangat tidak baik.” (al-Israa : 32)
Islam, sebagaimana kita maklumi, apabila mengharamkan sesuatu, maka ditutupnyalah jalan-jalan yang akan membawa kepada perbuatan haram itu. Juga mengharamkan cara apa saja serta seluruh pendahuluannya yang mungkin dapat membawa kepada perbuatan haram itu. Justru itu pula, maka apa saja yang dapat membangkitkan seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki maupun wanita, serta mendorong orang untuk berbuatyang keji atau paling tidak mendekatkan perbuatan keji itu, atau yang memberikan peluang untuk berbuat yang keji, maka Islam melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan menjaga dari perbuatan yang merusak.

6)             Sederhana dan tidak bermewah-mewah
Hidup sederhana, hemat, dan tidak bermewah-mewah sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah adalah paling indah seandainya kita dapat memahami hikmah dibalik itu; Akan tetapi sebaliknya, hal ini akan menjadi siksaan jika kita tidak mampu menangkap hikamh dibaliknya, apalagi jika kebetulan diamanahi oleh Allah SWT harta yang melimpah. Allah berfirman, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah asngat ingkar kepada Tuhannya.” Sedangkan pada ayat lain Allah SWT mengingatkan,
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri ini (untuk menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (al-Israa : 16)
Pengusaha muslim dalam melaksanakan kegiatan usaha juga harus senantiasa berhemat. Dia harus mampu mengurangi pengeluaran yang tidak diperlukan. Karena pengurangan pengeluaran itu berarti pula meningkatkan keuntungan. Akan tetapi, berhemat disini tidak dimaksudkan sebagai kikir atau pelit. Karena kikir artinya tidak mau mengeluarkan biaya meskipun sesuatu itu dibutuhkan. Sedangkan, berhemat berarti mengeluarkan biaya pada sesuatu yang memang diperlukan.
Penghematan harta benda menurut garis-garis ketentuan Islam dinyatakan dalam al-Qur’an,
Dan mereka itu apabila membelanjakan hartanya, tidak melampaui batas dan tidak pula kikir, tetapi mengambil jalan tengah diantara keduanya.” (al-Furqaan : 67)
Dengan demikian, pengambilan jalan tengah antara boros dan kikir adalah sifat yang terpuji, akhlaqul mahmudah. Itulah yang dimaksud dengan penghematan, karena membelanjakan harta benda sebaik-baiknya dengan cara wajar dan pantas. Dalam konteks ini, al-Qur’an juga memerintahkan akibat yang bakal diderita oleh orang yang boros dan kikir,
Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup serta mendustakan kebaikan, maka Kami (Allah) akan mengantarkan kepada jalan yang sulit.” (al-Lail : 8-10)
Lalu Allah mengatakan,
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk (bakhil) dan jangnlah pula engkau kembangkan seluas-luasnya (boros), agar engkau jangan sampai duduk tercela dan sengsara.” (al-Israa : 29)

7)             Tidak banyak utang
Sebuah do’a yang mahsyur, diambil dari hadits Nabi, “Ya Allah, kami berlindungkan kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, kami berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, kami berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan bakhil, serta kami berlindung kepada-Mu dari tekanan utang yang melilit dan kesewenang-wenangan orang-orang zalim.”
Ajaran Nabi SAW menyatakan bahwa kita sebaiknya tidak mempunyai utang yang banyak. Bahkan, salah satu dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah sekalipun dia seorang yang mati syahid adalah utang. Karena itu, seorang muslim yang baik harus dapat mengkalkulasi antara penghasilan dan pengeluaran dalam keluarganya. Bahkan, Rasulullah pernah mengatakan bahwa orang yang banyak utang, cenderung untuk sering berbohong dan mengingkari janji. Karena itu, merupakan sikap yang ahsan jika kita menghindari utang, apalagi jika utang tersebut menggunakan skim-skim ribawi.
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau dulu berdo’a dalam shalat, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu ari fitnah al-Masih al-Dajjal, dan berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.” Aisyah mengatakan bahwa lalu seorang pembicara berkata, “Alangkah banyak apa yang kau minta berlindung dari utang wahai Rasulullah!” Maka, beliau menjawab, “Sesungguhnya, seseorang jika ia mengutang, maka ia bicaranya bohong dan janjinya diingkari.”

8)             Gemar menolong
Allah berfirman,
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangnlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Ma’idah : 2)
Gemar menolong adalah termasuk sifat seorang muslim yang takwa. Kita tidak dapat hidup sendiri tan peduli terhadap lingkungan. Dan sebaliknya, kita pun tidak akan pernah lepas dari campur tangan dan pertolongan orang lain, apapun bentuknya. Karena itu, berjiwa menolong merupakan perintah Allah SWT dalam banya ayat dalam al-Qur’an.
Beberapa hadits mengatakan bahwa seorang muslim tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesalehan apabila dapat tidur nyenyak dengan perut yang kenyang sementara tetangganya hidup dalam derita kemiskinan. Inilah realitas yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Seorang praktisi syariah sudah sepatutnya jika memiliki sance of crisis  terhadap saudara-saudaranya yang masih bergelimang dengan kemiskinan. Karena itu, sebaliknya sasaran pembiayaan dari lembaga-lembaga syariah adalah justru diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat miskin, kaum mustd’afin, dan kepada pengusaha kecil. Bukan justru kepada pengusaha-pengusaha besar yang hidupnya sudah bergelimang dengan kemewahan dan (mungkin) kemaksiatan. Dengan demikian, lembaga syariah akan mendapat berkah dan pertolongan dari Allah.
Perlu menjadi keyakinan bagi setiap muslim bahwa pada hakikatnya pertolongan itu sebenarnya berasal dari Allah SWT, manusia hanyalah sebagai wasilah. Perhatikan firman Allah,
Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah. Dan sekali-kali ia tidak akan dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pembalasan.” (al-Kahfi : 43-44)
Karena hakikat pertolongan itu adalah datangnya dari Allah, maka selanjutnya kita diperintahkan untuk bertasbih kepada-Nya.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuju Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah penerima tobat.” (an-Nashr : 1-3)

9)             Tidak sombong dan angkuh
Allah berfirman,
Perkataan yang baik dan memberikan maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.” (al-Baqarah : 263)
Firman Allah itu merupakan petunjuk dalam hidup, agar setiap insan muslim bersikap ramah kepada siapa pun. Karena ayat merupakan petunjuk dalam hidup. Tentu banyak kisah-kisah menarik dalam bisnis yang dapat berakibat baik atau buruk karena masalah keramahan. Hadits Nabi Muhammad SAW tentang masalah itu juga menjelaskan,
Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Muttafaq alaih)
Bila kepada saudara seiman umat Islam diminta Rasul untuk tersenyum atau bersikap ramah yang juga mendapat pahala, apalagi bagi seorang pedagang atau pengusaha muslim. Persoalan keramahan itu bukan sekadar untuk mendapat pahala, tetapi secara langsung berkaitan dengan kegiatan usahanya. Karena keramahan pengusaha atau pedagang merupakan salah satu daya tarik bagi konsumen atau nasabah.
Cobalah bandingkan sikap ramah masyarakat Bali dalam semua lapisan, dari pelayan hotel, petugas pantai, supir taksi, petugas bandar sampai penjaga toko. Mereka memang sudah terbiasa menerima tamu (turis lokal maupun mancanegara) dengan sikap yang ramah dan sangat melayani. Kita rasakan hal yang berbeda ketika datang ke Makassar atau Medan. Suasana kasar dan terkesan cuek sangat terasa, walaupun setelah kenal lebih dekat, mereka bisa lebih ramah dan lebih kekeluargaan dari masyarakat Bali. Prinsip sombong dan angkuh bukan sifat-sifat islami, karena itu harus ditinggalkan.

10)         Senantiasa menjaga hati
Anda ingat lagu yang cukup populer, yang syairnya dibuat Aa’ Agym (KH. Abdullah Gymnastiar) yang dinyanyikan oleh group vokal Snada? “Jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati cahaya ilahi ...dst.” seorang muslim yang baik, apalagi yang bekerja di lembaga syariah, harus senantiasa memelihara hati – tidak boleh iri, tidak dengki. Juga harus memelihara lidah dari ghibah, apalagi menceritakan aib saudara sendir, teman sekerja, tetangga, dan atau lembaga syariah lain dengan maksud untuk merebut prospek yang bersangkutan supaya join dengan perusahaan kita.
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Laa talmizu anfusakum (jangan kau mencela diri-diri kamu).” Ini tidak hanya berati satu sama lain saling mencela. Tetapi, al-Qur’an menuturkan dengan jama’atul mu’minin, yang seolah-oleh mereka itu satu tubuh. Sebab, mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan tolong menolong. Jadi, barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri.
Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka. Untuk itu, maka datanglah ayat al-Qur’an membawakan sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka, berfirmanlah Allah, “hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu dosa.” Sangkaan yang berdosa itu sangkaan yang buruk.
Oleh karena itu, tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti. Sebab, manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh karena itu, prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini, apalagi justru untuk menuduh. Rasulullah bersabda,
Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan.” (HR. Bukhari)
Manusia karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan yang bai. Oleh karena itu, sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan tidak berjalan mengikuti suara nafsu tersebut. Inilah makna hadits Nabi yang mengatakan,

kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan.” (HR. Ath-Thabrani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

twitter