Laman

19 Juli, 2017

Instrumen dan Anggaran Kebijakan Fiskal Islam

Berikut ini adalah postingan tentang makalah Instrumen dan Anggaran Kebijakan Fiskal. Sebenarnya ini adalah salah satu tugas kuliah saya pada mata kuliah Kebijakan Fiskal Islam di Jurusan Ekonomi Islam Unsyiah. Kami diberi tugas kelompok yang terdiri dari 2 orang per kelompoknya. kami yang dapat tugas Instrumen dan Anggaran Kebijakan Fiskal adalah kelompok 2 (saya Yusran dan teman saya namanya Yudi). Mata Kuliah ini di ajarkan oleh Bu Novi Indriani Sitepu, S.HI., MA. okelah.... langsung saja..
di bawah ini adalah postingan isi makalah kami... SEMOGA BERMANFAAT...



Juni Yusran 
1401104010032
Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Syiah Kuala
yusran23.juni@gmail.com

Yudi Saputra 
1401104010029
Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Syiah Kuala



Abstrak
Ambillah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 103)
Kata kunci: Zakat, jizyah, kharaj, ushur, nawaib, pinjaman, waqaf, fai, khums, amwal fadla, kaffarah, APBN

Pendahuluan
Kebijakan fiskal merupakan salah satu topik pembahasan utama dalam kajian-kajian ekonomi, termasuk kajian ekonomi Islam. Dalam kajian ekonomi Islam, Kebijakan fiskal telah dikenal  sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin yang kemudian dikembangkan oleh para ulama.
Pembahasan tentang kebijakan fiskal biasanya dimasukkan dalam kategori ilmu ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatar belakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemeriuntah. Pengeluaran dan penerimaan negara berpengaruh terhadap pendapatan nasional. Untuk itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang disebut sebagai kebijakan fiskal untuk menyesuaikan pengeluaran dengan penerimaan negara. Penyesuaian antara pengeluaran dan penerimaan mengakibatkan ekonomi stabil yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran dan kestabilan harga-harga umum
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengakui kebebasan manusia atas nilai-nilai tauhid, hak memiliki harta atas dasar kemaslahatan, melarang penumpukan harta, serta distribusi kekayaan justru yang sesuai dengan sifat dasar dan kebutuhan manusia.[1] Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal Islam begitu mendominasi pembahasan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi al-Qur’an merupakan pilar utama dalam perekonomian Islam yang menyebutkan mekanisme fiskal zakat menjadi syarat dalam perekonomian riil.
Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat saja, akan tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.[2] Karena pelaksaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan satu sama lain.

A.           Instrumen Kebijakan Fiskal Islam
Kebijakan fiskal  pada masa awal Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum ekspansi dan perode sesudah ekspansi. Unsur-unsur penting kebijakan fiskal pada periode pertama adalah kontribusi dari fai’ dan sedekah. Pada periode awal ini, sistem keuangan negara masih berlangsung secara sederhana karena menyangkut  wilayah yang tidak begitu luas. Meskipun demikian, pada periode pertama ini umat Islam telah mempunyai pemikiran tentang mata uang sendiri.
Pada periode kedua yang dimulai pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khatab, negara lslam Madinah telah mulai mapan. Pada masa Umar dibentuk lembaga yang mengelola administrasi kekayaan negara yang dikenal dengan nama bait al-Mal yang sebelunmnya sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar.  Secara konseptual Bait al- mal tidak dipahami sebagai bangunan fisik, tetapi lebih sebagai tujuan , artinya bait al-mal lebih sebagai institusi yang abstrak.
Dalam sistem ekonomi konvensional, sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah terdiri dari beberapa bagian, yaitu:[3]
No.
Peneriamaan Negara
1.
Penerimaan Pajak
a.          Pajak dalam negeri (pajak penghasilan, perseroan, pertambahan nilai, penjualan, dll)
b.          Pajak perdagangan internasional
2.
Penerimaan Negara Bukan Pajak
a.          Penerimaan sumber daya alam
b.           Bagian pemerintah atas laba BUMN
c.          Penerimaan negara bukan pajak lainnya
3.
Hibah dan Bantuan Luar Negeri

No.
Pengeluaran Negara
1.
a.         Belanja Negara
b.         Belanja Pemerintah Pusat
c.         Belanja Daerah
2.
Pembiayaan
a.         Dalam Negeri
b.         Luar Negeri
c.         Tambahan pembiayaan utang

Sedangkan dalam Islam, walaupun pola anggaran pendapatan negara hampir sama dengan perekonomian konvensional (klasik dan neoklasik), namun penggalian sumber-sumber dana didasarkan pada syariah. Terhadap pengaturan pendapatan publik, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta tersebut adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan dana disebut Baitul Mal atau bendahara negara.[4]
No.
Sumber Penerimaan dan Pengeluaran
Tahun dimulai
1.
Zakat
Diperintahkan tahun 2 H dan diwajibkan tahun 9 H
2.
Jizyah
Setelah tahun 7 H
3.
Kharaj
Setelah tahun 7 H
4.
‘Ushur
Setelah tahun 7 H
5.
Nawaib

6.
Pinjaman

7.
Waqaf
Tahun 4 H, melalui penaklukan Bani Nadhir
8.
Fai’
Tahun 7 H atau 8 H
9.
Khums
Tahun 2 H setelah perang Badar
10.
Amwal Fadla

11.
Kaffarah


1.             Zakat
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah : 103)
Zakat sebagai Instrumen Fiskal dalam Islam.
Beberapa hal penting ekonomi Islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a)             Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi Islam, pemerintahan Muslim harus menjamin bahwa Zakat dikumpulkan dari orang-orang Muslim yang memiliki harta melebihi nilai minimum dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab Suci Al-Quran.
b)             Tingkat bunga tidak berperan dalam sistem ekonomi Islam. Perubahan ini secara alamiah tidak hanya pada kebijakan moneter tetapi juga pada kebijakan fiskal. Ketika bunga mencapai tingkat keseimbangan dalam pasar uang tidak akan dapat dijalankan, beberapa alternatif harus ditemukan. Salah satu alat alternatifnya adalah menetapkan jumlah dari uang idle.
c)             Ketika semua pinjaman dalam Islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil. Oleh karena itu ukuran public debt menjadi lebih kecil.
d)            Ekonomi Islam merupakan diupayakan untuk membantu atau mendukung ekonomi masyarakat Muslim yang terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran Islam.
e)             Negara Islam merupakan negara yang sejahtera, dimana kesejahteraan memiliki makna yang luas dari pada konsep  Barat. Kesejahteraan meliputi aspek material dan spiritual dengan lebih besar menekankan pada sisi spiritual. Negara Islam menjamin kepemilikan harta, agama warga negara,kehidupan keturunan.
f)              Pada saat perang , Islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tetapi juga pada harta bendanya untuk menjaga agama.
g)             Akhirnya, namun hal ini yang sangat penting , hak perpajakan dalam negara Islam tidak tak terbatas. Beberapa orang kebanyakan mengatakan bahwa kebijakan perpajakan diluar apa yang disebut zakat, ini adalah tidak mungkin kecuali berada dalam situasi tertentu.[5]
Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal mempunyai beberapa peranan:
a)                  Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan.
b)                  Zakat adalah sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan.
c)                  Zakat sebagai sistem sosial berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan. Zakat sebagai sistem politik , karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembaginnya.[6]
2.             Jizyah
Jizyah berasal dari kata “jazaa” yang berarti balasan dan secara istilah jizyah merupakan harta yang wajib dibayarkan oleh kalangan ahlu Dzimmi yang bertempat tinggal di sebuah Daulah Islam kepada pemerintah atau penguasa Daulah Islam tersebut.[7] Jizyah atau jizya adalah pajak per kapita yang diberikan pada non-Muslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam.[8] Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang lanjut usia, orang gila, dan orang yang menderita sakit dibebaskan dari kewajiban ini. Pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang atau jasa.
Kelompok non muslim pertama yang membuat perjanjian membayar jizyah kepada pemerintahan Islam pada masa Rasulullah adalah kaum Nasrani Najran, kemudian masyarakat Bahrain yang menganut paham Zorotrisme. Adapun warga non muslim yang wajib membayar jizyah adalah laki-laki dewasa yang meredeka (bukan budak). Sedangkan bagi wanita, anak-anak, orang tua pendeta, pengemis dan orang gila tidak dikenakan wajib jizyah. Malahan bagi mereka yang tidak mampu membayar justru mendapat subsidi dari negara. Pada masa Rasulullah besarnya jizyah yang dipungut adalah 1 dinar / tahun untuk laki-laki dewasa yang mampu. Pada masa Umar ibn Khatab, daerah kekuasaan islam semakin luas, dan diberbagai wilayah tersebut banyak kaum Nasrani dan kafir zimmi yang belum masuk Islam, sementara mereka wajib membayar jizyah, maka Khalifah Umar membuat sistem dan aturan baru tentang jizyah. Hal ini bertujuan bertujuan untk mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Umar menetapkan tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi dan kemampuan para wajib jizyah tersebut.[9]

Mekanisme Pembayaran Jizyah
Di awal periode Islam, penerimaan negara selain dari zakat dan kharaj juga diperoleh dari sumber pungutan jizyah. Dimana jizyah merupakan pungutan yang dikenakan kepada kelompok non-Muslim yang tinggal di Negara Islam dengan menerima jaminan keamanan, keselamatan, hidup dan kebebasan beribadah dengan membayar kompensasi berupa pungutan jizyah (biaya yang harus di tanggung karena menikmati fasilitas dan kemudahan serta jaminan keamanan di negara Muslim).
Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam ajaran Islam juga mengenal toleransi, di mana hanya dikenakan atas orang-orang yang mampu secara fisik dan mental artinya bagi non-Muslim yang sudah tua, anak-anak atau orang yang sakit atau gila tidak dikenaikan pungutan jizyah.
Jizyah bukanlah pajak regresif. Besarnya pungutan jizyah inipun juga bervariasi yaitu antara 12 dan 48 dirham setahun dalam rupihnya, sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Jika mereka memutuskan masuk Islam, maka kewajiban atas jizyah telah gugur atasnya. Sedangkan sumber dari pendapatan jizyah tersebut diperuntukkan untuk pembiayaan kesejahteraan umum.[10]
Dikenakan banyaknya jizyah sebagai berikut:
a)             Orang-orang kaya diambil sebanyak 48 dirham.
b)             Orang-orang menengah diambil sebanyak 24 dirham.
c)             Di bawah menengah diambil 12 dirham.
d)            Untuk orang miskin yang berhak meneraima Shadaqah tidak dipungut jizyah, juga orang yang tidak mampu bekerja, orang buta, pensiun, orang gila, dan sejenisnya. Jizyah juga hanya dibebani kepada orang-laki-laki merdeka, berakal dan dewasa dan tidak diwajibkan kepada wanita dan anak-anak.
Sedangkan pemungutan jizyah, para pemimpin Islam telah berpesan kepada para gubernur dan petugasnya agar saat menjalankan tugas kepada ahli kitab, mereka bersikap lembut dan bijaksana dengan tetap memelihara jiwa dan harta bendanya dari kesewenang-wenang. Bahwasanya tidak boleh melakukan pemukulan kepada siapapun dari kalangan ahlu dzimmah agar mereka bersedia membayar jizyah, tidak boleh dijemur, tidak boleh melakukan tindakan yang membuat mereka cacat dan seterusnya.[11]
Setelah Islam runtuh yakni setelah keruntuhan Islam di Turki Usmani dan Spanyol, istilah jizyah tidak ada lagi. Hal ini disebabkan daerah-daerah Islam telah dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga pajak terhadap warga non muslim tidak ada lagi. Pada zaman modern, pajak jiwa yang dipungut oleh pemerintah terhadap warga asing yang masuk dan atau menetap dalam wilayah kekuasaan suatu pemerintahan adalah dalam bentuk visa.
3.             Kharaj
Kharaj atau biasa disebut dengan pajak bumi/tanah adalah jenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun tidak beriman.
Kharaj merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan hutan milik umat. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang dimiliki non-Muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah perang, aset tersebut menjadi bagian kekayaan publik umat. Karena itu, siapapun yang ingin mengolah lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk dalam lingkup kharaj. Jika orang non muslim yang mempunyai perjanjian damai dan tanah tetap sebagai miliknya maka membayar kharaj sebagai pajak bukan sewa. Jika tanah tersebut jatuh menjadi milik orang muslim, maka kharajnya sebagai ongkos sewa atas tanah tersebut.[12]
Sumber pendapatan negara berupa kharaj belum ada pada masa Rasulullah. Ia mulai digali pada masa Umar bin al-Khattab. Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi.
Dua istilah kharaj dan jizyah mempunyai arti umum, yaitu pajak dan mempunyai arti khusus dimana kharaj berarti pajak bumi dan jizyah berarti pajak kepala. Arti khusus yang membedakan antara keduanya inilah yang ada pada masa-masa awal Islam. Di Indonesia kharaj termasuk pada pajak bumi dan bangunan.
Umar bin al-Khattab adalah orang pertama yang membangun lembaga kharaj dalam Islam. munculnya lembaga kharaj dalam Islam diaklibatkan dari pandangan umar yang jauh ke depan demi mengantisipasi supaya terpenuhinya kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat. Penentuan tarif kharaj didasarkan pada faktor-faktor :
a)             Kapasitas tanah, subur dan tidaknya,
b)             Jenis tanaman,
c)             Metode irigasi,
d)            Letak tanah dan
e)             Kemampuan pemilk tanah. Dengan demikian besar kecilnya kharaj diserahkan pada keputusan negara.
Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain sebagai berikut:
a)             Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam.
·                Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
·                Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
·                Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab (membayar Usyr).
b)             Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai.
·                Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr).
·                Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj).
c)             Tanah taklukan
·                Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
·                Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj.
·                Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
·                Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.[13]
4.             ‘Ushur
‘Usyur yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingakt bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai pusat perdagangan regional terbesar.[14]
Sistem keuangan dengan model usyur ini diterapkan di zaman Umar bin Khatab dengan dilatarbelakangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang telah menulis surat kepada Umar bin Khattab yang memberitahukan bahwa para pedagang kaum muslimin yang memasuki wilayah orang-orang musyrik atau ke negara kafir (darul harb) yang tidak ada perjanjian damai, mereka harus membayar Usyur (1/10) per kepala dari barang dagangan mereka.
Kemudian Umar menulis surat kepada Abu Musa yang berisi:Ambilah olehmu dari mereka seperti yang dilakukan oleh mereka kepada para pedagang muslim. Kemudian ambil pula dari ahlu dzimmah separuh dari sepersepuluh dirhamnya. Namun, janganlah kamu mengambil dari mereka sedikit juga bilamana jumlah barang mereka kurang dari dua ratus. Selanjutnya bilamana mencapai dua ratus maka ambilah dari mereka lima dirham.
Karenanya, Umar memerintahkan kaum muslimin mengambil pajak 1/10 kepada pedagang non muslim ketika mereka masuk ke negeri Islam. Dan memerintahkan mengambil setengah dari sepersepuluh kepada ahli dzimmah dan kepada kaum muslimin hanya seperempat dari usyur jika barang dagangan mereka hanya 200 dirham saja.
Namun berbeda dengan jizyah yang dalam masa modern ini hampir tidak dijumpai lagi, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan di Negara-negara islam. Tentu saja penerapannya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam masa sekarang, penerapan pajak ini antara lain dengan memberlakukan bea masuk barang-barang impor.
5.             Nawaib[15]
Nawaib merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung kesejahteraan social atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat. Hal ini terjadi dalam masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukkan dalam Baitul Mal. Dasar hukum atas kewajiban ini adalah QS. Ar-Ruum (30): 38.
6.             Pinjaman[16]
Pinjaman atau utang, baik yang berasal luar negeri maupun dalam negeri dalam Islam sifatnya adalah hanya sebagai penerimaan sekunder. Alasannya, ekonomi Islam tidak mengenal bunga, demikian pula untuk pinjaman dalam Islam haruslah bebas bunga, sehingga pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau bagi hasil. Dalam pengertian ini, Islam tidak melarang untuk melakukan utangpiutang asalkan tidak membebani pengutang, karena sifatnya hanya membantu dan harus segera diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sepanjang sejarah pemerintah Islam, negara pernah melakukan utang hanya dua kali, yaitu pada masa kepemimpinan Rasulullah saw dan pada masa kepemimpinan khalifah ‘Umar ibn al-Khattab. Pinjaman-pinjaman yang pernah dilakukan saat itu meliputi pinjaman setelah penaklukan kota Makkah untuk pembayaran diyat kaum muslimin kepada Judzaimah atau sebelum pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham kepada ‘Abdullah ibn Rabi’ah, dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan ibn ‘Umayyah.
7.             Waqaf[17]
Wakaf dari pandangan hukum syara’ berarti “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya”. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada Allah swt. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan, diberikan atau dijual kepada pihak lain. Tanah sebagai wakaf telah memainkan peran besar dalam masyarakat Islam, misalnya:[18]
a)         Lahan yang ditanami di Daulah Turki Utsmani 75% adalah tanah wakaf.
b)         Pada masa penjajahan Perancis di Aljazair pertengahan abad 19, separuh dari lahan yang ada adalah tanah wakaf.
c)         Di Tunisia pada abad ke-19, sepertiga lahan yang ada adalah tanah wakaf.
d)         Di Mesir pada tahun 1949, sekitar seperdelapan dari lahan pertanian adalah tanah wakaf.
e)         Di Iran pada tahun 1930, sekitar 30% lahan yang ditanami adalah tanah wakaf.
Dalam menunaikan wakaf, bisa dilakukan dengan harta bergerak maupun tidak bergerak. Mazhab Maliki membuka kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk yang paling liquid. Yaitu dalam bentuk uang tunai.[19]
8.             Khums
Khumus (الخمس) secara bahasa bermakna satu bagian dari yang lima atau seperlima, jika dilafazkan خمَّس – يخمِّس – تخميس  maknanya adalah mengambil seperlima.[20] Defenisi istilah adalah sama dengan definisi bahasa.
Para ulama sepakat bahwa wajib dilaksanakan khumus pada ghanimah, dengan dalil firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal: 41, namun mereka berbeda pendapat pada fai.
Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu:
1)             Barang-barang tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah
2)             Tanah arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempat shadaqoh.
3)             Apa pun yang keluar dari lautan.
4)             Rikaz (barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya.

Harta-harta yang di khums merupakan:
a.             Ghanimah
Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.Al-Qur'an telah mengatur hal ini secara jelas.
"Katakanlah sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kamu turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di Hari (Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan".(Q.S. Al-Anfal, ayat 41).
Sementara Ibn Abbas membagi ghanimah menjadi enam bagian :
a)         Bagian untuk Allah digunakan untuk kemaslahatam ka’bah.
b)         Bagian untuk kerabat rasul.
c)         Bagian untuk anak-anak yatim
d)         Orang-orang miskin.
e)         Ibn sabil
f)          Sokongan kepada ahl al-radkh dan ahl-al-zimmah.
Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi negara Islam waktu itu, karena masa itu sering terjadi perang suci. Perintah persoalan ghanimah turun setelah Perang Badar, pada tahun kedua setelah Hijrah ke Madinah. Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur'an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan kepada para prajurit yang bertempur (mujahidin), sementara seperlimanya adalah khums. jadi, Khums adalah satu seperlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini dapat digunakan negara untuk program pembangunannya.[21]
Menurut Abu Yusuf, Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.[22]
Ghanimah bukan hanya rampasan perang, tetapi juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. “Ghanimah adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan maupun bukan peperangan” .
Dengan demikian, surah Al-Anfaal ayat 41 harus kita artikan, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. jadi, di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak keterangan dari Al-Sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Se­bagian di antaranya kita cantumkan berikut ini:
Pertama: Rombongan Bani Qays menemui Nabi saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka (Shahih Al-Bukhari 4:205; Shahih Muslim 1:35-36; Musnad Ahmad 3:318). Tidak mungkin mereka disuruh mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu meng­hindari peperangan.
Kedua: Ketika Nabi saw. mengutus ‘Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh Al-Buldan 1:81; Sirah Ibnu Hisyam 4:265). Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwatha 1:157; Thabaqat Ibnu Saad 1:270, dan lain-lain). Kepada juhaynah bin Zaid, Nabi juga menyuruh, “Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq Al-Siyasiyah, 142).

b.             Fai’
Fai secara bahasa bermakna naungan (الظل), kumpulan (الجمع), kembali (الرجوع), ghanimah, kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada pemeluk agama-Nya yang berasal dari harta-harta orang yang berbeda agama tanpa peperangan.[23] Adapun fai secara istilah adalah harta-harta yang didapatkan dari musuh dengan cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir peperangan seperti jizyah, kharaj dan lain sebagainya.[24]
Harta fai dengan harta ghanimah ada kesamaan dari dua segi dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya adalah: Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan orang kafir, Kedua, penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi perbedaannya adalah: Pertama, harta fai diberikan dengan suka rela, sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat perlima bagian dari harta fai berbeda penggunaannya dengan empat perlima bagian dari ghanimah.[25]
Fai disyariatkan melalui firman Allah, yaitu:
Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS. Al-Hasyr: 6-7)
c.              Rikaz
Rikaz adalah harta yang terkubur sejak zaman jahiliyah (Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbilah) atau harta yang ditanam di dalam bumi, baik diciptakan maupun diletakkan (Hanafiyah).[26] Ulama sepakat bahwa harta rikaz wajib dikhumus, karena Nabi SAW telah bersabda,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ (رواه البخاري)
Artinya: “…… dan pada rikaz itu ada khumus”. (HR. Bukhari).
9.             Amwal Fadla[27]
Amwal fadla merupakan harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang meninggalkan negerinya.
10.         Kaffarah
Kaffarah merupakan denda yang dulu dikenakan kepada suami istri yang melakukan hubungan di siang hari pada bulan puasa (Ramadhan). Denda tersebut dimasukkan dalam pendapatan negara.
Ada tujuh hal yang diterangkan tebusan-nya dalam syari’at Islam, yaitu:
a.              Tebusan untuk pelanggaran sumpah
b.             Tebusan untuk pelanggaran nadzar
c.              Tebusan pembunuhan
d.             Tebusan zhihar (suami, Engkau bagiku seperti punggung ibuku.)
e.              Tebusan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli isteri)
f.              Tebusan karena ber-jima’ di siang hari bulan Ramadhan
g.             Denda dalam haji.
Jika diklasifikasikan, jenis tebusan di atas dapat dibagi dua:
a)             Boleh memilih: tebusan sumpah, nadzar, ila’, melakukan larangan ketika haji karena sakit, membunuh binatang buruan ketika haji, ada binatang yang serupa maupun tidak ada.
b)             Tidak boleh memilih: tebusan zhihar, ber-jima’ di siang hari Ramadhan, membunuh, meninggalkan kewajiban haji karena sakit ketika haji, terhalang haji tamattu’ dan haji qiran, dan ber-jima’ sebelum tahallul awwal dalam haji.[28]
Syarat Wajibnya Kafarat Atas Pelanggaran Sumpah
a)             Sengaja mengucapkan sumpah: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja (Q.S. Al-Ma’idah: 89).
b)             Sumpah diucapkan atas perkara yang mungkin (terjadi) di masa yang akan datang.[29]
c)             Diucapkan atas pilihannya sendiri, seseorang yang dipaksa mengucapkan sumpah tidak dikenakan tebusan atau denda; Ummatku dimaafkan karena kekeliruan dan kelupaan serta perkara yang dipaksakan kepadanya. (HR. Ibnu Majah: (1/659), al-Hakim, shahih (2/198).))
d)            Ingat. Seseorang bersumpah karena lupa, atau melanggarnya karena lupa, maka tidak dikenakan kafarat. (Asy-Syarh Al-Kabir (2/143).
e)             Diucapkan dengan lisan; sumpah yang hanya dalam hati tidak dikenai sanksi.
Sesungguhnya Allah I membiarkan bagi ummatku sesuatu yang dibisikkan dalam hatinya selama tidak dibicarakan dan tidak pula dilaksanakan. (HR. Al-Bukhari: (2528)
f)              Terjadi pelanggaran atas sumpah.
Jenis-jenis kafarat
a.             Kafarat sumpah
Kafarat atas sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang bisa kita makan atau memberi pakaian/sandang, atau membebaskan seorang budak, atau berpuasa 3 hari.
Kafarat atas sumpah tersebut merupakan alternatif, setiap pelanggar sumpah boleh memilih salah satu dari empat jenis kafarat tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian ia melihat ada hal lain yang lebih baik daripadanya, maka tebuslah sumpah itu dengan sesuatu lalu kerjakanlah hal yang ia pandang lebih baik tadi.”
Ungkapan “dan tebuslah lalu kerjakanlah hal yang lebih baik tadi”, sah atau cukup bila menebus sumpahnya dengan pakaian yang bisa digunakan untuk shalat –untuk laki-laki dengan gamis, untuk perempuan jubah panjang (Indonesia: daster panjang) dan kerudung lebar. Tebusannya juga sah dengan memberi makan 5 orang miskin ditambah pakaian untuk 5 orang. Namun, jika sumpah ditebus dengan membebaskan budak ½ harga dan ditambah makanan atau pakaian untuk 5 orang, maka tidak cukup/sah. Dan bagi budak, tidak ada tebusan sumpah kecuali dengan puasa 3 hari.

b.             Kafarat atau tebusan atas nazar
Untuk kafarat nazar sama seperti kafarat sumpah

c.              Kafarat pembunuhan
Fukaha sepakat bahwa kafarat membunuh sesama muslim dengan tidak sengaja ialah memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan wajib puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah Swt: “…dan barang siapa membunuh muslim karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang yang diseragkan kepada keluarganya(si terbunuh) …barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendak ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut…” (QS.an-Nisa’:92).
Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat diatas. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i mewajibkan juga atas orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan disyariatkan kafarat ialah untuk menghapus dosa; dosa membunuh dengan sengaja lebih besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh sebab itu, pembunuhan dengan sengaja lebih pantas untuk dikenai kafarat daripada yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa yang lebih besar dan berat itu. Alasan lain yang mereka kemukakan ialah Sabda Nabi Saw yang diriwayatkan dari Wasilah al-Asqa yang artinya: “Nabi Saw telah mendatangi kami sehubungan dengan sahabat kami yang mesti masuk neraka karena membunuh. Nabi Saww bersabda: ‘merdekakanlah budak untuknya, niscaya Allah membebaskan segenap anggota tubuhnya dari api neraka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’I, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).

d.             Zhihar (seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya)
Haram bercampur dengan istrinya tersebut sampai ia mebayar kafarat atas ucapannya itu. Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab menurut tertib berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalu tidak diperoleh budak, puasa dua bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup berpuasa, wajib baginya memberi makan enam puluh orang miskin.
Kafarat tersebut dijelaskan dalan Al-Quran yang artinya: “Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur …barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) memberimakan enam puluh orang miskin …”(QS.al-Mujadila: 3-4).

e.              Kafarat berzima’ di bulan ramadhan
Dalil oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairoh ra. berkata, ”Disaat kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Datang seoang laki-laki kepada Nabi saw dan berkata, ‘Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya, ’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, ‘Nah sedekahkanlah ini.’ Orang itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.’”.[30]

f.              Kafarat meng-ila’ istri
Sama dengan kafarat sumpah, karena ila’ itu adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri

g.             Denda dalam haji
Denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan – larangan Ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan Dam apabila melakukan antara lain pelanggaran – pelanggaran sebagai berikut:[31]
1)             Melakukan Haji Qiran atau Tamattu.
2)             Tidak Ihram dari Miqat
3)             Tidak Mabit I di Muzdalifah
4)             Tidak Mabit II di Mina
5)             Tidak melontar Jumrah
6)             Tidak melakukan Tawaf Wada

DAM TAKHYIR TA’DIL
Membayar dam untuk kesalahan melakukan salah satu dari dua perkara yaitu ; memburu binatang darat yang boleh dimakan dagingnya, atau menebang, memotong dan mencabut tanaman di tanah suci. Dendanya adalah salah satu berikut ini : Memotong seekor kambing atau memberi Fidayah kepada fakir miskin senilai satu kambingitu atau berpuasa selama 10 hari.
DAM TAKHYIR TAKDIR.
a.              Membayar denda karena melakukan satu dari larangan-larangan berikut ini :
b.             Memotong ,mencabut rambut atau bulu badan,
c.              Mengenakan pakaian terlarang sewaktu ihram
d.             Memakai minyak wangi pada rambut atau jenggot
e.              Memawak wewangian pada badan atau pakaian
f.              Bersetubuh sebelum Tahallul kedua.
Dam yang dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah memotong seekor kambing atau memberi makan fakir miskin senilai kambing itu atau berpuasa selama 10 hari.
DAM TARTIB TA’DIL
Membayar denda karena bersetubuh dengan istri sebelum tahallul, yaitu dengan menyembelih seekor unta atau 7 ekor kambing atau memberi makan fakir miskin senilai satu unta atau berpuasa selama 10 hari.
DAM TARTIB TAKDIR
a.              Membayar denda karena melakukan salah satu perkara – perkara sebagai berikut ;
b.             Melakukan Haji Tamattu atau Qiran.
c.              Tidak melakukan Wukuf di Arafah
d.             Tidak Melontar Jumrah
e.              Tidak Mabit di Muzdalifah
f.              Tidak Mabit di Mina
g.             Tidak Ihram di Miqat
h.             Tidak melakukan Tawaf Wada
i.               Tidak memenuhi nazar yang diikrarkan.
Dam yang dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah memotong seekor kambing atau memberi makan fakir miskin senilai kambing itu atau berpuasa selama 10 hari.

PELANGGARAN DAN DENDA
Larangan
Kondisi
Dam atau denda
Memakai Pakaian
Pria
Memotong seekor kambing , berpuasa selama 10 hari.3 hari di tanah suci sisa di tanah air
Menutup kepala
Pria
Memotong seekor kambing
Menutup muka atau tangan
Wanita
Memotong seekor kambing
Memotong rambut
Lebih dari 12 helai
Memotong seekor kambing
Memotong Kuku
Kurang dari 12 helai
Memberi makan Fakir Miskin
Memakai wewangian
Pria/Wanita
Bersedekah 1 Mud
Berburu atau membunuh binatang buruan
Memotong seekor kambing atau memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa setiap fakir miskin satu hari puasa
Bertengkar
Pria/Wanita
Memotong seekor kambing
Merusak tanaman di tanah suci
Memotong seekor kambing
Melakukan akad nikah atau menikahkan
Sebelum Tahallul Awal
Memotong seekor kambing
Bersetubuh
Sesudah tahallul Awal
Hajinya Batal, Wajib Memotong seekor unta atau sapi atau puasa selama 10 hari.3 hari di tanah suci sisa di tanah air. Hajinya sah, Wajib memotong seekor unta atau sapi.


B.            Kebijakan Anggaran atau Politik Anggaran
Setiap tahun pemerintah menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) kemudian mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi APBN. RAPBN itu berisi berbagai perencanaan, intinya adalah kebijakan fiskal.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ada di Indonesia dapat didefinisikan sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Indonesia yang disetujui oleh DPR. APBN berisi daftar sistematis dan rinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. APBN, perubahan APBN dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[32]
Secara garis besar, susunan APBN dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian:
1.             Anggaran Pendapatan. Anggaran Pendapatan dalam APBN adalah penerimaan anggaran negara yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah.
2.             Anggaran Belanja. Anggaran Belanja dalam APBN adalah anggaran yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3.             Pembiayaan. Pembiayaan dalam APBN adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Tujuan Disusunnya Anggaran
1)             Digunakan sebagai landasan yuridis formal dalam memilih sumber dan investasi dana.
2)             Memberikan batasan atas jumlah dana yang dicari dan digunakan
3)             Merinci jenis sumber dana yang dicari maupun jenis investasi dana sehingga dapat memudahkan pengawasan
4)             Merasionalkan sumber dana dan investasi dana agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
5)             Menyempurnakan rencana yang telah disusun karena dengan anggaran, lebih jelas dan nyata terlihat
6)             Menampung dan menganalisis serta memutusakan setiap usulan yang berkaitan dengan keuangan.
Anggaran Dalam Pandangan Islam.
“.... Sesungguhnya orang yang paling baik untuk kita ambil sebagai pekerja adalah orang yang memiliki kemampuan dan terpercaya”(QS. al-Qashash: 26)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Janganlah kamu memperhatikan banyaknya shalat dan puasanya, jangan pula kamu perhatikan banyaknya haji dan kesalehannya. Tetapi perhatikanlah kejujurannya dalam menyampaikan informasi dan menjalankan amanat.”
Ali bin Abi Thalib berkata :
Kejujuran akan menyelamatkan kamu walaupun kamu takut kepadanya dan kebohongan mencelakan kamu walaupun tenteram karenanya

Macam-macam kebijakan anggaran atau politik anggaran:[33]
APBN yang disusun pemerintah setiap tahun dapat dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan anggaran (fiskal) yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian suatu negara. Kebijakan anggaran meliputi hal-hal berikut.
1.             Anggaran Defisit (Defisit Budget)/Kebijakan Fiskal Ekspansif.
Anggaran defisit adalah kebijakan Pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Kebijakan ini umumnya digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Peningkatan belanja Pemerintah dan atau penurunan pajak ini dirancang untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka pengangguran.
2.             Anggaran Surplus (Surplus Budget)/Kebijakan Fiskal Kontraktif.
Anggaran surplus adalah kebijakan Pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Kebijakan anggaran surplus biasanya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi ekspansif yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pengurangan belanja Pemerintah dan atau peningkatan pajak ini dirancang untuk menurunkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengontrol inflasi.
3.             Anggaran Berimbang (Balanced Budget).
Anggaran berimbang terjadi ketika Pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan kebijakan anggaran berimbang ini adalah untuk mendapatkan  kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin anggaran.
4.             Anggaran Dinamis
Anggaran dinamis adalah anggaran yang selalu meningkat dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Selain itu, diusahakan meningkatkan pendapatan dan penghematan dalam pengeluarannya., sehingga dapat meningkatkan tabungan pemerintah/negara untuk kemakmuran masyarakat.

Paradigma Penyusunan APBN Islam
APBN dalam Islam disebut dengan istilah Baitul Mal. Mekanisme penyusunan APBN Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan APBN konvensional. Beberapa perbedaan paradigma tersebut adalah:
a.              APBN Islam tidak dibuat setiap tahun.
b.             APBN Islam tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat.
c.              Dalam APBN Islam, sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah.
d.             Dalam APBN Islam, Khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN tersebut melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya.
e.              Alokasi dana masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran dalam APBN Islam diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Dari kelima butir paradigma penyusunan APBN Islam tersebut dapat dipahami, bahwa APBN yang telah disusun dan ditetapkan oleh Khalifah dengan sendirinya akan menjadi UU yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Penyusunan UU APBN Islam ini  tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Penentuan alokasi dana per masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah sehingga tidak memerlukan pembahasan dengan Majelis Umat. Meskipun demikian, boleh saja Majelis Umat memberikan masukan, tetapi pendapatnya tetap tidak mengikat bagi Khalifah.
Dengan mekanisme tersebut, APBN Islam dapat dikatakan bersifat tetap dari aspek sumber-sumber pendapatan dan pos-pos pengeluarannya, tetapi alokasi anggaran per masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata penerimaannya kurang, dengan mudah Khalifah akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu juga dengan pemasukannya. Jika alokasi yang dianggarkan berlebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan kepada pemerintah pusat, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Selain itu, kebijakan keuangan dalam APBN Islam ini menganut prinsip sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan jumlah pemasukannya. Jika ada daerah yang sedang membangun dan membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara dapat menyubsidi daerah tersebut.
Hal yang sama berlaku bagi daerah yang membutuhkan dana besar karena serangan musuh atau bencana. Dengan cara ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat sasaran. Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada ketimpangan antar daerah.
Sumber Penerimaan dan Pos Pengeluaran APBN Islam
Sumber-sumber penerimaan dalam APBN Islam sangat berbeda dengan APBN konvesional. Sebab, sumber penerimaan APBN Islam sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak dan utang, sebagaimana APBN konvensional. Sumber penerimaan negara untuk APBN Islam ada tiga:
1)             Dari sektor kepemilikan individu. Misal: sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
2)             Dari sektor kepemilikan umum. Misal: pertambangan, minyak bumi, gas, kehutanan dsb.
3)             Dari sektor kepemilikan negara. Misal: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur dsb.
Dari ketiga sumber penerimaan negara tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam seksi-seksi. Misal: dari kepemilikan individu dibagi ke dalam seksi zakat uang dan perdagangan; seksi zakat pertanian dan buah-buahan; seksi zakat ternak unta, sapi dan kambing. Dari kepemilikan umum: seksi minyak dan gas; seksi listrik; seksi pertambangan; seksi sungai; laut, perairan dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; seksi tempat khusus. Dari kepemilikan negara: seksi ghanimah; seksi kharaj; seksi tanah; seksi jizyah; seksi fa’i; seksi dharibah (pajak).
Untuk fakta sekarang ini, sumber penerimaan terbesar yang dapat diandalkan negara seperti Indonesia ini adalah dari sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak dan gas, kehutanan, kelautan dsb. Di dalam Islam, tugas negara hanyalah sebatas mengelolanya kemudian mengembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, sesuai ketentuan yang sudah digariskan oleh syariah. Dengan demikian Islam melarang kepemilikan umum tersebut dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi swasta asing, sebagaimana yang menimpa Indonesia saat ini.
Apabila sumber penerimaannya sudah mencukupi, negara tidak perlu memungut pajak (dharibah) dari rakyatnya. Pemungutan pajak hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi defisit. Pemungutan pajak tersebut hanya bersifat sementara (temporal) dan hanya dibebankan atas warga negara yang mampu saja.
Dalam hal pos pengeluaran APBN Islam, syariah Islam juga telah memberikan ketentuan yang jelas, yang dapat dijadikan pegangan oleh Khalifah untuk mengalokasikan pengeluarannya. Ada 6 kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanja APBN Islam, yaitu:
a.              Khusus untuk harta di dalam Kas APBN Islam yang berasal dari zakat, maka pos pengeluarannya wajib hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran.
b.             Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
c.              Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk memberikan gaji (kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu: pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
d.             Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaaratan bagi rakyat. Contoh: pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
e.              Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contoh: paceklik, gempa bumi, banjir, angin topan, tanah longsor dsb.
f.              Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya.[34]


Kesimpulan

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui suatu pengeluaran dan pendapatan. Dalam Islam, kebijakan fskal inibertujuan untuk menciptakan masyarakat yang di dasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal ini juga lebih banyak perannya dalam ekonomi Islam dari pada ekonomi konvensional. Walaupun jika diamati sedemikian detail, pola anggaran pendapatan Negara Islam hampir sama dengan perekonomian konvensional (klasik dan neoklasik), namun penggalian sumber-sumber dana didasarkan pada syariah.
Apalagi kebijakan fiskal  di dalam Sistem Ekonomi Islam bukanlah merupakan suatu hal yang baru seperti halnya dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi ia sudah dipraktekkan sejak negara Islam pertama kali berdiri. Jika sumber-sumber penerimaan negara tidak mencukupi belanja negara terutama yang sifatnya wajib, maka negara diperbolehkan menarik pajak dari kaum Muslimin untuk menutupi kekurangan anggaran negara.
Kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran negara dilandasi oleh suatu politik ekonomi Islam, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya. Atas dasar politik ekonomi inilah negara melakukan kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran untuk menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.



Daftar Pustaka

A, Hassan. Tarjamah Bulughul Marram, (CV. Diponegoro, Bandung, 1981
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989
Ali, Nuruddin. 2006. Zakat sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing
Hammad, Nazih.  1995. Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’. Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy.
Ibnu Rasyd. 1990. Tarjamah, Bidyatul Mujtahid. Asy-sifa: Semarang, 1990
Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
Karim, Adhiwarman A. 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (IIT Indonesia, Jakarta
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf tunai pada 11 Mei 2002
Majid, Muhammad Nazori. 2003.  Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam: Relevansinya Dengan Kekinian. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam.
Manzhur,Ibnu. 2005. Lisan Al-‘Arab. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Muhammad. 2000. Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Embat: Jakarta.
Mughniyah, Muhammad Djawad. 2005.  Fiqih Lima Mazhab. Lentera: Jakarta.
Nasution, Harun. 2008. Islam “Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Universitas Indonesia (UI) Press: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. PT Alma’arif: Bandung.
Sofiani, Ratna Dewi. 2003. Wakaf Tunai: Instrumen Alternatif Kemakmuran Umat Makalah FE-UI. Jakarta





[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), h. 124. (dalam Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam)
[2] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[3] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[4] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[5] Drs. Muhammad, M.Ag. Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, Penerbit Salemba Empat ( PT Salemba Emban Patria) Jakarta,2000, halaman 197.
[6] Ali Nuruddin, Zakat sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal,edisi 1 ,Jakarta; PT Raja Grafindo Persada 2006, halaman 152-153.
[9] Adhiwarman A.Karim. 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (IIT Indonesia, Jakarta), hlm. 43
[10] Muhammad Nazori Majid, Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam: Relevansinya Dengan Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003) hlm 227-228
[11] Harun Nasution, Islam “Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press. 2008) h.51
[12] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing), hal. 123
[13] Adhiwarman A.Karim. 2001, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (IIT Indonesia, Jakarta), hlm. 32
[14] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 75.
[15] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[16] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[17] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[18] Ratna Dewi Sofiani, Wakaf Tunai: Instrumen Alternatif Kemakmuran Umat Makalah FE-UI (Jakarta: 2003)
[19] Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf tunai pada 11 Mei 2002.
[20] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 156.
[21] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata Publishing, hal. 119
[22] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 72.
[23] Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005),  Juz. I, hlm. 131-132
[24] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 270. Ada juga yang mendefenisikan fai dengan kembalinya seorang suami untuk menggauli istrinya setelah dia bersumpah atau berjanji untuk tidak menggaulinya.
[25] Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989), Cet. I, hlm. 161
[26] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 183.
[27] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam
[28] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (PT Alma’arif, Bandung 1987), hlm. 73.
[29] Ibnu Rasyd, Tarjamah, Bidyatul Mujtahid,( Asy-sifa’, Semarang, 1990), Hlm. 67
[30] A, Hassan. Tarjamah Bulughul Marram, (CV. Diponegoro, Bandung, 1981), hlm102
[31] Muhammad Djawad Mughniyah, Muhammad Djawad, Fiqih Lima Mazhab, (Lentera, Jakarta, 2005), hlm. 90
[34]Dwi Condro Triono. 2012. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Irtikaz. Yogyakarta. (dalam http://www.hizbut-tahrir.or.id/2013/12/01/politik-anggaran-dalam-islam/)

twitter